Untuk mendapat gambaran mengenai historis aksara Incung, kita menyimak hasil penelitian para pakar asing, yaitu Dr. P. Voorhoeve tahun 1941 yang mendapat bantuan isterinya dan nona N. Coster, yang keduanya menguasai aksara Kerinci dan mereka dibantu oleh Abdul Hamid seorang guru Sekolah Dasar Koto Payang I. Sebagaimana dikutip dari “Kerintji Documents, 1970: 369-370”, Voorhoeve menerangkan sebagai berikut :
Kerinci, dalam perjalanan sejarahnya, telah mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Minangkabau di sebelah Utara dan Jambi di sebelah Timur. Daerah ini sekarang kembali menjadi bahagian dari Jambi. Karena hubungan dekatnya dengan Sumatera Selatan ia dimasukkan ke dalam kepustakaan Sumatera Selatan yang disusun oleh Helfrich dan Wellan dan diterbitkan oleh Zuid- Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan).
Dalam lapangan kesusastraan tertulis, perbedaan yang sangat menyolok antara Minangkabau dan Kerinci adalah bahwa di Kerinci terdapat banyak dokumen-dokumen atau naskah-naskah yang ditulis dalam tulisan Rencong (Ker. Incung), tulisan yang telah dipergunakan oleh rakyat Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Kerinci, dan disimpan sebagai pusaka turun temurun, sedangkan di Minangkabau hal yang demikian tidak ada sama sekali. Tulisan Kerinci mempunyai ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan tulisan Rencong Rejang dan tulisan-tulisan Melayu Tengah.
Ini menunjukkan hasil karya nenek moyang orang Kerinci yang telah berumur ratusan tahun, sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan amat berharga dalam konteks peradaban manusia. Untuk mengenal kembali karya peradaban suku Kerinci masa silam, harus dimulai dari mana asal mulanya aksara Incung itu. Karena tanpa mengetahui historis aksara yang dipergunakan masyarakat Kerinci zaman dahulu. Kita tidak akan dapat mempelajarinya dengan benar dan tepat penggambaran simbol aksara.
Salah satu peninggalan peradaban masa silam yang terdapat di Sumatera adalah aksara Incung daerah Kerinci. Di Sumatera ada 4 wilayah induk penyebaran aksara daerah yaitu Batak, Kerinci, Rejang dan Lampung. Aksara Incung terdapat di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, satu-satunya daerah yang memiliki aksara sendiri di Sumatera bahagian tengah. Ini dibuktikan dengan adanya naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun lebih yang mempergunakan aksara Incung, sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci. Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Kalau kita simak fonetis yang terdapat dalam naskah Incung umumnya memakai bahasa Melayu. Sebab bagaimanapun juga bahasa Kerinci Kuno tersebut merupakan bahagian dari bahasa Melayu zaman lampau yang penyebaran meluas dari Madagaskar sampai ke lautan Fasifik. Sekalipun ada juga kata-kata Kerinci yang tidak ditemui di daerah penyebaran bahasa Melayu lainnya, tentu hal tersebut merupakan ‘local geneus’ yang berkembang sesuai dengan lingkungan alam dan budaya lokal.
Dengan kondisi tersebut aksara Incung pada hakekatnya adalah bahagian dari sastra Indonesia Lama, karena apa yang ditulis dalam naskah-naskah Incung Kerinci berbahasa Melayu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit untuk dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak menurut dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Namun walaupun demikian, jika disimak secara seksama isi naskah pada tulisan Incung, orang masih dapat menangkap maksud dan makna yang terkandung didalamnya.
Adapun sejarah tulisan berbahasa Melayu telah mulai dipergunakan sekitar tahun 680. Dari masa itu ada prasasti berbahasa Melayu yang sampai kepada kita, yakni prasasti Karang Berahi (Bangko), Kedukan Bukit (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Talang Tuo (Palembang), dan beberapa prasasti lainnya. Prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa (India Kuno) dalam bahasa Melayu Kuno, oleh sebab itulah bahasa resmi dalam prasasti tadi kita namakan bahasa Melayu Kuno.
Berkaitan dengan bahasa dan aksara Kerinci, termasuk bahagian yang mempergunakan bahasa Melayu, sebagaimana yang ditulis dalam naskah-naskah Incung. Dalam naskah tersebut kita temui kata-kata yang tidak lazim pada dialek penyebaran orang-orang Melayu yang bermukim di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Perbedaannya berakar dari latar belakang bahwa induk suku Kerinci berasal dari Proto Melayu, dan dari sisi lain proses perjalanan sejarah orang Kerinci tentu berbeda dengan daerah Melayu lainnya, karena pemakaian aksara maupun fonetis bahasanya mendapat pengaruh lingkungan alam dan budaya lokal Kerinci.
Satu pertanyaan, kapan aksara Incung mulai dipergunakan orang Kerinci?. Untuk mengungkapnya tentu membutuhkan penelitian yang kongrit. Namun demikian, diduga orang Kerinci telah menggunakan tulisan Incung sejak zaman sesudah adanya prasasti Sriwijaya abad ke 7 di Karang Berahi (Kabupaten Merangin) bertulisan Pallawa. Cukup beralasan karena sebelumnya tidak ditemukan benda bertulisan di daerah Kerinci umumnya di Sumatera kecuali aksara Pallawa tersebut.
