Saturday, December 6, 2008

HARIMAU SUMATRA / PANTHERA TIGRIS SUMATRAE


Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan species yang sangat dilindungi, yang populasinya sangat terancam akan punah, dalam waktu dekat ini. tidak diketauhi berapa pasti jumlahnya yang tinggal sekarang, namun dari data terakhir, populasinya di habitat aslinya pulau Sumatra diperkirakan hanya tinggal 400 ekor yang tersebar di berbagai hutan dipulau Sumatera diantaranya, di cagar alam Kerumutan, Merbuk (Riau), Taman Nasional Bukit Leuser di Aceh, Kerinci Sebelat di Jambi, serta kawasan hutan Sei Kambas di Lampung. Maraknya perburuan liar yang melibatkan banyak oknum, dan pembukaan lahan baru untuk kawasan perkebunan
Dalam laporan bertajuk "No where to Hide: The Trade In Sumatran Tigers", Chris R. Shepherd dan Nolan Magnus menyampaikan analisis tentang penurunan populasi harimau sumatra di habitat aslinya. Hewan karnivora tersebut termasuk sangat dilindungi atau dalam status Critically Endangered dalam daftar International Union for Conservation of Nature and Natural Resources 2003 Red List of Threatened Animals.
Laporan itu juga memaparkan perburuan yang terus terjadi baik itu oleh pemburu profesional ataupun semi profesional sangat membahayakan populasi harimau. Mereka juga menganalisis bahwa hal itu diakibatkan karena maraknya perdagangan domestik yang memasarkan kulit dan bagian tubuh lainnya terutama cakar dan gigi yang digunakan untuk trofi, hiasan, atau sekadar cindera mata.
Dari hasil investigasi, Traffic menunjukkan dari 24 kota di Indonesia yang disurvei, 17 kota di antaranya dapat ditemukan produk yang memakai bagian tubuh harimau sumatra. Bahkan 20 persen dari dari 453 toko yang didatangi ditemukan menjual kulit gigi dan cakar harimau. Perdagangan gelap bagian-bagian tubuh harimau sumatra juga merambah ke Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.
Menyempitnya habitat harimau sumatra juga ikut memperburuk nasib satwa ini. WWF bahkan menjelaskan jika peningkatan aktivitas penebangan hutan oleh perusahaan kayu dan kertas tidak segera ditangani. Diperkirakan akan melenyapkan hutan hujan tropis Sumatra pada 2005.
Jika tidak ada program terpadu untuk menyelamatkan harimau Sumatra ini, sudah dipastikan nasib harimau sumatra akan sama seperti harimau jawa dan harimau bali yang telah resmi dikatakan punah pada 1940 dan 1980.

Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) is one of protection species that its population will be decrease in a short time. There is not an accurate data, how many are they right now, but the newest data explained there are 400 of them in original habitat in Sumatera that separated in various jungles in Sumatera. They are in Nature Conservation Kerumutan, Merbuk (Riau), and National Park Bukit Leuser in Aceh, National Park Kerinci Seblat in Jambi and at surrounding jungle in Sei Kambas in Lampung. Illegal hunting that involved a lot of person and opening new area for plantation causes this.
In reporting with title "Nowhere to Hide: The Trade in Sumatran Tigers", Chris R. Shepherd and Nolan Magnus show an analysis about the decreasing of Sumatera tiger population from their original habitat. The carnivores are much protected; they are in listing status Endangered International Union for Conservation of Nature and Natural Resources 2003 Red List of Threatened Animals.
Both professionals’ hunter and semiprofessionals hunter did that report also explained about continuously hunting. It will make dangerous on tiger population. They analyzed, it is caused by domestic trading that sold skin and part of tiger body especially toe and tooth. They used for trophy, painting, or just as souvenirs.
According to investigation there are 24 cities in Indonesia those were surveyed Traffic shown, 17 cities have been found some products made of body sumatera tiger. 20% of 453 shops sold skin, tooth and toe of tiger. Black market the part of the body Sumatera tiger also reached to South Korea and Japan.
The habitat of Sumatera tiger is narrow it will make them worst. WWF explained if illegal logging and Paper Company cannot be stopped, the tropical rain forest of Sumatera will be lost in 2005.
If there is no an integrated program for rescuing Sumatera tiger, so that Sumatera tiger will be destroyed such as Java tiger and Bali tiger had been announced officially destroyed in 1940 and 1980.

