Friday, October 2, 2009

Kerinci's earthquake damages thousands of buildings


The Kerinci regency chapter of Coordination Boards for Disaster Mitigation (Satkorlak) in Jambi province reported Friday that the 7.0-magnitude earthquake which jolted the area on Thursday had killed one person, injured 12, and damaged more than 1,100 buildings.

Of the number, about 500 buildings were destroyed and almost flattened to the ground, including three mosques, 15 elementary schools, two senior high schools, and three junior high schools.



Thousands of Kerinci residents were still staying under tents, due to their houses being damaged or fear of another earthquake.

The Jambi provincial administration has sent three trucks of aid for the victims, including blankets, tents, drugs, and foods, Muhammad Taufik, a spokesman for the administration, said.

The whole regency was still in blackout while rain fell constantly for the past two days.

Thursday, October 1, 2009

6 hours ago, At least 75 people

6 hours ago, At least 75 people are dead and thousands are trapped under rubble after a strong earthquake shook western Indonesia.


Buildings, including at least two hospitals, were brought down by the 7.6 magnitude quake, centred about 50km (30 miles) off the coast of Sumatra.

Officials say the death toll is expected to rise.

It comes hours after a tsunami from a separate quake killed more than 100 people in the South Pacific.

A tsunami watch issued by the Pacific Tsunami Warning Center in the wake of the Indonesian quake has been lifted.

Aid 'on the way'

The coastal city of Padang, capital of West Sumatra province, is among the areas hardest hit.

Gempa berkekuatan 7,6 SR mengguncang wilayah Sumatera Barat


Sebuah gempa berkekuatan besar mengguncang wilayah barat Indonesia pada Rabu (30/9) sore. Pascaterjadi gempa, Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMJG) mengeluarkan peringatan akan terjadinya tsunami.

Gempa paling dirasakan oleh masyarakat di daerah Padang, Sumatera Barat. Berdasar data yang dihimpun Metro TV, gempa telah merobohkan beberapa bangunan di kota tepi pantai Padang.

Gempa tersebut berkekuatan 7,6 skala richter dan dirasakan oleh penduduk yang berada sepanjang 50 kilomoter tepi laut Padang. Penduduk dilaporkan panik dan mulai meninggalkan rumah masing-masing. Dilaporkan bahwa getaran mungkin dirasakan oleh orang-orang yang berada di bangunan tingkat tinggi di Jakarta.

Diperingatkan akan bahaya terjadi tsunami di Samudera Hindia bagi penduduk Indonesia, Malaysia, India, dan Thailand, meskipun hingga berita diturunkan belum dilaporkan tanda-tanda peningkatan permukaan air laut

Wednesday, September 16, 2009

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Perlindungan Rahasia Negara
Mengancam Kebebasan Pers

Jumat, 14 Agustus 2009
JAKARTA (Suara Karya): Substansi setiap pasal yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) Rahasia Negara diupayakan tetap mengedepankan dan menjamin kebebasan media dalam menyajikan informasi. Dan, perlindungan terhadap rahasia negara juga tidak dilakukan secara mutlak.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga (Fraksi Partai Golkar), dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prof Juwono Sudarsoso, secara terpisah, di Jakarta, kemarin.
Menurut Theo, ada beberapa hal yang menjadi perhatian anggota legislatif dalam melakukan pembahasan RUU Rahasia Negara tersebut.
"Ada empat hal yang diupayakan ada di dalam RUU tersebut. Yakni, asas demokratis, hak asasi manusia (human rights), good governance, dan kebebasan pers. Semua itu harus ada dalam UU tersebut. Jadi, jika ada hal-hal yang bertentangan di dalam RUU itu dengan kebebasan pers, maka itu akan diubah," katanya.
Theo menyebutkan, tercatat dari 360 daftar invetarisasi (DIM) yang harus diselesaikan DPR dalam pembahasan RUU Rahasia Negara hingga saat ini, antara lain sebanyak 77 DIM sudah berhasil mendapatkan persetujuan, 85 DIM yang sudah diselesaikan pada rapat kerja, dan 93 DIM diserahkan ke panja untuk diselesaikan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengemukakan, kebocoran rahasia negara kerap dilakukan pejabat negara, terkait persaingan dan perseteruan antarelite.
"Ini tidak saja terjadi di negara berkembang, tetapi juga oleh pejabat negara di Amerika Serikat," katanya dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Kemerdekaan Pers di Indonesia" bersama para pimpinan media di Jakarta, kemarin.
Juwono mengatakan, keberadaan rumusan UU Rahasia Negara yang kini tengah dilakukan pemerintah sangatlah berbeda kerangka waktu, substansi dan ruang lingkupnya dengan era perang dingin pada 1950-1960-an.
Di era keterbukaan informasi seiring dengan tumbuh kembangnya teknologi informasi, sangat tidak memungkinkan adanya perlindungan kerahasiaan negara yang begitu ketat seperti pada era perang dingin.
"Semisal, bisakah pejabat dapat menjaga kerahasiaan negara melalui blog atau facebook yang dibuat dan dilangganinya. Baik melalui blog atau facebook instansi maupun blog atau facebook pribadi. Ini juga harus dipertimbangkan," katanya.
Tidak Mutlak