Walaupun demikian belum tentu orang Kerinci pada zamannya meniru tulisan Pallawa, baik cara penulisan maupun cara bacaannya. Aksara Incung pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Yang jelas aksara Incung sudah dipergunakan oleh orang Kerinci selama berabad-abad sesudah aksara Pallawa dikenal oleh bangsa Melayu Sumatera. Inspirasi lahirnya aksara Incung pada orang Kerinci Kuno, didasari atas pemikiran pentingnya untuk pendokumentasian berbagai peristiwa kehidupan, kemasyarakatan, sejarah, tulis-menulis dan lain-lain.
Daerah yang terkait dengan hubungan aksara Incung Kerinci adalah Lampung dan Rejang. Seperti di Lampung, masyarakat di sana menyebut aksara daerahnya sebagai “Surat Ulu” atau sebutan lainnya “Palembang Ulu”. Di daerah Sumatera Selatan yang memakai bahasa Melayu, mengatakan bahasa yang terpakai pada ‘Surat Ulu’ tadi bukanlah bahasa Melayu, tetapi mereka mengatakan bahasa orang dahulu, bahasa kuno.
Kata Surat Ulu, yaitu surat orang zaman dahulu, banyak dibantah oleh pakar filologi. Menurut mereka yang benar ‘Surat Ulu’, yaitu surat ‘Hulu’ atau surat orang ‘pedalaman’. Karena surat-surat dengan aksara itu hanya terpakai di pedalaman saja, sedangkan pedalaman yang memiliki peradaban tulis baca pada zamannya adalah daerah Kerinci. Daerah Kerinci berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologi, dalam sejarah kebudayaan Nusantara merupakan daerah yang sangat tua (di Kerinci ditemui keramik dari Dinasti Han 300 SM).
Untuk mengungkap historis pemakaian aksara Incung yang terdapat pada naskah-naskah kuno Kerinci. Ada petunjuk dari beberapa naskah dengan pendahuluan kata-kata berbunyi :
- Basamilah mujur batuwah jari tangan aku mangarang surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Depati Satio Mandaro di Desa Dusun Dilir Rawang)
- Ah basamilah akung mangarang parapatah surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Rajo Sulah Desa Siulak Mukai).
Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan ‘surat incung jawa palimbang’ maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut. Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai ‘jawa palimbang’. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya kerajaan Sriwijaya. Hal ini dijelaskan oleh prasasti Kota Kapur Bangka (686 M) yang menyebutkan penghancuran bhumi jawa yang tidak bakti (tunduk) kepada Sriwijaya, antara lain bunyinya “..ni pahat di welanya yang wala srivijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ke srivijaya”. Bhumi Jawa tersebut adalah sebuah kerajaan di Lampung, yaitu Tulang Bawang yang memiliki kekuatan menyaingi Sriwijaya. Sedangkan ‘palimbang’ yang dimaksud dalam tulisan Incung Kerinci, juga bukan berarti kota Palembang, tetapi adalah komunitas orang dengan kebudayaannya di Sumatera Selatan, karena aksara Incung tidak terdapat di Palembang.
Jadi aksara yang terdapat dalam naskah kuno Kerinci, zaman dahulunya pemakaiannya sampai ke Rejang dan Lampung. Dalam naskah kuno Incung juga disebut nama kota-kota tua yang ada di daerah Selatan, sekalipun saat sekarang kota atau tempat tersebut tidak lagi memakai nama seperti dalam naskah Incung. Kerinci sebagai daerah hulu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dan orang Kerinci menyebut Jambi dan Palembang sebagai daerah rantau transit perdagangan ke selat Malaka. Selama ratusan tahun hubungan orang Kerinci ke Selatan dengan melewati jalur tradisional Merangin dan Gunung Sumbing, untuk perdagangan sekaligus kontak budaya dengan masyakarat bahagian Selatan. Dari hubungan antara segala macam fenomena simbolik dengan realitas kehidupan masyarakat Kerinci dahulunya dengan orang-orang Melayu Sumatera, dapat diproyeksikan keberadaan aksara Incung sudah dipergunakan secara luas pada abad ke 14 M..
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan karya aksara Incung pengaruh Hindu. Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing pertama dan lama di Nusantara ini. Kenyataan terdapatnya kata-kata Hindu dalam naskah kuno Kerinci aksara Incung seperti kata Batara, Dewa, dan sebagainya.
Dalam pada itu, setelah agama Islam sampai ke Nusantara ini, beberapa suku bangsa yang disebut sebagai rumpun Melayu itu kemudian berkembang dengan ciri-ciri agama, bahasa, dan budayanya masing-masing. Dalam perkembangan yang terjadi melalui jalan sejarah yang panjang itu kita akhirnya dapat melihat bahwa orang-orang atau penduduk yang mendiami Sumatera, khususnya wilayah Kerinci memperlihatkan ciri dengan suatu warna budaya yang amat banyak diwarnai oleh agama mereka, yaitu Islam. Penduduk daerah ini beragama Islam, berbahasa Melayu Kerinci, serta mempunyai berbagai kesamaan pula dalam adat dan tradisi dengan daerah sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi.