Friday, November 7, 2008

ASAL MULA AKSARA INCUNG



Untuk mendapat gambaran mengenai historis aksara Incung, kita menyimak hasil penelitian para pakar asing, yaitu Dr. P. Voorhoeve tahun 1941 yang mendapat bantuan isterinya dan nona N. Coster, yang keduanya menguasai aksara Kerinci dan mereka dibantu oleh Abdul Hamid seorang guru Sekolah Dasar Koto Payang I. Sebagaimana dikutip dari “Kerintji Documents, 1970: 369-370”, Voorhoeve menerangkan sebagai berikut :
Kerinci, dalam perjalanan sejarahnya, telah mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Minangkabau di sebelah Utara dan Jambi di sebelah Timur. Daerah ini sekarang kembali menjadi bahagian dari Jambi. Karena hubungan dekatnya dengan Sumatera Selatan ia dimasukkan ke dalam kepustakaan Sumatera Selatan yang disusun oleh Helfrich dan Wellan dan diterbitkan oleh Zuid- Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan).
Dalam lapangan kesusastraan tertulis, perbedaan yang sangat menyolok antara Minangkabau dan Kerinci adalah bahwa di Kerinci terdapat banyak dokumen-dokumen atau naskah-naskah yang ditulis dalam tulisan Rencong (Ker. Incung), tulisan yang telah dipergunakan oleh rakyat Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Kerinci, dan disimpan sebagai pusaka turun temurun, sedangkan di Minangkabau hal yang demikian tidak ada sama sekali. Tulisan Kerinci mempunyai ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan tulisan Rencong Rejang dan tulisan-tulisan Melayu Tengah.

Ini menunjukkan hasil karya nenek moyang orang Kerinci yang telah berumur ratusan tahun, sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan amat berharga dalam konteks peradaban manusia. Untuk mengenal kembali karya peradaban suku Kerinci masa silam, harus dimulai dari mana asal mulanya aksara Incung itu. Karena tanpa mengetahui historis aksara yang dipergunakan masyarakat Kerinci zaman dahulu. Kita tidak akan dapat mempelajarinya dengan benar dan tepat penggambaran simbol aksara.

Salah satu peninggalan peradaban masa silam yang terdapat di Sumatera adalah aksara Incung daerah Kerinci. Di Sumatera ada 4 wilayah induk penyebaran aksara daerah yaitu Batak, Kerinci, Rejang dan Lampung. Aksara Incung terdapat di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, satu-satunya daerah yang memiliki aksara sendiri di Sumatera bahagian tengah. Ini dibuktikan dengan adanya naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun lebih yang mempergunakan aksara Incung, sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci. Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Kalau kita simak fonetis yang terdapat dalam naskah Incung umumnya memakai bahasa Melayu. Sebab bagaimanapun juga bahasa Kerinci Kuno tersebut merupakan bahagian dari bahasa Melayu zaman lampau yang penyebaran meluas dari Madagaskar sampai ke lautan Fasifik. Sekalipun ada juga kata-kata Kerinci yang tidak ditemui di daerah penyebaran bahasa Melayu lainnya, tentu hal tersebut merupakan ‘local geneus’ yang berkembang sesuai dengan lingkungan alam dan budaya lokal.
Dengan kondisi tersebut aksara Incung pada hakekatnya adalah bahagian dari sastra Indonesia Lama, karena apa yang ditulis dalam naskah-naskah Incung Kerinci berbahasa Melayu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit untuk dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak menurut dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Namun walaupun demikian, jika disimak secara seksama isi naskah pada tulisan Incung, orang masih dapat menangkap maksud dan makna yang terkandung didalamnya.
Adapun sejarah tulisan berbahasa Melayu telah mulai dipergunakan sekitar tahun 680. Dari masa itu ada prasasti berbahasa Melayu yang sampai kepada kita, yakni prasasti Karang Berahi (Bangko), Kedukan Bukit (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Talang Tuo (Palembang), dan beberapa prasasti lainnya. Prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa (India Kuno) dalam bahasa Melayu Kuno, oleh sebab itulah bahasa resmi dalam prasasti tadi kita namakan bahasa Melayu Kuno.
Berkaitan dengan bahasa dan aksara Kerinci, termasuk bahagian yang mempergunakan bahasa Melayu, sebagaimana yang ditulis dalam naskah-naskah Incung. Dalam naskah tersebut kita temui kata-kata yang tidak lazim pada dialek penyebaran orang-orang Melayu yang bermukim di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Perbedaannya berakar dari latar belakang bahwa induk suku Kerinci berasal dari Proto Melayu, dan dari sisi lain proses perjalanan sejarah orang Kerinci tentu berbeda dengan daerah Melayu lainnya, karena pemakaian aksara maupun fonetis bahasanya mendapat pengaruh lingkungan alam dan budaya lokal Kerinci.