Jadi, tutur Juwono, meski perlindungan terhadap kerahasiaan negara dibuat begitu ketat secara hukum, tidak berarti perlindungan terhadap rahasia negara itu benar-benar bisa diterapkan secara mutlak dan absolut.
Di lain pihak, Dewan Pers meminta pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Karena, sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dinilai mengancam kebebasan pers.
"Bahkan, beberapa pasal mengarah pada upaya pembredelan, jika terbukti melakukan pembocoran rahasia negara," kata Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers Dewan Pers Abdullah Alamudi, di Jakarta, Kamis (13/8).
Dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers Indonesia" yang dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono itu, ia mengatakan, dari 52 pasal itu sebagian besar mengancam proses demokrasi yang tengah berjalan untuk ditegakkan di negara ini.
"Jadi, untuk apa dilanjutkan, toh UU lain sudah mengatur seperti UU Kebebasan Infomasi Publik, dan UU Pers yang sudah mengatur bagaimana pers berperan dan berperilaku," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan anggota Dewan Pers Bambang Harymurti yang mengatakan, dari sudut sanksi yang diberikan juga cukup memberatkan perusahaan media, mulai hukuman pidana lima tahun, pembredelan hingga hukuman mati. (Tri Handayani/Ant/Yudhiarma)

Friday, June 19, 2009

Lahat and Pagar Alam exscavacy

Pra History Stone in Lahat and Pagar Alam II

Friday, June 12, 2009

Pra History Stone in Lahat

Ingat Cerita si "Pahit Lidah"

Ini salah satu bukti Legendanya.













Lubuklinggau is Lahat town, gateway to Pasennah Highlands. Dotting this mountain plateau are carved megaliths, tombs, pillars and other stone ruins thought to date from date 100 A.D. These are considered the best examples of prehistoric stone sculpture in Indonesia. Oddly shaped rocks have been fashioned into figures of armed warriors riding elephants, wrestling buffaloes or fighting snake. There are dolmens, sanctuaries, colored painting, and other works of art in the area of volcanic Mount Dempo.

Saturday, June 6, 2009

Legenda Telor Naga II

Rahasia Mustika Merah Delima

Kedua kakak-beradik yatim piatu ini, tidak mempunyai harta berharga dari orang tuanya, kecuali sepasang batu merah dan putih sebesar biji kacang. Asal batu merah putih tersebut,sebelum ibu mereka menghembus napas yang terakhir berpesan kepada Calungga dan Calupat.”Lungga,Lupat kemarilah kalian berdua. sebelum mak meninggal, Mak akan memberi kepada kalian masing-masing batu merah ini untuk Lungga dan batu putih ini untukmu Lupat. Kedua batu ini di temukan secara kebetulan oleh almarhum bapakmu, didalam sebuah gua dekat gunung berapi kita. Batu merah ini membawa sifat keberanian dan kesaktian luar biasa bagi pemiliknya, sedangkat batu putih hikmahnya membawa keberuntungan dan kejayaan di dunia.
Inilah petunjuk yang mak terima didalam mimpi tiga hari yang lewat, mak mendengar suara dari pucuk gunung berapi menerangkan hikmah mantiko batu merah putih ini. Lungga, jagalah adikmu baik-baik, uruslah ladang kita agar kalian berdua dapat hidup kelak menjadi orang yang berguna….”
Setelah berpesan ibunya menghembus nafas terakhir, kedua kakak beradik itu menangis sejadi-jadinya, ditinggal pergi kasih sayang ibu yang masih didamba anak-anak seusia mereka.

Depati Alam Kerinci

Mandi Basantan Ceremonial

Thursday, June 4, 2009

Wednesday, May 27, 2009

Legenda Telor Naga


TELOR NAGA

(ASAL TERJADINYA LEMBAH KERINCI)


Disadur dari Karya : Depati Alimin
Ditulis : M. Reyhan Fadhilla Jaya Naga

Pada zaman dahulu di kaki gunung berapi atau Gunung Kerinci sekarang,hiduplah dua orang kakak beradik kembar.Usia keduanya sekitar tiga belasan tahun,sedangkan kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.Untuk dapat bertahan hidup mereka bercocok tanam ubi-ubian dan memancing ikan dekat sebuah sungai yang berair jernih disamping juga mencari gadung dirimba untuk dimasak.

Si kakak bernama Calungga dan adiknya bernama Calupat,kedua kakak beradik ini berbeda sifatnya,sang adik mempunyai kecerdasan dengan naluri yang tajam,sedang kakaknya berwatak kasar berani dan pemberang.Calungga sering memarahi Calupat,jika adiknya terlambat sedikit saja memasak makanan.Namun Calungga sangat sayang kepada adiknya dan tidak pernah memukul Calupat,maklumlah mereka berdua hidup yatim piatu,lagi pula jauh dari keramaian kampung tempat mereka berladang.

Pada suatu hari Calungga bermaksud pergi berburu ke Gunung Tujuh,disana banyak binatang buruan dan jenis-jenis burung yang rupanya indah rupanya.Calungga mengemas peralatan berburu,bahan makanan dan bersiap untuk berangkat.

“Lupat, kau tak boleh ikut aku berburu ke gunung itu, karena disana banyak bahayanya dan semuanya penunggu di tempat itu menyeramkan, “ kata Calungga kepada adiknya. Biasanya kedua kakak beradik itu berburu bersama-sama, tetapi hari ini Calungga agak lain, ia melarang adiknya ikut berburu. Calupat tak berani membantah kakaknya, takut dimarahi Calungga yang pemberang itu.

“Hati-hati ya uwo 1) nanti engkau hilang tak tentu rimbanya, Lupat takut hidup sebatangkara tak ada pembela lagi, “ pesan Calupat kepada kakaknya.

“Ah ! jangan kuatir Pat, kakakmu mempunyai mantyiko 2) batu merah yang sakti, semua hantu rimba tak berani mendekati kakakmu.” Perintah calungga tegas kepada adiknya.