Begitupun dengan aksara daerah yang dimiliki orang Kerinci disebut ‘aksara Incung’, menghasil karya-karya tulis bermutu tinggi sekalipun mereka telah melupakannya. Sejak abad ke-19 naskah-naskah aksara Incung telah dijadikan benda keramat oleh rakyat Kerinci, sedangkan orang-orang yang ahli dan dapat menulis dan membaca tulisan ini sudah tiada lagi.
MEDIA PENULISAN AKSARA INCUNG
Penulisan aksara Incung oleh orang Kerinci dimuat dalam karya sastra klasik. Pengertian sastra klasik ialah segala sesuatu yang tertulis, segala rupa tulisan dapat dipandang sebagai produk sastra, bermacam tulisan dalam berbagai bidang ilmu dan warna kehidupan dapat menjadi sasaran studi sastra. Kajian ini merupakan suatu studi yang memanfaatkan segala dokumen tertulis bagi suatu pembahasan berbagai cabang ilmu, kebudayaan, dan agama. Pengertian sastra yang dipasang dalam cabang ini memberi peluang kepada siapapun untuk memakai segala teks tertulis untuk kepentingan bahan kajian dalam suatu kegiatan ilmu tertentu. Hasil sastra klasik Kerinci secara tertulis mulai pada zaman Islam awal memakai aksara Incung, dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno Kerinci. Naskah kuno Kerinci yang sampai kepada kita berasal dari abad ke 13 – 19 M berupa benda-benda pusaka atau ‘pedandan’.
Ada semacam kepercayaan dikalangan orang Kerinci, bahwa penciptaan aksara dan pelahiran kesusastraan bersumber dari suatu latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan Ketuhanan sebagai suatu keseluruhan. Sehingga kesusastraan orang Kerinci yang ditulis pada media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, kain dan kertas merupakan kesusastraan suci yang dianggap keramat dan sakti. Sampai saat sekarangpun kepercayaan tersebut sulit hilang dalam kehidupan budaya masyarakat Kerinci
Kalau kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaklah hal yang dapat dibicarakan dalam konteks tersebut. Bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan ilmu pengetahuan adalah hasil-hasil budaya manusia yang harus dipertahankan hidupnya dan diusahakan pengembangannya. Salah satu aset kebudayaan Kerinci adalah bahasa Kerinci, bahasa ini memiliki perbedaan dengan dialek yang diucapkan oleh daerah sekitar Kerinci seperti Jambi dan Minangkabau. Kebanyakan bahasa daerah yang dipakai penduduk Sumatera umumnya adalah bahasa Melayu, kedalamnya termasuk juga bahasa Kerinci. Bahasa Kerinci dipergunakan khusus penutur yang ada di kabupaten Kerinci.
Sekalipun bahasa Kerinci berbeda dengan daerah lainnya di Sumatera, namun bahasa daerah ini berpokok kepada bahasa Melayu. Sejak zaman dahulu menjadi bahasa untuk semua kegiatan bagi orang Kerinci. Bahasa ini dipergunakan juga oleh orang Kerinci dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian dan sastra.
Naskah-naskah kuno Kerinci yang kita sebutkan itu merupakan satu perigi dari perigi khasanah sastra Melayu Klasik di Indonesia. Masih terbuka lagi kemungkinan menemukan perigi lain dari peninggalan peradaban Kerinci masa silam. Juga akan menjadi bahan studi menarik, baik dari segi mutu maupun ketinggian nilai sastranya. Kita melihat beberapa aspek naskah kuno daerah Kerinci, yang kita pandang sebagai dokumen tertulis sastra klasik. Hasil sastra klasik itu tidak lain berupa naskah-naskah, merupakan peninggalan dan hasil karya nenek moyang orang Kerinci masa silam.
Bahasa Kerinci adalah bahagian dari bahasa Melayu, sebagai daerah terpencil mempunyai dialek tersendiri Dialeknya berbeda sekali dengan suku-suku Sumatera lainnya. Namun orang Kerinci mengerti apabila orang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu atau Indonesia umumnya mereka langsung mengerti pembicaraan tersebut. Karakteristik bahasa Kerinci terletak pada dialeknya yang banyak, hal seperti ini tidak ditemui di daerah lainnya Indonesia. Sehingga terdapat dialek yang berbeda sebanyak jumlah desa (dusun asli, masyarakat persekutuan adat) yang ada dalam Kabupaten Kerinci semuanya berjumlah + 177 dialek. Diantara Faktor lain yang sangat mempengaruhi majemuknya dialek tersebut, dikarenakan kelompok–kelompok yang membentuk dusun (Kerinci: luhah, nagehi) lebih dominan hubungan genealogis teritorialnya. Sekalipun dusun itu bertetangga hanya dibatasi oleh jalan atau seberang sungai saja, tetapi ketika saling berkomunikasi mereka sama–sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya. Juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka dalam dialek yang berbeda tersebut. Mereka merupakan kesatuan dalam sebuah lingkungan budaya Alam Kerinci. Jadi bahasa Kerinci ialah bahasa yang saling dimengerti oleh masyarakat yang menghuni lingkungan Alam Kerinci atau Kabupaten Kerinci.