Satu pertanyaan, kapan aksara Incung mulai dipergunakan orang Kerinci?. Untuk mengungkapnya tentu membutuhkan penelitian yang kongrit. Namun demikian, diduga orang Kerinci telah menggunakan tulisan Incung sejak zaman sesudah adanya prasasti Sriwijaya abad ke 7 di Karang Berahi (Kabupaten Merangin) bertulisan Pallawa. Cukup beralasan karena sebelumnya tidak ditemukan benda bertulisan di daerah Kerinci umumnya di Sumatera kecuali aksara Pallawa tersebut.
Walaupun demikian belum tentu orang Kerinci pada zamannya meniru tulisan Pallawa, baik cara penulisan maupun cara bacaannya. Aksara Incung pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Yang jelas aksara Incung sudah dipergunakan oleh orang Kerinci selama berabad-abad sesudah aksara Pallawa dikenal oleh bangsa Melayu Sumatera. Inspirasi lahirnya aksara Incung pada orang Kerinci Kuno, didasari atas pemikiran pentingnya untuk pendokumentasian berbagai peristiwa kehidupan, kemasyarakatan, sejarah, tulis-menulis dan lain-lain.

Daerah yang terkait dengan hubungan aksara Incung Kerinci adalah Lampung dan Rejang. Seperti di Lampung, masyarakat di sana menyebut aksara daerahnya sebagai “Surat Ulu” atau sebutan lainnya “Palembang Ulu”. Di daerah Sumatera Selatan yang memakai bahasa Melayu, mengatakan bahasa yang terpakai pada ‘Surat Ulu’ tadi bukanlah bahasa Melayu, tetapi mereka mengatakan bahasa orang dahulu, bahasa kuno.
Kata Surat Ulu, yaitu surat orang zaman dahulu, banyak dibantah oleh pakar filologi. Menurut mereka yang benar ‘Surat Ulu’, yaitu surat ‘Hulu’ atau surat orang ‘pedalaman’. Karena surat-surat dengan aksara itu hanya terpakai di pedalaman saja, sedangkan pedalaman yang memiliki peradaban tulis baca pada zamannya adalah daerah Kerinci. Daerah Kerinci berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologi, dalam sejarah kebudayaan Nusantara merupakan daerah yang sangat tua (di Kerinci ditemui keramik dari Dinasti Han 300 SM).

Untuk mengungkap historis pemakaian aksara Incung yang terdapat pada naskah-naskah kuno Kerinci. Ada petunjuk dari beberapa naskah dengan pendahuluan kata-kata berbunyi :
- Basamilah mujur batuwah jari tangan aku mangarang surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Depati Satio Mandaro di Desa Dusun Dilir Rawang)
- Ah basamilah akung mangarang parapatah surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Rajo Sulah Desa Siulak Mukai).

Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan ‘surat incung jawa palimbang’ maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut. Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai ‘jawa palimbang’. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya kerajaan Sriwijaya. Hal ini dijelaskan oleh prasasti Kota Kapur Bangka (686 M) yang menyebutkan penghancuran bhumi jawa yang tidak bakti (tunduk) kepada Sriwijaya, antara lain bunyinya “..ni pahat di welanya yang wala srivijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ke srivijaya”. Bhumi Jawa tersebut adalah sebuah kerajaan di Lampung, yaitu Tulang Bawang yang memiliki kekuatan menyaingi Sriwijaya. Sedangkan ‘palimbang’ yang dimaksud dalam tulisan Incung Kerinci, juga bukan berarti kota Palembang, tetapi adalah komunitas orang dengan kebudayaannya di Sumatera Selatan, karena aksara Incung tidak terdapat di Palembang.
Jadi aksara yang terdapat dalam naskah kuno Kerinci, zaman dahulunya pemakaiannya sampai ke Rejang dan Lampung. Dalam naskah kuno Incung juga disebut nama kota-kota tua yang ada di daerah Selatan, sekalipun saat sekarang kota atau tempat tersebut tidak lagi memakai nama seperti dalam naskah Incung. Kerinci sebagai daerah hulu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dan orang Kerinci menyebut Jambi dan Palembang sebagai daerah rantau transit perdagangan ke selat Malaka. Selama ratusan tahun hubungan orang Kerinci ke Selatan dengan melewati jalur tradisional Merangin dan Gunung Sumbing, untuk perdagangan sekaligus kontak budaya dengan masyakarat bahagian Selatan. Dari hubungan antara segala macam fenomena simbolik dengan realitas kehidupan masyarakat Kerinci dahulunya dengan orang-orang Melayu Sumatera, dapat diproyeksikan keberadaan aksara Incung sudah dipergunakan secara luas pada abad ke 14 M..
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan karya aksara Incung pengaruh Hindu. Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing pertama dan lama di Nusantara ini. Kenyataan terdapatnya kata-kata Hindu dalam naskah kuno Kerinci aksara Incung seperti kata Batara, Dewa, dan sebagainya.
Dalam pada itu, setelah agama Islam sampai ke Nusantara ini, beberapa suku bangsa yang disebut sebagai rumpun Melayu itu kemudian berkembang dengan ciri-ciri agama, bahasa, dan budayanya masing-masing. Dalam perkembangan yang terjadi melalui jalan sejarah yang panjang itu kita akhirnya dapat melihat bahwa orang-orang atau penduduk yang mendiami Sumatera, khususnya wilayah Kerinci memperlihatkan ciri dengan suatu warna budaya yang amat banyak diwarnai oleh agama mereka, yaitu Islam. Penduduk daerah ini beragama Islam, berbahasa Melayu Kerinci, serta mempunyai berbagai kesamaan pula dalam adat dan tradisi dengan daerah sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi.