………………(bersambung)

Monday, May 25, 2009

Kerinci"Magics" Traditional Dance

Gaung Sejarah Dari Lembah Dua Gunung, Meniti Tapak Naga Calupat, Calungga, Dua Mustika Merah dan Putih,
Mengores Peradaban Baru,.... yang tak pernah pudar..

Thursday, May 21, 2009

Jalur Sutra

Jalur Sutra (Hanzi tradisional: 絲綢之路; Hanzi yang Disederhanakan: 丝绸之路; pinyin: sī chóu zhī lù, bahasa Persia راه ابریشم Râh-e Abrisham) adalah sebuah jalur perdagangan melalui Asia Selatan yang dilalui oleh karavan dan kapal laut, dan menghubungkan Chang'an, Republik Rakyat Cina, dengan Antiokia, Suriah, dan juga tempat lainnya. Pengaruhnya terbawa sampai ke Korea dan Jepang.

Pertukaran ini sangat penting tak hanya untuk pengembangan kebudayaan Cina, India dan Roma namun juga merupakan dasar dari dunia modern. Istilah 'jalur sutra' pertama kali digunakan oleh geografer Jerman Ferdinand von Richthofen pada abad ke-19 karena komoditas perdagangan dari Cina yang banyak berupa sutra.

Jalur Sutra benua membagi menjadi jalur utara dan selatan begitu dia meluas dari pusat perdagangan Cina Utara dan Cina Selatan, rute utara melewati Bulgar-Kypchak ke Eropa TimurSemenanjung Crimea, dan dari sana menuju ke Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venezia; rute selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, dan kemudian ke Antiokia di Selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke MesirAfrika Utara. dan dan

Hubungan jalan rel yang hilang dalam Jalur Sutra diselesaikan pada 1992, ketika jalan rel internasional Almaty - Urumqi dibuka.

Wednesday, May 20, 2009

Tuesday, May 19, 2009

MENGENAL OBJEK WISATA DANAU KERINCI


Daerah Kerinci merupakan wilayah kabupaten yang terjauh jaraknya dari ibu kota Propinsi Jambi, dengan luasnya 4.200 km² atau 7,8 % dari luas Propinsi Jambi. Letak Kabupaten Kerinci adalah ujung paling Barat dari Propinsi Jambi. Secara geografis wilayah ini terletak pada koordinat antara 1º41' LS sampai 2º56' LS, dan 101º08' BT sampai 101º50' BT. pada ketinggian antara 725 m dpl sampai dengan 1500 m dpl. Batas–batas wilayahnya sebagai berikut :

- Sebelah Utara dengan Kabupaten Solok Selatan;

- Sebelah Timur dengan Kabupaten Bungo dan Kab. Merangin;

- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Merangin;

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Pesisir Selatan dan Bengkulu Utara.

Umumnya keadaan topografi Kabupaten Kerinci terdiri dari lembah dataran tinggi dari mata rantai pegunungan Bukit Barisan Sumatera. Puncak – puncak tertinggi seperti Gunung Kerinci (3.805 m dpl), Gunung Tujuh (2.690 m dpl), Gunung Raya (2.543 m dpl), dan terdapat dua buah gunung yang masih aktif yaitu Gunung Kerinci dan Gunung Sumbing di selatan. Daerah Kerinci menurut bentang alamnya dapat dibagi atas tiga bahagian yaitu :

a. Tanah pegunungan bahagian Barat;

b. Tanah pegunungan bahagian Timur;

c. Lembah dataran tinggi yang berada di tengahnya.

Menurut pakar geologi lembah Kerinci (enklave) terbentuk karena adanya letupan gunung berapi dan penurunan Bukit Barisan. Air yang terdapat di gunung – gunung di sekitar lembah, mengisi lembah ini sehingga membentuk sebuah danau besar. Dengan adanya proses yang timbul dari gejala – gejala alam selama ribuan tahun, danau besar tadi mengecil menjadi Danau Kerinci sekarang dan airnya mengalir lewat sungai Batang Merangin. Daerah ini terkena alur patahan Sumatera, dapat saja secara periodik terjadi gempa tektonik sebagai akibat gerakan bagian–bagian dari lithosfera yang mendapat tekanan horizontal berlawanan arah.

Enklave lembah Kerinci membentang sepanjang + 45 km lebar + 5 km dengan perairan yang baik lagi subur, mengelilingi Danau Kerinci yang ketinggiannya 733 m dpl. Di daerah ini banyak terdapat danau yang spesifik, antara lain danau Rawa Bento sebuah hutan rawa air tawar, danau Gunung Tujuh merupakan danau vulkanik tertinggi di Asia Tenggara (1.996 m dpl) dengan luas mencapai + 13.500 Ha dan lain – lainnya. Di Utara terdapat Gunung Kerinci (masih aktif) yang, merupakan gunung aktif tertinggi di Indonesia yang disebut ‘Atap Sumatera’, merupakan simbol daerah Kerinci.

Disamping itu terdapat pula beberapa buah danau yang menarik, antara lain yang terkenal ialah Danau Kerinci, Danau Gunung Tujuh, Danau Lingkat, dan danau-danau kecil lainnya. Sedangkan air terjun terdapat pada dua tempat, sebelah Selatan adalah Air Terjun Pancuran Gading di Pulau Tengah, dan Utara adalah Air Terjun Telun Berasap (perbatasan Kabupaten Solok Selatan). Juga ada hutan lindung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 210.000 ha (51%) dari luas Kabupaten Kerinci. Kabupaten Kerinci adalah daerah yang berudara sejuk dan belum tercemar polusi industri, suhu berkisar antara 18° Celcius sampai 22,6° Celcius, dengan curah hujan rata-rata 2.500 mm/tahun. Penduduknya hidup dari sektor pertanian dan perkebunan yang jumlahnya sekitar 310.762 jiwa atau rata-rata kepadatan penduduk berkisar ± 74 jiwa per Km.