Melihat bentuk grafis aksara Incung Kerinci hampir mirip dengan aksara daerah Sumatera lainnya seperti Batak, Rejang, dan Lampung. Sekalipun pada bacaan dan penulisannya banyak juga perbedaan yang mendasar. Kemiripan aksara-aksara daerah itu disebabkan, mereka berasal dari satu lingkungan budaya Sumatera yang sama pada masa dahulunya. Kemudian proses tumbuh dan berkembang, aksara tersebut mengalami corak yang membedakan satu sama lainnya sesuai dengan kondisi dan letak pusat induk kultur masing-masing etnis Sumatera itu.
Satu hal, pada naskah-naskah tulisan Incung itu tidak ditemukan penunjuk angka untuk bilangan. Jadi tulisan Incung hanya mengenal huruf saja dan tidak mempunyai angka bilangan. Mungkin inilah yang menyebabkan pada setiap naskah tidak didapati penanggalan maupun tanggal penulisannya.
Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada puncaknya abad ke – 16, dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerinci penulisan naskah-naskah beralih ke aksara Arab dengan bahasa Melayu. Hasil-hasil sastra Kerinci pengaruh Islam cukup banyak, antara lain cerita tentang Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, dan cerita mistik dan tasauf. Penulisan sastra Incung juga dipengaruhi oleh Islam seperti adanya dalam naskah-naskah kuno Kerinci aksara Incung, seperti pada kata pengantar : basamilah mujur dan assalamualikun. Ini menunjuk bahwa orang Kerinci saat peralihan masuknya aksara Arab atau Islam, tidak menjadikan hilangnya aksara Incung dari kehidupan mayarakat Kerinci. Tetapi memperkaya karya sastra Incung dengan nuansa Islam, yang mana mereka menulis naskah-naskah Incung dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam.
Kerinci, dalam perjalanan sejarahnya, telah mempunyai hubungan politik dan kebudayaan dengan Minangkabau di sebelah Utara dan Jambi di sebelah Timur. Daerah ini sekarang kembali menjadi bahagian dari Jambi. Karena hubungan dekatnya dengan Sumatera Selatan ia dimasukkan ke dalam kepustakaan Sumatera Selatan yang disusun oleh Helfrich dan Wellan dan diterbitkan oleh Zuid- Sumatra Instituut (Institut Sumatera Selatan).
Dalam lapangan kesusastraan tertulis, perbedaan yang sangat menyolok antara Minangkabau dan Kerinci adalah bahwa di Kerinci terdapat banyak dokumen-dokumen atau naskah-naskah yang ditulis dalam tulisan Rencong (Ker. Incung), tulisan yang telah dipergunakan oleh rakyat Kerinci sebelum datangnya tulisan Arab-Melayu bersamaan dengan masuknya agama Islam ke Kerinci, dan disimpan sebagai pusaka turun temurun, sedangkan di Minangkabau hal yang demikian tidak ada sama sekali. Tulisan Kerinci mempunyai ciri-ciri yang khas dan berbeda dengan tulisan Rencong Rejang dan tulisan-tulisan Melayu Tengah.
Ini menunjukkan hasil karya nenek moyang orang Kerinci yang telah berumur ratusan tahun, sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan amat berharga dalam konteks peradaban manusia. Untuk mengenal kembali karya peradaban suku Kerinci masa silam, harus dimulai dari mana asal mulanya aksara Incung itu. Karena tanpa mengetahui historis aksara yang dipergunakan masyarakat Kerinci zaman dahulu. Kita tidak akan dapat mempelajarinya dengan benar dan tepat penggambaran simbol aksara.
Salah satu peninggalan peradaban masa silam yang terdapat di Sumatera adalah aksara Incung daerah Kerinci. Di Sumatera ada 4 wilayah induk penyebaran aksara daerah yaitu Batak, Kerinci, Rejang dan Lampung. Aksara Incung terdapat di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, satu-satunya daerah yang memiliki aksara sendiri di Sumatera bahagian tengah. Ini dibuktikan dengan adanya naskah-naskah kuno berumur ratusan tahun lebih yang mempergunakan aksara Incung, sampai saat ini masih disimpan oleh orang Kerinci. Bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah-naskah tersebut adalah bahasa Kerinci Kuno yaitu bahasa lingua franca suku Kerinci zaman dahulu. Kalau kita simak fonetis yang terdapat dalam naskah Incung umumnya memakai bahasa Melayu. Sebab bagaimanapun juga bahasa Kerinci Kuno tersebut merupakan bahagian dari bahasa Melayu zaman lampau yang penyebaran meluas dari Madagaskar sampai ke lautan Fasifik. Sekalipun ada juga kata-kata Kerinci yang tidak ditemui di daerah penyebaran bahasa Melayu lainnya, tentu hal tersebut merupakan ‘local geneus’ yang berkembang sesuai dengan lingkungan alam dan budaya lokal.
Dengan kondisi tersebut aksara Incung pada hakekatnya adalah bahagian dari sastra Indonesia Lama, karena apa yang ditulis dalam naskah-naskah Incung Kerinci berbahasa Melayu. Dalam naskah itu, diantaranya banyak terdapat kata-kata dan ungkapan yang sulit untuk dimengerti bila dihubungkan dengan bahasa Kerinci yang digunakan oleh masyarakat sekarang, karena bahasa tersebut tidak menurut dialek desa tempatan yang ada di Kabupaten Kerinci. Namun walaupun demikian, jika disimak secara seksama isi naskah pada tulisan Incung, orang masih dapat menangkap maksud dan makna yang terkandung didalamnya.