Begitupun dengan aksara daerah yang dimiliki orang Kerinci disebut ‘aksara Incung’, menghasil karya-karya tulis bermutu tinggi sekalipun mereka telah melupakannya. Sejak abad ke-19 naskah-naskah aksara Incung telah dijadikan benda keramat oleh rakyat Kerinci, sedangkan orang-orang yang ahli dan dapat menulis dan membaca tulisan ini sudah tiada lagi.


MEDIA PENULISAN AKSARA INCUNG

Penulisan aksara Incung oleh orang Kerinci dimuat dalam karya sastra klasik. Pengertian sastra klasik ialah segala sesuatu yang tertulis, segala rupa tulisan dapat dipandang sebagai produk sastra, bermacam tulisan dalam berbagai bidang ilmu dan warna kehidupan dapat menjadi sasaran studi sastra. Kajian ini merupakan suatu studi yang memanfaatkan segala dokumen tertulis bagi suatu pembahasan berbagai cabang ilmu, kebudayaan, dan agama. Pengertian sastra yang dipasang dalam cabang ini memberi peluang kepada siapapun untuk memakai segala teks tertulis untuk kepentingan bahan kajian dalam suatu kegiatan ilmu tertentu. Hasil sastra klasik Kerinci secara tertulis mulai pada zaman Islam awal memakai aksara Incung, dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno Kerinci. Naskah kuno Kerinci yang sampai kepada kita berasal dari abad ke 13 – 19 M berupa benda-benda pusaka atau ‘pedandan’.
Ada semacam kepercayaan dikalangan orang Kerinci, bahwa penciptaan aksara dan pelahiran kesusastraan bersumber dari suatu latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan Ketuhanan sebagai suatu keseluruhan. Sehingga kesusastraan orang Kerinci yang ditulis pada media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, kain dan kertas merupakan kesusastraan suci yang dianggap keramat dan sakti. Sampai saat sekarangpun kepercayaan tersebut sulit hilang dalam kehidupan budaya masyarakat Kerinci
Kalau kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaklah hal yang dapat dibicarakan dalam konteks tersebut. Bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan ilmu pengetahuan adalah hasil-hasil budaya manusia yang harus dipertahankan hidupnya dan diusahakan pengembangannya. Salah satu aset kebudayaan Kerinci adalah bahasa Kerinci, bahasa ini memiliki perbedaan dengan dialek yang diucapkan oleh daerah sekitar Kerinci seperti Jambi dan Minangkabau. Kebanyakan bahasa daerah yang dipakai penduduk Sumatera umumnya adalah bahasa Melayu, kedalamnya termasuk juga bahasa Kerinci. Bahasa Kerinci dipergunakan khusus penutur yang ada di kabupaten Kerinci.
Sekalipun bahasa Kerinci berbeda dengan daerah lainnya di Sumatera, namun bahasa daerah ini berpokok kepada bahasa Melayu. Sejak zaman dahulu menjadi bahasa untuk semua kegiatan bagi orang Kerinci. Bahasa ini dipergunakan juga oleh orang Kerinci dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian dan sastra.

Naskah-naskah kuno Kerinci yang kita sebutkan itu merupakan satu perigi dari perigi khasanah sastra Melayu Klasik di Indonesia. Masih terbuka lagi kemungkinan menemukan perigi lain dari peninggalan peradaban Kerinci masa silam. Juga akan menjadi bahan studi menarik, baik dari segi mutu maupun ketinggian nilai sastranya. Kita melihat beberapa aspek naskah kuno daerah Kerinci, yang kita pandang sebagai dokumen tertulis sastra klasik. Hasil sastra klasik itu tidak lain berupa naskah-naskah, merupakan peninggalan dan hasil karya nenek moyang orang Kerinci masa silam.