Danau Kerinci merupakan danau vulkanik (luas 4.200 hektar, keda!aman 110 meter), ketinggian 783 meter di atas permukaan laut. Danau tersebut berada di daerah paling Selatan dengan kelililing sepanjang 70 km. Secara administratif, kawasan danau termasuk dalam Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau. Usaha perikanan di Danau Kerinci menghasilkan sebanyak 780 ton ikan pertahun. Namun akhir-akhir ini terjadi penurunan hasil tangkapan ikan disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain faktor yang terlibat disebabkan oleh: a) Hilangnya tanaman Hydrilla di bawah permukaan air; b) Pengambilan ikan yang berlebihan, atau hilangnya tempat berkembang/bertelur; dan c) Pencemaran air di daerah hulunya. Hydrilla dan macrophyta lainnya yang hidup di bawah permukaan air menjadi jarang karena pencemaran pada bagian tepi danau yang dangkal. Juga berkurangnya penetrasi cahaya pada daerah yang paling dalam. Berkurangnya penetrasi cahaya mungkin disebabkan oleh menurunnya kualitas air, deposit lumpur dan eutrofikasi. Peristiwa eutrofikasi disebabkan oleh pupuk buatan, penggundulan hutan dan limbah penduduk, mungkin juga disebabkan oleh hama Enceng Gondok yang menutupi permukaan danau pada dua dekade yang lalu. Hilangnya jenis ikan langka Labeobarbus spp. (tambra dan juro) disebabkan oleh pengambilan ikan yang berlebihan, juga karena berkurangnya habitat lahan basah (karena rawa-rawa ini ditanami padi) dan adanya pendangkalan muara danau yang menghalangi pola migrasi bertelur secara alami.

Fungsi lain Danau Kerinci adalah tempat tampungan sumber daya air di Kabupaten Kerinci dan Provinsi Jambi, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyuplai kebutuhan air didaerah sekitar Kerinci, baik untuk pertanian maupun kebutuhan air minum masyarakat, dan oleh pemerintah daerah Danau Kerinci dijadikan tujuan wisata utama untuk daerah Provinsi Jambi dan tempat berlansungnya Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK) yang diadakan setiap tahunnya. Pelaksanaan FMPDK dimulai sejak tahun 1999 sampai sekarang tahun 2005 FMPDK VI, kegiatan ini sudah menjadi event nasional berdasarkan surat persetujuan Menteri Pariwisata dan Kesenian No. S-133/MNPK/2000 tentang Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci sebagai Calender of Event Wisata Nasional. Di Sanggaran Agung terdapat fasilitas Taman Wisata Danau Kerinci sebagai pusat event nasional Festival Masyakarat Peduli Danau Kerinci terletak di tengah lembah Alam Kerinci yang jarak 22 km dari ibukota Sungai Penuh. Dari sepanjang pantai danau dapat dilihat pemandangan indah ke tengah danau dimana perahu – perahu nelayan sedang menangkap ikan, untuk memenuhi kebutuhan ikan bagi masyarakat Kerinci. Penangkapan ikan dilakukan secara tradisional, diantaranya yang unik adalah penangkapan ikan dengan menyelam yang dilakukan pada malam hari tanpa menggunakan alat bantu pernafasan (tabung oksigen). Kawasan sekeliling danau menjadi tempat rekreasi air yang menarik, seperti memancing, berenang, tempat perkemahan, dan berbagai aktivitas lain seperti, menyantap makanan khas danau yang tersedia direstoran – restoran disekitarnya, juga merupakan tempat berkumpulnya burung belibis dan tempat minum berbagai jenis satwa. Dalam kesejarahan purbakala terkenal Situs Danau Kerinci peninggalan masyarakat danau dari tradisi ‘flakes culture’ yang berasal dari 3000 – 500 tahun SM, terdapat di Desa Muak, Pondok dan Koto Agung Jujun yang sering dikunjungi oleh turis peneliti dari Belanda, Inggeris, Jerman, Swiss, dan Amerika. Bulan September 2005 yang lalu di Taman Wisata Danau Kerinci, wanita Belanda Drs. Maartje Hilterman konsultan badan internasional NC-IUCN yang berpusat di Nederlands didampingi oleh ketua LSM Kebudayaan Kerinci M. Ali Surakhman, SE. Maartje mengatakan betapa indahnya Danau Kerinci dan mengharapkan masyarakat Kerinci menjadikan danau Kerinci sebagai tujuan wisata dunia untuk masa mendatang, ia berniat datang lagi ke Kerinci tahun depan bersama calon suaminya untuk berbulan madu.