Adapun sejarah tulisan berbahasa Melayu telah mulai dipergunakan sekitar tahun 680. Dari masa itu ada prasasti berbahasa Melayu yang sampai kepada kita, yakni prasasti Karang Berahi (Bangko), Kedukan Bukit (Palembang), Kota Kapur (Bangka), Talang Tuo (Palembang), dan beberapa prasasti lainnya. Prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa (India Kuno) dalam bahasa Melayu Kuno, oleh sebab itulah bahasa resmi dalam prasasti tadi kita namakan bahasa Melayu Kuno.
Berkaitan dengan bahasa dan aksara Kerinci, termasuk bahagian yang mempergunakan bahasa Melayu, sebagaimana yang ditulis dalam naskah-naskah Incung. Dalam naskah tersebut kita temui kata-kata yang tidak lazim pada dialek penyebaran orang-orang Melayu yang bermukim di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Perbedaannya berakar dari latar belakang bahwa induk suku Kerinci berasal dari Proto Melayu, dan dari sisi lain proses perjalanan sejarah orang Kerinci tentu berbeda dengan daerah Melayu lainnya, karena pemakaian aksara maupun fonetis bahasanya mendapat pengaruh lingkungan alam dan budaya lokal Kerinci.
Satu pertanyaan, kapan aksara Incung mulai dipergunakan orang Kerinci?. Untuk mengungkapnya tentu membutuhkan penelitian yang kongrit. Namun demikian, diduga orang Kerinci telah menggunakan tulisan Incung sejak zaman sesudah adanya prasasti Sriwijaya abad ke 7 di Karang Berahi (Kabupaten Merangin) bertulisan Pallawa. Cukup beralasan karena sebelumnya tidak ditemukan benda bertulisan di daerah Kerinci umumnya di Sumatera kecuali aksara Pallawa tersebut.
Walaupun demikian belum tentu orang Kerinci pada zamannya meniru tulisan Pallawa, baik cara penulisan maupun cara bacaannya. Aksara Incung pada awalnya ditulis dengan memakai sejenis benda runcing dan guratannya mirip dengan tulisan paku aksara Babilonia Kuno. Yang jelas aksara Incung sudah dipergunakan oleh orang Kerinci selama berabad-abad sesudah aksara Pallawa dikenal oleh bangsa Melayu Sumatera. Inspirasi lahirnya aksara Incung pada orang Kerinci Kuno, didasari atas pemikiran pentingnya untuk pendokumentasian berbagai peristiwa kehidupan, kemasyarakatan, sejarah, tulis-menulis dan lain-lain.
Daerah yang terkait dengan hubungan aksara Incung Kerinci adalah Lampung dan Rejang. Seperti di Lampung, masyarakat di sana menyebut aksara daerahnya sebagai “Surat Ulu” atau sebutan lainnya “Palembang Ulu”. Di daerah Sumatera Selatan yang memakai bahasa Melayu, mengatakan bahasa yang terpakai pada ‘Surat Ulu’ tadi bukanlah bahasa Melayu, tetapi mereka mengatakan bahasa orang dahulu, bahasa kuno.
Kata Surat Ulu, yaitu surat orang zaman dahulu, banyak dibantah oleh pakar filologi. Menurut mereka yang benar ‘Surat Ulu’, yaitu surat ‘Hulu’ atau surat orang ‘pedalaman’. Karena surat-surat dengan aksara itu hanya terpakai di pedalaman saja, sedangkan pedalaman yang memiliki peradaban tulis baca pada zamannya adalah daerah Kerinci. Daerah Kerinci berdasarkan bukti-bukti temuan arkeologi, dalam sejarah kebudayaan Nusantara merupakan daerah yang sangat tua (di Kerinci ditemui keramik dari Dinasti Han 300 SM).
Untuk mengungkap historis pemakaian aksara Incung yang terdapat pada naskah-naskah kuno Kerinci. Ada petunjuk dari beberapa naskah dengan pendahuluan kata-kata berbunyi :
- Basamilah mujur batuwah jari tangan aku mangarang surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Depati Satio Mandaro di Desa Dusun Dilir Rawang)
- Ah basamilah akung mangarang parapatah surat incung jawa palimbang ... (Bambu dua ruas tulisan Incung pusaka Rajo Sulah Desa Siulak Mukai).
Apa yang ditulis dalam naskah kuno Kerinci dengan sebutan ‘surat incung jawa palimbang’ maksudnya adalah, penyebaran aksara Incung sebagai tulisan lingua franca sampai ke daerah Sumatera bahagian Selatan pada zaman tersebut. Daerah Selatan itu yaitu daerah Lampung dan Rejang, yang mana oleh orang Kerinci zaman dahulu disebut sebagai ‘jawa palimbang’. Dimaksud dengan Jawa bukan Pulau Jawa tetapi daerah Lampung, sesuai dengan keadaan munculnya kerajaan Sriwijaya. Hal ini dijelaskan oleh prasasti Kota Kapur Bangka (686 M) yang menyebutkan penghancuran bhumi jawa yang tidak bakti (tunduk) kepada Sriwijaya, antara lain bunyinya “..ni pahat di welanya yang wala srivijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhakti ke srivijaya”. Bhumi Jawa tersebut adalah sebuah kerajaan di Lampung, yaitu Tulang Bawang yang memiliki kekuatan menyaingi Sriwijaya. Sedangkan ‘palimbang’ yang dimaksud dalam tulisan Incung Kerinci, juga bukan berarti kota Palembang, tetapi adalah komunitas orang dengan kebudayaannya di Sumatera Selatan, karena aksara Incung tidak terdapat di Palembang.