Bahasa Kerinci adalah bahagian dari bahasa Melayu, sebagai daerah terpencil mempunyai dialek tersendiri Dialeknya berbeda sekali dengan suku-suku Sumatera lainnya. Namun orang Kerinci mengerti apabila orang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu atau Indonesia umumnya mereka langsung mengerti pembicaraan tersebut. Karakteristik bahasa Kerinci terletak pada dialeknya yang banyak, hal seperti ini tidak ditemui di daerah lainnya Indonesia. Sehingga terdapat dialek yang berbeda sebanyak jumlah desa (dusun asli, masyarakat persekutuan adat) yang ada dalam Kabupaten Kerinci semuanya berjumlah + 177 dialek. Diantara Faktor lain yang sangat mempengaruhi majemuknya dialek tersebut, dikarenakan kelompok–kelompok yang membentuk dusun (Kerinci: luhah, nagehi) lebih dominan hubungan genealogis teritorialnya. Sekalipun dusun itu bertetangga hanya dibatasi oleh jalan atau seberang sungai saja, tetapi ketika saling berkomunikasi mereka sama–sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya. Juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka dalam dialek yang berbeda tersebut. Mereka merupakan kesatuan dalam sebuah lingkungan budaya Alam Kerinci. Jadi bahasa Kerinci ialah bahasa yang saling dimengerti oleh masyarakat yang menghuni lingkungan Alam Kerinci atau Kabupaten Kerinci.

Melihat bentuk grafis aksara Incung Kerinci hampir mirip dengan aksara daerah Sumatera lainnya seperti Batak, Rejang, dan Lampung. Sekalipun pada bacaan dan penulisannya banyak juga perbedaan yang mendasar. Kemiripan aksara-aksara daerah itu disebabkan, mereka berasal dari satu lingkungan budaya Sumatera yang sama pada masa dahulunya. Kemudian proses tumbuh dan berkembang, aksara tersebut mengalami corak yang membedakan satu sama lainnya sesuai dengan kondisi dan letak pusat induk kultur masing-masing etnis Sumatera itu.
Satu hal, pada naskah-naskah tulisan Incung itu tidak ditemukan penunjuk angka untuk bilangan. Jadi tulisan Incung hanya mengenal huruf saja dan tidak mempunyai angka bilangan. Mungkin inilah yang menyebabkan pada setiap naskah tidak didapati penanggalan maupun tanggal penulisannya.

Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada puncaknya abad ke – 16, dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerinci penulisan naskah-naskah beralih ke aksara Arab dengan bahasa Melayu. Hasil-hasil sastra Kerinci pengaruh Islam cukup banyak, antara lain cerita tentang Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, dan cerita mistik dan tasauf. Penulisan sastra Incung juga dipengaruhi oleh Islam seperti adanya dalam naskah-naskah kuno Kerinci aksara Incung, seperti pada kata pengantar : basamilah mujur dan assalamualikun. Ini menunjuk bahwa orang Kerinci saat peralihan masuknya aksara Arab atau Islam, tidak menjadikan hilangnya aksara Incung dari kehidupan mayarakat Kerinci. Tetapi memperkaya karya sastra Incung dengan nuansa Islam, yang mana mereka menulis naskah-naskah Incung dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam.
Ditulis oleh Depati Alimin
Depati Alimin lahir di Kerinci 10 Agustus 1952. Penulis, peneliti, budayawan, pemangku adat. Jabatan : Ketua Seksi Seni Budaya LAAK.
Menulis sejak tahun 1970, tulisan berupa puisi, essai, future dimuat dimedia massa Haluan (Padang), Merdeka (Jakarta), Jambi Ekspres (Jambi), Independent (Jambi), Andaka (Jakarta). Antologi puisi “Rakit Biru, 1998” bersama penyair Jambi, antologi cerpen “dari Tauh sampai Kedondong, 1999”, antologi “Tadarus Puisi, 2002” bersama Penyair Jambi terbitan Dewan Kesenian Jambi. Antologi puisi “Tirawang, 2000”, antologi dongeng Kerinci “Telor Naga, 2000”, buku Benda Cagar Budaya Kabupaten Kerinci (2001).
Diklat teknis Sarasehan dan Worshop Seni Teater (1997) di Jambi, Penataran Pengembangan Kebudayaan Daerah Jambi (1997), Sarasehan dan Worshop Teater dan Aktor Film (1999) di Jambi, Peny. Inf. Seni Tari (1999) di Jakarta, Pemetaan Seni (1999) di Jambi, Teknik Pengembangan Kebudayaan (1999) di Jakarta.
Pemakalah seminar Busana dan Pelaminan Adat Daerah Kerinci (1996), pemakalah Festival Seni Pertunjukan Rakyat (1996), Pemakalah Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah (2000), pemakalah seminar Mempertahankan Pelestarian TNKS dan Keanekaragaman Hayati Melalui Pendekatan Kebudayaan (2002), pemakalah seminar Satu Abad Perang Kerinci 1903 (2002).
Penghargaan antara lain: Specialist of Kerinci traditions and social and cultural characteristis (1993) dari Direktur CNWS Leiden University Belanda, Pemenang Lomba Cipta Puisi “Batanghari” (1998) se-Propinsi Jambi, Certificate as a Specialist in Kerinci culture (1999) dari Chair of cultural anthropology of Indonesia Rijks-universiteit Leiden, Pemenang I Lomba Cendramata (1999) se-Propinsi Jambi, 10 Besar Penyair Jambi pada Dialog dan Kreativitas Seni 2000, Pemenang I Lomba Penulisan Sejarah Jambi (1999) se-Propinsi Jambi, Budayawan berprestasi (2000) dari Bupati Kerinci. Pemimpin artistik Muhibah Budaya Kabupaten Kerinci ke Pahang Malaysia (2001). Penulis Dinamika Adat Provinsi Jambi dari Lembaga Adat Provinsi Jambi (2002), Nara Sumber Expedition of Kerinci KKL Arsitektur Nusantara dari Universitas Bung Hatta dan Universitas Tri Sakti (2003).
Hubungan internasional The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences- Leiden University Belanda, Albert Ludwigs-Universitat Freiburg Jerman, Division of the Arts-University of California USA.