Tidaklah lengkap jika kita belum mengenal legenda Danau Kerinci. Pada zaman dahulu Calupat dan Calungga dua bersaudara kembar yatim piatu yang tinggal di kaki gunung berapi (gunung Kerinci). Mereka memiliki pusaka Merah Delima dan Batu Putih peninggalan orang tuanya. Suatu hari Calungga pergi berburu seorang diri, dalam perjalanan ia menemukan sebutir telur raksasa. Telur itu kemudian dibawa pulang hendak diperlihatkan kepada Calupat adiknya. Tapi akhirnya Calungga memutuskan untuk memakan telur itu seorang diri, setelah menyantap telur raksasa, Calungga kehausan. Ternyata kehausan Calungga berbeda. Ia meminum air sungai sekitar gunung berapi yang menyebabkan sungai menjadi kering. Tubuh Calungga lama-kelamaan berubah, memanjang dan memiliki sisik-sisik emas sebesar nyiru. Calungga berubah menjadi seekor naga raksasa dengan batu mustika merah delima di kepalanya. Untuk menguji kesaktiannya, naga Calungga memohon kepada segala dewa di bumi sakti alam Kerinci agar dapat menggenangi lembah dengan air sehingga terbentuklah danau besar. Putaran tubuh naga tersebut membentuk sebuah danau, yang sekarang disebut Danau Bento di kaki Gunung Kerinci.

Calupat adik Calungga tak kuasa hidup seorang diri, ia minta naga Calungga mengantarkannya ke perkampungan penduduk di sebelah Timur matahari terbit agar ia dapat hidup berdampingan dengan penduduk. Maka ditiup oleh sang naga sebuah muara dengan angin sakti yang sekarang ini menjadi sebuah sungai yang dinamai Sungai Muara Angin (Sungai Batang Merangin). Kemudian air menyusut karena terbawa arus naga Calungga yang menghilir ke Timur, sehingga berobah menjadi sebuah lembah yang dinamai Renah Kerinci dan sebuah danau yaitu Danau Kerinci sekarang. Pada saat kedatangan mereka dihadapan penduduk sepanjang aliran sungai besar, Calupat duduk di atas kepala naga. Maka penduduk saat itu juga langsung menobatkan Calupat sebagai raja yang bergelar Sang Hyang Jaya Naga.



Penulis

Dpt. Alimin

Artikel ini diterbitkan untuk :

MAJALAH PURNA YUDHA

Monday, May 18, 2009

Naskah Melayu Tertua Di Dunia, "Ada di Kerinci"

ULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia . Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini.

Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

"Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau' Islam.

Berdasar uji radio karbon di Wellington , Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

"Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh," kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.


Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno..

Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.

Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

"Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa," katanya.

Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.

Pendapat keempat, dengan ditemukannya "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.

"Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure' (hukum-red) dan bukan ‘de facto' (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian," kata Kozok.

Sebenarnya naskah Tanjung Tanah pernah dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci oleh Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa Zaman Kolonial Belanda pada 1941 sebagai tambo Kerinci dan disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.

Di perpustakaan itu ada foto naskah tersebut tapi kurang baik. Voorhoeve menuliskan laporan tentang naskah yang disebutnya sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. Namun tidak sampai pada kesimpulan.


Undang-Undang dari Dharmasraya

Transliterasi dan terjemahan naskah 34 halaman itu dilakukan sejumlah ahli yang dikoordinasi oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Ternyata naskah tersebut berisi undang-undang yang dibuat di Dharmasraya (sekarang tepatnya di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat) yang diberikan kepada masyarakat Kerinci.

Dharmasraya waktu itu adalah pusat Kerajaan Malayu beragama Hindu-Buddha di bawah pemerintahan tertinggi di Saruaso (Tanah Datar) dengan raja Adityawarman. Tulisan tentang naskah kuno ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Malayu yang Tertua (Yayasan Obor Indonesia : 2006). Edisi sebelumnya dalam bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript ( Cambridge : St Catharine's College and the University Press: 2004).

Uli Kozok pernah mengikutkan kopian Naskah Tanjung Tanah pada pameran di Singapura 18 Januari hingga 30 Juni 2007 dalam pameran bertajuk "Aksara: The Passage of Malay Scrips-Menjejaki Tulisan Melayu".

Sebelumnya di Malaysia Naskah Tanjung Tanah diseminarkan di University of Malaya , Kuala Lumpur dalam acara Tuanku Abdul Rahman Conference, 14-16 September 2004. Saat itu Uli Kozok menyerahkan buku Tanjung Tanah Code of Law terbitan Cambridge University kepada Perdana Menteri Malaysia .

Sunday, May 17, 2009

Sunday, May 10, 2009

Donasi dari Microsoft untuk LSM Indonesia

(Tony Chen, President Director, Microsoft Indonesia, dan koordinator Microsoft Unlimited Potential Indonesia, Cynthia Iskandar, berfoto bersama perwakilan LSM penerima donasi software dari Microsoft)

Kwartal pertama tahun 2005, donasi sebesar USD263,525 atau sekitar IDR 2.8 miliar dalam bentuk software dan lisensi Microsoft berikan kepada 18 LSM (lembaga swadaya masyarakat) Indonesia.