Jadi aksara yang terdapat dalam naskah kuno Kerinci, zaman dahulunya pemakaiannya sampai ke Rejang dan Lampung. Dalam naskah kuno Incung juga disebut nama kota-kota tua yang ada di daerah Selatan, sekalipun saat sekarang kota atau tempat tersebut tidak lagi memakai nama seperti dalam naskah Incung. Kerinci sebagai daerah hulu yang terletak di dataran tinggi Bukit Barisan, dan orang Kerinci menyebut Jambi dan Palembang sebagai daerah rantau transit perdagangan ke selat Malaka. Selama ratusan tahun hubungan orang Kerinci ke Selatan dengan melewati jalur tradisional Merangin dan Gunung Sumbing, untuk perdagangan sekaligus kontak budaya dengan masyakarat bahagian Selatan. Dari hubungan antara segala macam fenomena simbolik dengan realitas kehidupan masyarakat Kerinci dahulunya dengan orang-orang Melayu Sumatera, dapat diproyeksikan keberadaan aksara Incung sudah dipergunakan secara luas pada abad ke 14 M..
Dalam perkembangannya, kita akan menemukan karya aksara Incung pengaruh Hindu. Pengaruh Hindu merupakan pengaruh asing pertama dan lama di Nusantara ini. Kenyataan terdapatnya kata-kata Hindu dalam naskah kuno Kerinci aksara Incung seperti kata Batara, Dewa, dan sebagainya.
Dalam pada itu, setelah agama Islam sampai ke Nusantara ini, beberapa suku bangsa yang disebut sebagai rumpun Melayu itu kemudian berkembang dengan ciri-ciri agama, bahasa, dan budayanya masing-masing. Dalam perkembangan yang terjadi melalui jalan sejarah yang panjang itu kita akhirnya dapat melihat bahwa orang-orang atau penduduk yang mendiami Sumatera, khususnya wilayah Kerinci memperlihatkan ciri dengan suatu warna budaya yang amat banyak diwarnai oleh agama mereka, yaitu Islam. Penduduk daerah ini beragama Islam, berbahasa Melayu Kerinci, serta mempunyai berbagai kesamaan pula dalam adat dan tradisi dengan daerah sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi.
Begitupun dengan aksara daerah yang dimiliki orang Kerinci disebut ‘aksara Incung’, menghasil karya-karya tulis bermutu tinggi sekalipun mereka telah melupakannya. Sejak abad ke-19 naskah-naskah aksara Incung telah dijadikan benda keramat oleh rakyat Kerinci, sedangkan orang-orang yang ahli dan dapat menulis dan membaca tulisan ini sudah tiada lagi.
MEDIA PENULISAN AKSARA INCUNG
Penulisan aksara Incung oleh orang Kerinci dimuat dalam karya sastra klasik. Pengertian sastra klasik ialah segala sesuatu yang tertulis, segala rupa tulisan dapat dipandang sebagai produk sastra, bermacam tulisan dalam berbagai bidang ilmu dan warna kehidupan dapat menjadi sasaran studi sastra. Kajian ini merupakan suatu studi yang memanfaatkan segala dokumen tertulis bagi suatu pembahasan berbagai cabang ilmu, kebudayaan, dan agama. Pengertian sastra yang dipasang dalam cabang ini memberi peluang kepada siapapun untuk memakai segala teks tertulis untuk kepentingan bahan kajian dalam suatu kegiatan ilmu tertentu. Hasil sastra klasik Kerinci secara tertulis mulai pada zaman Islam awal memakai aksara Incung, dapat kita temukan pada naskah-naskah kuno Kerinci. Naskah kuno Kerinci yang sampai kepada kita berasal dari abad ke 13 – 19 M berupa benda-benda pusaka atau ‘pedandan’.
Ada semacam kepercayaan dikalangan orang Kerinci, bahwa penciptaan aksara dan pelahiran kesusastraan bersumber dari suatu latar belakang perwujudan budaya alam, manusia, dan Ketuhanan sebagai suatu keseluruhan. Sehingga kesusastraan orang Kerinci yang ditulis pada media tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, daun lontar, kain dan kertas merupakan kesusastraan suci yang dianggap keramat dan sakti. Sampai saat sekarangpun kepercayaan tersebut sulit hilang dalam kehidupan budaya masyarakat Kerinci
Kalau kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, banyaklah hal yang dapat dibicarakan dalam konteks tersebut. Bahasa, adat-istiadat, kesenian, dan ilmu pengetahuan adalah hasil-hasil budaya manusia yang harus dipertahankan hidupnya dan diusahakan pengembangannya. Salah satu aset kebudayaan Kerinci adalah bahasa Kerinci, bahasa ini memiliki perbedaan dengan dialek yang diucapkan oleh daerah sekitar Kerinci seperti Jambi dan Minangkabau. Kebanyakan bahasa daerah yang dipakai penduduk Sumatera umumnya adalah bahasa Melayu, kedalamnya termasuk juga bahasa Kerinci. Bahasa Kerinci dipergunakan khusus penutur yang ada di kabupaten Kerinci.