Thursday, October 30, 2008

RAWA LADEH PANJANG


RAWA LADEH PANJANGTHE ROOF OF SUMATERA


On Saturday, 19th February 2005, the weather is good in Kabun Baru, Kayu aro, Kerinci regency, this village is at the steep of the hill and is the nearest place to Rawa Ladeh Panjang in 09.00, Expedition team moved to Rawa Ladeh Panjang. These team are, Wijaya Kusuma, Wira Syahreza, and Mr. Abas.
The first route, we pass through a small path through some farmings, but Mr. Abas feel doubt about route condition, because the route is rather change.
Many of wild cutter of tree and wild hunter make some new path, so the route become cross over. After two hours, Mr. Abas find right route, but the problem had not over yet, because one of our friend got stomachache.
After one hour, through the dark forest. we find a river at 14.00 at Pandan Dewa area. All the journey to Pandan Dewa, we can see a pure tropical forest. A wet forest, keeping many kinds of flora and fauna, according to Mr. Abas explanation Pandan Dewa river come from a name of flower “ Pandan” more than one hundred years old, after take a rest for a moment, and wait for recovering of our friend and then we continue our journey. And in front of us we see sulfur mount and smell its specific aroma.
The journey on the back of the hill is about for two hours. And after that we looking for strategic place for erecting tend so that our friend can take a rest well. At 17.30 we arrive at Sulak besar river and make a camp here and Ladeh Panjang is about two hours. But we decide to continue tomorrow.
The night is so cool, after briefing for tomorrow activity, the feeling of tired and sleepy insist us for sleep. some of our friend said, they heard hard foot steep around our camp. Many kind of imagination appear on our mind. So we still be careful
After 08.00 am we continue our journey to Rawa Ladeh Panjang, and the journey time more than two hours.
Rawa Ladeh panjang is the highest wetland in Southeast Asia. It is height 1.905 m dpl. Most of the surface of this swamp are covered by “ Bento” Grass, this is a place for many kind of animal to drink and eat for example: Sumatran Tiger, Bear, Deer, Goat and many other. And we also find many kinds of birds. This swamp is surrounded by many mounts, for examples, Mount Terambun, Mount Kapur, and Mount Patah Sembilan, there are also, we see two lakes, that are Lake Singkarak and Lake Sakti.
Boedi Poernomo.

Farming at the edge of hill
Basically Kerinci Society are farmers. This activity has been progress for a long time. New era and modernize have bad effect for them so they find new farm to cultivate. The existing of TNKS is threaten by this new pattern. And personal interest be main priority
The cutting of the forest make habitat of flora and fauna are annihilated. We could see many kind of animal, but now we just hear the sound of saw machine every where. It is very tragic.