Sebagai bagian dari program global Microsoft Corporation, Microsoft Indonesia mendonasikan software dan lisensinya kepada 18 LSM dengan nilai sekitar 2.8 miliar Rupiah, yang diserahkan secara simbolis dalam acara "Microsoft Software Donation Day" di hotel Grand Hyatt Jakarta, pada 19 Mei 2005.
Program yang bernama Microsoft Unlimited Potential ini telah berjalan di Indonesia sejak tahun 1998 dan terdiri dari beberapa komponen kritikal seperti:
Unlimited Potential Cash Grants
Software Donations
Unlimited Potential Community Learning Curriculum
Community Technology Support Network
Tidak tanggung-tanggung, setiap lembaga yang berhak menerima donasi software dari Microsoft akan mendapatkan mulai dari enam sampai 50 lisensi untuk sejumlah produk Microsoft--mulai dari operating system untuk workstation dan server, juga Microsoft Office, dan lain sebagainya--dan juga mendapatkan garansi dari program Software Assurance selama dua tahun.
Tujuan dari program Unlimited Potential tidak lain adalah untuk membantu LSM dalam meningkatkan produktivitas terkait dengan kegiatan kemanusiaan yang mereka lakukan, melalui penyediaan software-software yang dibutuhkan, dengan tetap menjaga "kemurnian" misi LSM itu sendiri melalui pemberian contoh baik kepada masyakat dengan menggunakan software yang berlisensi.
LSM penerima donasi software kali ini adalah Birdlife Indonesia, Biotrop, BABAD, CCLI, ICEL, ICT4D Collaboratory, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Konus, LSM Kebudayaan Kerinci, Lembaga Ekolabel Indonesia, Perkumpulan Telapak, Save The Children, Walhi Kalsel, Wetlands, Yayasan Selamatkan Teluk Balikpapan, Yayasan Bahtera Nusantara, Yayasan Silvagama, dan Yayasan Kaliandra Sejati
Penyediaan software berikut lisensinya itu sendiri merupakan hasil kerjasama Microsoft Indonesia dengan berbagai perusahaan besar seperti PT Bank Central Asia, PT Caltex Pacific Indonesia, PT Total FinaElf, PT Unocal Indonesia, dan PT Exxon Mobil. Sejak tahun 1998 sampai akhir tahun 2004, Microsoft Indonesia telah mendonasikan software berikut lisensinya kepada lebih dari 70 LSM yang bernilai sekitar USD3,047,814.

THE FORE FATHER OF MINANGKABAU



Based on the believe of the fore parents stated in "Tambo", news and ancients proverbs, it can be said that to judge "Tambo" was containing 2% the truth and 98% mithology is trully reasonable.According to Proff. Kern, the first nation came firstly to the Southern of Khatulistiwa (Minangkabau) was said "Proto Meleiers" or the old Malay, than came "Deuto Meleiers" or the Young Malay. Generally "Nusantara" once was came by nations from Campa, Kampuchea and Kochin.
And according to "Tambo" of Minangkabau, the fore father of Minangkabau was Sultan Maharajo Dirajo. Who had sailed with his followers Cati Bilang Pandai which was well known with the name Tukang Sibak Ulai, and the four skilled escort in self defence, Kuciang Siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan and Anjieng mualim. The had sailed along the Lakadewa Island passing Serindit and Langgapuri or Ceylon straight to Gold archipel and harboured in the Merapi Volcano.
Sultan Maharajo Dirajo was the son of Iskandar Zulkarnain (Alexander Grote). Alexander Grote or the Great Alexander was the greatest kingdom's king in Masedonia (Athen) 365 - 323 Bc. He was the pupil of Aristoteles 384 - 323 Bc. While Aristoteles was the pupil of plato 427 - 347 Bc. Alexander Grote married to a prnces of Ruhum (East Rome). From this married he was inherited three sons, named; Sultan Maharajo Alif, Sultan Maharajo Depang (Dipang) and Sultan Maharajo Dirajo.
Before the death of Iskandar Zulkarnain (Alexander Grote), he has assigned his son Sultan Maharajo Alif to leave for Ruhum (East Rome) to govern it, while Sultan Maharajo Dipang had been assigned to China to govern it and Sultan Maharajo Dirajo had been assigned to came to an island in the southern of Equator.As it had stated earlier, Sultan maharajo dirajo was set with his followers along Lakadewa passing Serindit or Langgapuri straight to the Gold Island or Jawa Alkibri which is now is named Sumatera (Andalas).
Among the followers there were Cati Bilang Pandai or named Tukang Sibak Ulai, and the four escort Kuciang siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan and Anjieng Mualim. The four were the champion of self defence from their own region. They were not animal although were named with animal Kuciang (Cat), Harimau (Tiger), Kambiang (Goat) and Anjieng (Dog). They were totally human being that were named is accordance to their style of skill in self defence.
After harbouring to the Andalas island the journey was straighted to the slope of Merapi Volcano and this was the beginning of the dwelling of Sultan Maharajo Dirajo in the slope of Merapi. And the first home of theirs was named Galundi Nanbaselo.Sultan Maharajo Dirajo has four doughters and a niece called Indah Juita. The four doughters of Sultan Maharajo Dirajo ware married to his followers while his niece was married to Sangsepurbha. Sangsepurbha was the name derived from the Greek word means Suprabha who came from "Kula Warga Sri Sailendra Kaundinya" from Bukit Siguntang (Mahameru). From the marriage of Sang Sepurbha and Indah Juita they were inherited a son named Dt. Perpatiah Nan Sabatang.After the death of Sang Sepurbha, the widow Indah Juita married to Cati Bilang Pandai, and from their marreid they had two sons, Dt. ketumanggungan and Dt. Suri Dirajo. Of the three sons of Indah Juita, Dt. Ketumanggungan and Dt. Perpatiah Nan Sabatang were found of goverment and politic, while Dt. Suri Dirajo was found of military (force) and it was Dt. Suri Dirajo who created the science of self defence in Minangkabau which now is well known with the name of Silek (Silat)