Sekalipun bahasa Kerinci berbeda dengan daerah lainnya di Sumatera, namun bahasa daerah ini berpokok kepada bahasa Melayu. Sejak zaman dahulu menjadi bahasa untuk semua kegiatan bagi orang Kerinci. Bahasa ini dipergunakan juga oleh orang Kerinci dalam penyebaran agama, perdagangan, pertanian dan sastra.
Naskah-naskah kuno Kerinci yang kita sebutkan itu merupakan satu perigi dari perigi khasanah sastra Melayu Klasik di Indonesia. Masih terbuka lagi kemungkinan menemukan perigi lain dari peninggalan peradaban Kerinci masa silam. Juga akan menjadi bahan studi menarik, baik dari segi mutu maupun ketinggian nilai sastranya. Kita melihat beberapa aspek naskah kuno daerah Kerinci, yang kita pandang sebagai dokumen tertulis sastra klasik. Hasil sastra klasik itu tidak lain berupa naskah-naskah, merupakan peninggalan dan hasil karya nenek moyang orang Kerinci masa silam.
Bahasa Kerinci adalah bahagian dari bahasa Melayu, sebagai daerah terpencil mempunyai dialek tersendiri Dialeknya berbeda sekali dengan suku-suku Sumatera lainnya. Namun orang Kerinci mengerti apabila orang bercakap-cakap dalam bahasa Melayu atau Indonesia umumnya mereka langsung mengerti pembicaraan tersebut. Karakteristik bahasa Kerinci terletak pada dialeknya yang banyak, hal seperti ini tidak ditemui di daerah lainnya Indonesia. Sehingga terdapat dialek yang berbeda sebanyak jumlah desa (dusun asli, masyarakat persekutuan adat) yang ada dalam Kabupaten Kerinci semuanya berjumlah + 177 dialek. Diantara Faktor lain yang sangat mempengaruhi majemuknya dialek tersebut, dikarenakan kelompok–kelompok yang membentuk dusun (Kerinci: luhah, nagehi) lebih dominan hubungan genealogis teritorialnya. Sekalipun dusun itu bertetangga hanya dibatasi oleh jalan atau seberang sungai saja, tetapi ketika saling berkomunikasi mereka sama–sama mengerti maksud dari pembicaraan lawannya. Juga tidak menghambat hubungan silaturahmi diantara mereka dalam dialek yang berbeda tersebut. Mereka merupakan kesatuan dalam sebuah lingkungan budaya Alam Kerinci. Jadi bahasa Kerinci ialah bahasa yang saling dimengerti oleh masyarakat yang menghuni lingkungan Alam Kerinci atau Kabupaten Kerinci.
Melihat bentuk grafis aksara Incung Kerinci hampir mirip dengan aksara daerah Sumatera lainnya seperti Batak, Rejang, dan Lampung. Sekalipun pada bacaan dan penulisannya banyak juga perbedaan yang mendasar. Kemiripan aksara-aksara daerah itu disebabkan, mereka berasal dari satu lingkungan budaya Sumatera yang sama pada masa dahulunya. Kemudian proses tumbuh dan berkembang, aksara tersebut mengalami corak yang membedakan satu sama lainnya sesuai dengan kondisi dan letak pusat induk kultur masing-masing etnis Sumatera itu.
Satu hal, pada naskah-naskah tulisan Incung itu tidak ditemukan penunjuk angka untuk bilangan. Jadi tulisan Incung hanya mengenal huruf saja dan tidak mempunyai angka bilangan. Mungkin inilah yang menyebabkan pada setiap naskah tidak didapati penanggalan maupun tanggal penulisannya.
Agama Islam berkembang dengan pesat di Nusantara pada puncaknya abad ke – 16, dengan masuknya pengaruh Islam ke Kerinci penulisan naskah-naskah beralih ke aksara Arab dengan bahasa Melayu. Hasil-hasil sastra Kerinci pengaruh Islam cukup banyak, antara lain cerita tentang Nabi Adam, Nabi Muhammad SAW, cerita tentang ajaran dan kepercayaan Islam, dan cerita mistik dan tasauf. Penulisan sastra Incung juga dipengaruhi oleh Islam seperti adanya dalam naskah-naskah kuno Kerinci aksara Incung, seperti pada kata pengantar : basamilah mujur dan assalamualikun. Ini menunjuk bahwa orang Kerinci saat peralihan masuknya aksara Arab atau Islam, tidak menjadikan hilangnya aksara Incung dari kehidupan mayarakat Kerinci. Tetapi memperkaya karya sastra Incung dengan nuansa Islam, yang mana mereka menulis naskah-naskah Incung dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam.
Ditulis oleh Depati Alimin
Depati Alimin lahir di Kerinci 10 Agustus 1952. Penulis, peneliti, budayawan, pemangku adat. Jabatan : Ketua Seksi Seni Budaya LAAK.