Sunday, October 26, 2008



Pada umumnya orang mengenal Kerinci dengan puncak tertinggi pulau Sumatera yaitu gunung Kerinci (3805 m dpl), Daerah Kabupaten Kerinci merupakan wilayah Propinsi Jambi dengan ketinggian rata–rata 700 – 800 m dpl dan geografis kira – kira 1010 sampai 1020 lintang timur dari Greenwich dan 1030’ sampai 2030’ bujur selatan, terletak dipegunungan bukit barisan Sumatera bagian tengah.
Penduduk Kerinci asli menempati rumah panggung (laheik jajo), dibangun pada sebidang tanah empat persegi panjang yang dinamai parit basudut empat, tatanan kemasyarakatan diatur menurut sistem adat yang masih dominan sampai sekarang. Sebahagian besar penduduk Kerinci merupakan petani – petani yang menggantungkan sumber nafkahnya dari bercocok tanam dan berkebun dilereng–lereng gunung yang subur.
Daerah ini berkembang dengan signifikan di segala bidang, karena banyaknya putera–puteri kerinci yang belajar keluar daerah, Kerinci telah dapat mengejar ketinggalannya dari daerah lainnya di Indonesia, sekalipun penjajahan Belanda masuk ke Kerinci baru pada tahun 1903. hal ini mungkin dikarenakan suku Kerinci terkenal berani dan menganut falsafah alam yaitu alam terbentang dijadikan guru.
Karena cepatnya penduduk Kerinci mengikuti arus modernisasi, kita merasa kebingungan untuk menemukan identitas asli dari adat–istiadat Kerinci, sekarang ini sulit kita temukan rumah adat Kerinci yang berukiran khas dengan berbagai motifnya yang indah dan pantun muda-mudi serta tale lembah Kerinci yang dapat memperkaya khasanah seni-budaya.

Dapat difahami bahwa dasar pertimbangan dari satu generasi kegenerasi berikutnya biasanya mengalami perobahan, hal ini terutama disebabkan oleh nilai materi ilmiahnya, sebagai akibat dari penemuan fakta–fakta baru serta peningkatan pengertian dari penelitian yang mendalam dan lebih luas. Alam pikiran manusia yang terwujud dalam kebudayaan senantiasa bergerak dari zaman–ke zaman dalam mencari persuasi terhadap lingkungan di mana ia berada.
Sekalipun banyak penulis mengenai Kerinci yang telah berusaha untuk mencoba menyingkap tabir misteri yang terkandung didaerah sakti Alam Kerinci, masih saja terdapat benturan dengan kenyataan yang ada, kalaupun tidak ada dikatakan didaerah mungkin halnya sudah berobah pada kurun tertentu.
Maka beralasanlah Depati Ninik Mamak buat mencoba menulis materi–materi tradisional yang masih terdapat ditengah masyarakat dusun atau pedesaan yang diakumulasikan sekitar adat Kerinci dalam Lingkungan Mendapo. Dimana kemungkinan perbedaan pendapat tetap ada antara pandangan cendikiawan dengan pamangku adat, namun hal ini tidaklah menjadi rintangan buat kita mencari jalan kebersamaan untuk pengembangan adat–istiadat didaerah ini.
Adat Kerinci dalam lingkungan mendapo, yang dimaksud adalah bagian–bagian Kerinci yang berdasarkan mendapo asli, yaitu ninik moyang. Seperti Depati orang tujuh Sungai Penuh dan Depati duo ninik rawang mempunyai tanah mendapo. Disini kami memfokuskan kepada kedua mendapo tersebut. Namun buku ini tidak merupakan penjabaran secara luas, karena kedua mendapo tadi mempunyai hubungan kait–berkait rotan saga dengan struktur kedaulatan adat Kerinci seluruhnya. Perlu diingatkan bahwa pengertian Kerinci disini mempunyai makna yang luas, hal ini untuk membedakan dengan Kabupaten Kerinci..

Historical Tradition of buffalo horn of old manuscript



  • Hini tutur tambana puyang luah bungkan pandan hiyalah ninik siyak langin datang dari bumi Minang Kabau, hiyalah turun ka kuta panda hiyalah mangambik ninik kami bagalar jayang beranay... ( this historical tradition is kept by Datuk Singarapi Sungai Penuh)

  • Hini tutur hurang datang bukit pariyang Padang Panjang puti hunduk pinang masak baduwa pabisan hitu ka kuta lima manis kepada dana banta… (this historical traditions is kept by Depati Sungai Lago Koto Beringin Rawang)

  • Hini tutur manunggu bungkan pandan sahulu sahilir sapa manunggu ninik siyak langin sapa bini dayang baranay datang di gunung kembang ninik siyak langin daba di banangkabay... ( this historical tradition is kept by Bujang Pariyang Koto Bento)