Thursday, May 7, 2009

MINANGKABAU


Minangkabau the greatest name of the Western of Sumatera (Sumatera Barat) to the most of people in another name of Pariangan Kingdom, established in the middle of twelve Century (1339), situated in the Southern East Slope of Merapi Volcano. This cannot be argued since the history of Minangkabau nature itself is a "Tambo" which is comfirmed by the Minangkabau people up to this time.
Most people said that "Tambo" of Minangkabau contained only fiction and so too said that it is only
contained 2% the truth, while 98% is a mythologi. Most people nowadays interprets that, the name of Minangkabau formally derived from the Bull Fighting tradition, which was begun with the fight of two buffalos, one from Swarnadwipa (Java) and the other from Pariangan, Swarnabhumi (Andalas). At that time the winner was the buffalo from Pariangan, there fore the land was named Minangkabau. "Minang" was interpreted as Menang or Win and "Kabau" is the name for buffalo in West Sumatera word.
Principally, the name of Minangkabau was existed for more than the existence of Pariangan Kingdom whose king was Adityawarman (1339 - 1376), than it was believed that the name was existed at the first time the fore parents stepped on the land arround the slope of Merapi Volcano. This could be proved by the spreading of religious in Minangkabau ;
- Budhish (Hinayana) 6 - 7 Century- Islamic (Sunnah) 670 - 730- Budhish (Mahayana) 730 - 1150- Islamic (Syi'ah) 1150 - 1803
This is can be proved either by the founding of an ancient inscription in Sriwijaya, which is written to be said;


Swasti Cri Cakrawarsita 605 Eka DacicuKlapaksa Wulan Waikasa Dapunta Hiyang Nayik DiSamwau Manalap Siddhayatra Di Saptami CulapaksaWulan Jyestha Dapunta Hiyang Marlapas Dari MinangaTamwan Mamawa Yam Wala Dua Laksa Da Nan Ko CaDua Ratus Cara Di Samwau danan Jalan SariwuTilu Ratus Sapulu Dua Wanakna Datam Di MatayapSukha Citta Di Pancami Cukla Pasa Wulan …………..Langhu Mudita Datam Marbuat Wanua ………………Criwijaya Jaya Siddhayatra Subhiksathat can be translated as follow;


congratulation on the leaving of caka (saka) year 605 on the date of 11on the half moon of waichaka, the majesty of greatest manride on the canoe set for the holly mission on the 7 of half brightof the Jyestha moon. The majesty was setfrom minang tamwan brought 20.000 soldiers with boxes2000 was set with canoes while a 1000 walked on the land302 come to the matayapon the happy day on the 5 of………..was established the town easily and happilycriwijaya was win couse of the holly mission(which couse the property)


At the inscription was clearly written the holly mission from Minanga Tamwan to Sriwijaya. Minanga means Binanga which is means River, while Tamwan or Temon is the founding, therefore the words "Minanga Tamwan" means the estuary two twin rivers, Left Kampar and Right Kampar which is well known as Muara Takus.Muara takus basically, was the center of the spread of Budha Mahayana (730 - 1150) and there was also some said that the word Minangkabau derived from the word Pinang(a) Kabu which is means "Base Land" or original land.
The existence of Minangkabau is predicted to exist since the 2nd - 3rd Century. This could be seen from the development of religious in Minangkabau. The first religion which firstly came to Minangkabau was Budhish (Hinayana) 6th - 7th Century. While Islamic firstly came on the 6th Century, and after that was vacoom since the trading monopoly between Khalifah Umayyah (670 - 730) and China Tang Dinasty (604 - 908).

Wrist bone study adds to Hobbit controversy


September 21st, 2007 noelbynature Posted in Indonesia, Paleontology, Prehistory 1 Comment »
20 September 2007 (Smithsonian Institution) - A new study on the wrist bones recovered from the homo floresiensis assembly adds extra weight to our Hobbit from Flores being an entirely new species rather than a sick, deformed human. There are a few other stories popping up today so stay tuned for more insights! It’s a really busy day at work, so hopefully I can post them all up by the end of the day.
Homo Floresiensis skull, creative commons image by SBishop
New Research Sheds Light on “Hobbit” Smithsonian-led Study Published in Science
An international team of researchers led by the Smithsonian Institution has completed a new study on Homo floresiensis, commonly referred to as the “hobbit,” a 3-foot-tall, 18,000-year-old hominin skeleton, discovered four years ago on the Indonesian island of Flores. This study offers one of the most striking confirmations of the original interpretation of the hobbit as an island remnant of one of the oldest human migrations to Asia

Saturday, May 2, 2009

archaeological campaign in Kerinci




The highland of Kerinci is situated south of the equator in the West of Sumatra. Toponym of the region is the Gunung Kerinci in the North, the highest volcano on Sumatra of 3085m and the Kerinci-lake in the South on 783 above sea level. In the past the region was an important provider of mineral resources and forest products. Gold, ivory and the luxury goods of benzoin and camphor are mentioned in Chinese, Indian and Arabic sources.
With the access to these goods for instance in the 7th century the Srivijaya Empire, situated in the lowland of Sumatra, gained an important rise as the central see emporium of the Indian Ocean. For Kerinci the oldest historical sources are not older than the 18th century. Older devices of settlement activities are the archaeological remains like ceramics, stone artefacts and numerous megaliths.