Menulis sejak tahun 1970, tulisan berupa puisi, essai, future dimuat dimedia massa Haluan (Padang), Merdeka (Jakarta), Jambi Ekspres (Jambi), Independent (Jambi), Andaka (Jakarta). Antologi puisi “Rakit Biru, 1998” bersama penyair Jambi, antologi cerpen “dari Tauh sampai Kedondong, 1999”, antologi “Tadarus Puisi, 2002” bersama Penyair Jambi terbitan Dewan Kesenian Jambi. Antologi puisi “Tirawang, 2000”, antologi dongeng Kerinci “Telor Naga, 2000”, buku Benda Cagar Budaya Kabupaten Kerinci (2001).
Diklat teknis Sarasehan dan Worshop Seni Teater (1997) di Jambi, Penataran Pengembangan Kebudayaan Daerah Jambi (1997), Sarasehan dan Worshop Teater dan Aktor Film (1999) di Jambi, Peny. Inf. Seni Tari (1999) di Jakarta, Pemetaan Seni (1999) di Jambi, Teknik Pengembangan Kebudayaan (1999) di Jakarta.
Pemakalah seminar Busana dan Pelaminan Adat Daerah Kerinci (1996), pemakalah Festival Seni Pertunjukan Rakyat (1996), Pemakalah Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah (2000), pemakalah seminar Mempertahankan Pelestarian TNKS dan Keanekaragaman Hayati Melalui Pendekatan Kebudayaan (2002), pemakalah seminar Satu Abad Perang Kerinci 1903 (2002).
Penghargaan antara lain: Specialist of Kerinci traditions and social and cultural characteristis (1993) dari Direktur CNWS Leiden University Belanda, Pemenang Lomba Cipta Puisi “Batanghari” (1998) se-Propinsi Jambi, Certificate as a Specialist in Kerinci culture (1999) dari Chair of cultural anthropology of Indonesia Rijks-universiteit Leiden, Pemenang I Lomba Cendramata (1999) se-Propinsi Jambi, 10 Besar Penyair Jambi pada Dialog dan Kreativitas Seni 2000, Pemenang I Lomba Penulisan Sejarah Jambi (1999) se-Propinsi Jambi, Budayawan berprestasi (2000) dari Bupati Kerinci. Pemimpin artistik Muhibah Budaya Kabupaten Kerinci ke Pahang Malaysia (2001). Penulis Dinamika Adat Provinsi Jambi dari Lembaga Adat Provinsi Jambi (2002), Nara Sumber Expedition of Kerinci KKL Arsitektur Nusantara dari Universitas Bung Hatta dan Universitas Tri Sakti (2003).
Hubungan internasional The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences- Leiden University Belanda, Albert Ludwigs-Universitat Freiburg Jerman, Division of the Arts-University of California USA.
Menulis sejak tahun 1970, tulisan berupa puisi, essai, future dimuat dimedia massa Haluan (Padang), Merdeka (Jakarta), Jambi Ekspres (Jambi), Independent (Jambi), Andaka (Jakarta). Antologi puisi “Rakit Biru, 1998” bersama penyair Jambi, antologi cerpen “dari Tauh sampai Kedondong, 1999”, antologi “Tadarus Puisi, 2002” bersama Penyair Jambi terbitan Dewan Kesenian Jambi. Antologi puisi “Tirawang, 2000”, antologi dongeng Kerinci “Telor Naga, 2000”, buku Benda Cagar Budaya Kabupaten Kerinci (2001).
Diklat teknis Sarasehan dan Worshop Seni Teater (1997) di Jambi, Penataran Pengembangan Kebudayaan Daerah Jambi (1997), Sarasehan dan Worshop Teater dan Aktor Film (1999) di Jambi, Peny. Inf. Seni Tari (1999) di Jakarta, Pemetaan Seni (1999) di Jambi, Teknik Pengembangan Kebudayaan (1999) di Jakarta.
Pemakalah seminar Busana dan Pelaminan Adat Daerah Kerinci (1996), pemakalah Festival Seni Pertunjukan Rakyat (1996), Pemakalah Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah (2000), pemakalah seminar Mempertahankan Pelestarian TNKS dan Keanekaragaman Hayati Melalui Pendekatan Kebudayaan (2002), pemakalah seminar Satu Abad Perang Kerinci 1903 (2002).
Penghargaan antara lain: Specialist of Kerinci traditions and social and cultural characteristis (1993) dari Direktur CNWS Leiden University Belanda, Pemenang Lomba Cipta Puisi “Batanghari” (1998) se-Propinsi Jambi, Certificate as a Specialist in Kerinci culture (1999) dari Chair of cultural anthropology of Indonesia Rijks-universiteit Leiden, Pemenang I Lomba Cendramata (1999) se-Propinsi Jambi, 10 Besar Penyair Jambi pada Dialog dan Kreativitas Seni 2000, Pemenang I Lomba Penulisan Sejarah Jambi (1999) se-Propinsi Jambi, Budayawan berprestasi (2000) dari Bupati Kerinci. Pemimpin artistik Muhibah Budaya Kabupaten Kerinci ke Pahang Malaysia (2001). Penulis Dinamika Adat Provinsi Jambi dari Lembaga Adat Provinsi Jambi (2002), Nara Sumber Expedition of Kerinci KKL Arsitektur Nusantara dari Universitas Bung Hatta dan Universitas Tri Sakti (2003).
Hubungan internasional The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences- Leiden University Belanda, Albert Ludwigs-Universitat Freiburg Jerman, Division of the Arts-University of California USA.
No comments:
Post a Comment