  • Hini tandauk parang dipati hatur gumi dipati marampat paningkar malin manyurat tutur ninik hurang kuta baringin datang pariyang Padang Panjang hurang batiga badik surang bagalay puti hunduk pinang masak, surang bagalay puti dayang baranay surang bagalay patih sabatang diyan pada dusung banta barayun…lalu ka dusung kunyit Puti Dayang Baranai Kawin dingan tuwan Si Samilullah beranak hurang sabilan baduwa jantan jahasi jahari... (this historical tradition is kept by dipati satio mandaro and datuk caya depati)

EXPOSE THE MYSTERY OF SWAMP MAN


So many wetlands of Kerinci nature, for examples Lake Kerinci, Lake Seven Mountain, Lake Lingkat, Lake Sati, Lake Duo, Ladeh Panjang Swamp and Bento Swamp and the rivers.
There is a unique thing at Bento Swamp, in this swamp there are many kinds of fish can eat as consumption although the water of this swamp are blended by sulfur. Bento swamp are turf area. It is the widest turf at TNKS about 1000 hectare. A part of Bento Swamp is Sungai Dalam Village. Kayu aro District, Kerinci Regency.
Kerinci Regency is an area that has the richness of traditional life and variation of Local community, one of their life are still depend to the nature. Mr. Jhon is one of swamp man who use swamp as his income. Everyday he installs fish trap by his canoe through the swamp and forest. And Mr. Jhon is one of farmers depend his life to that swamp.
One a week Mr Jhon usually can get three “Canting” of fish one “ Canting” is about Rp. 200.000, this man has five wives and four employees. Every employee gets Rp. 10.000 Salary a day.
Social condition of Kerinci people in the middle of globalization is easy to adapt. Generally, Kerinci people get information from newspaper, magazine, radio or television. So their assumption is influence by the media. They do not want to find a realistic fact. Of course this condition make Kerinci people different with their real culture.
Development of culture is not only on visualization level but to morality of society life as reflection of civilize society. Aristoteles said art is imitation of nature and use for education, recreation, contemplation media. It is mean the rule of art as media for creator to give a picture of life that happened in our society and the right stimulating to understand the value of social culture and art.

Thursday, October 23, 2008


Culture is human intrinsic values
It oriented to human and its environment.
Art is penetration to support culture development universally as an alternative



The destination of Kerinci Government to blend tourism and culture are interesting package for tourist and also for the artist. Kerinci is dominant with its ethnicity as positive respond for development. Education – art is one of them – is one of main factor in supporting of developing. This asset can be big asset, if there is harmony relation between society, government and the artist, and Kerinci has unique culture, of course this unique culture can be good contribution for Indonesian encyclopedia especially for the culture.
This culture activity explorer must be handle seriously. Geographic position of Kerinci is far away from center of culture development. The main problem of this area are information and communication, this thing will be very potential in keeping Kerinci society tradition for adding about national culture reference.
Art for Kerinci people is life. Because art activity is routine activity, realize or not realize, this condition are continue from one generation to next generation. This thing will be an factual observation as accumulation of talent.


Culture is human intrinsic values
It oriented to human and its environment.
Art is penetration to support culture development universally as an alternative



The destination of Kerinci Government to blend tourism and culture are interesting package for tourist and also for the artist. Kerinci is dominant with its ethnicity as positive respond for development. Education – art is one of them – is one of main factor in supporting of developing. This asset can be big asset, if there is harmony relation between society, government and the artist, and Kerinci has unique culture, of course this unique culture can be good contribution for Indonesian encyclopedia especially for the culture.
This culture activity explorer must be handle seriously. Geographic position of Kerinci is far away from center of culture development. The main problem of this area are information and communication, this thing will be very potential in keeping Kerinci society tradition for adding about national culture reference.
Art for Kerinci people is life. Because art activity is routine activity, realize or not realize, this condition are continue from one generation to next generation. This thing will be an factual observation as accumulation of talent.

NGO – For the Culture of Kerinci


NGO – For the Culture of Kerinci is institution of society was established on 9 June 6, 1999. The main focus of this NGO is to keep the local culture and traditional culture and gives. Its contribution for environment conservation and improve knowledge quality of society in culture perspective as a part of life. In six years of its journey, in the middle of culture crisis for young generation in this country. This NGO is still walking slowly. Slow but sure. And it always studies the culture of society. In doing its activity, this NGO is not affiliation with any party. It just cares about social life. This NGO is always try walking in its way to revitalize traditional culture of Kerinci. Excavation of history and archeology, environment and conservation, local culture approach and the wisdom of local tradition, seminar and workshop, publishing, educating and training for society for improve the quality of human resource. Revitalize spritual culture, religion, custom, art drama, exhibition , documentation.