Sunday, April 26, 2009

Kerinci Archeology Haritage

Kerinci Archeology Exspeditions



Pada tahun 1939 Van der Hoop mengumpulkan temuan permukaan berupa alat serpih obsidian di sekitar Danau Gadang Estate, dekat Danau Kerinci. Menurut van Heekeren, alat serpih dari tepi danau tersebut lebih besar daripada alat serpih bilah dari gua-gua di Merangin (1972:139). Alat serpih tersebut termasuk mikrolit, tetapi bentuknya tidak geometris seperti alat mikrolit pada umumnya (Soejono,1993:182).
Dataran tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Buda pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).
Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.
Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 -- 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -- 1120).
Banyak misteri yang belum terungkap di lembah Kerinci, ada suatu mata rantai terputus yang belum ditemukan oleh para ahli archelogy dan history, yang hanya mendapati sebagian dari bukti perjalanan peradaban, karena mata rantai tersebut sangat terkait dengan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat sekarang, pola hidup yang membentuk karateristik masyarakat itu sendiri. (..... kita akan bahas lagi minggu depan)

Thursday, April 23, 2009






Kerinci traditional architect and motif foto by : M. Ali S

Thursday, March 19, 2009

Thursday, March 5, 2009

The Magical Remnants of Kerinci

Kerinci is known for its mystical art. One village, for example, has debus or a traditional art of spear piercing. Unlike the Banten art, debus performers in Kerinci are all females. Other villages have a tradition of calling tiger spirits. But the mystical art of Kerinci is slowly disappearing. Follow a trail of mystical art and listen to tales of magical dances that are still alive.

Taratak taratak tak tum taratak taratak tak tum...
Taratak taratak tak tum taratak taratak tak tum...

AMID loud drum beats, the female performer suddenly reaches for a pair of swords in front of her.
With a hard thud and long wail, she stabs herself with the swords. In a blink, the two swords bend into the shape of a boomerang. Hundreds of spectators in the field in front of the Kerinci Regent’s Office in Sungai Penuh gush.
The drum beating continues. The woman closes her eyes and turns her face towards the sky. A loud utterance or Seru—a mantra calling ancestors’ spirits—issues out of her mouth.
Several men pour a basketful of broken glass shards in front of her. Then the mesmerizing act takes place again. The dancer stomps on the broken glass, and along with two other female dancers, dances on the pieces until a crunching sound emerges. Afterwards, they walk on eggs arranged on a banana trunk. The performers look as if they are weightless keeping the eggs intact without even a crack.
The audience of the small town in Kerinci has not seen this mystical dance called Niti Naik Mahigai for a long time. The dance originated from Sulak Mukai, the northern part of Kerinci. Kerinci itself is very well-known for traditional mystical dances. However, nowadays the dances are rarely performed for the public, except for occasions such as government ceremonies or a special feast (kenduri pusaka), which is held every 10 to 20 years.
Kerinci regency is situated in Jambi province. It is a far distance from Jambi to Sungai Penuh, the capital of Kerinci, 450 kilometers or about nine to 12 hours’ drive whereas the distance between Kerinci and Padang is 250 kilometers or six to eight hours’ drive, all via winding uphill roads. On the slope of Mt Kerinci is a vast stretch of tea and cinnamon plantations. In hotter areas of the south, rice and coffee are cultivated.
The current inhabitants of Kerinci regency are the descendants of the Melayu Tua or Old Melaya tribe that lived there since the Neolithic age (8,000-7,000 years ago) or even long before that. Kerinci was once under the rule of the Dharmasraya and Pagaruyung kingdoms of West Sumatra, later on under the Inderapura Kingdom (in the west shore of West Sumatra now called South Pesisir), and then the Jambi Sultanate. However the sovereign of the kingdoms was limited to giving protection in exchange for tax payment.
Kerinci has its own culture including language and alphabet. Uli Kozok, a German expert on the Sumatran ancient language, discovered the oldest Melayu manuscript dated back to the 14th century Dharmasraya Kingdom, the Adityawarman era, in Kerinci.
The natural environment of Kerinci, which is still covered with forests, and the far distance from its custodian kingdom explain why mysticism flourished there. Empeh and Baru villages in the town of Sungai Penuh, for example, are two of the oldest villages which still maintain the mysteries of Kerinci. They have a dance called Asyek which is a ritual to call spirits of ancestors to ward off disasters or to ask for good harvests. In the past, the Asyek dance was performed on a bed of broken glass.
Nurmalis, 70, a resident of Dusun Baru village, still recalls watching kenduri sko, a ritual, in his village in 1964. All adult females at that time danced Asyek on broken glass until they went into trance. But 20 years later, in 1984, no one was able to dance Asyek on glass shards anymore. “Maybe forgotten because it was a very old ritual, such as the mad mortar ritual, which is a pestle beating by itself in a mortar. Some of the things that I saw as a child are no longer performed.”
Likewise, in the south of Kerinci, Koto Tengah village also has a Marcok dance where barefoot dancers dance atop broken glass while stabbing themselves with keris (a traditional dagger). The tradition that has been observed for hundreds of years is rarely seen nowadays. The last time was at Kerinci Lake Festival in 2006.
l l l
THE drum and the flute continue to accompany the dance. The next challenge is to walk on bamboo spikes stuck in a wooden platform. The two dancers alternate in stepping on the sharp spikes and then on a bed of nails. Then a walk on a blade—the barefoot dancers walked on a blade held by two men at each end.
Suddenly from the front, a man comes forward and stabs a dancer with a spear. The sharp spear pierces straight into the woman’s stomach and she seems to be passing out, but within a matter of seconds, with a loud noise, the spear breaks into two.
Soon, using kerosene, a crew member starts a fire near the dancers. The glowing flames reignite the dancers’ spirit; they jump onto the flames and take turns dancing on the burning fire looking as if they are splashing in water. Towards the end of the performance, they hysterically put out the flames with their bare hands. Hundreds of eyes are glued to the performance but not all the spectators can bear to see it to the end.
“I can’t take it anymore; I have goose bumps. If I keep watching, I might subconsciously run to the field and start playing martial arts with a sword,” said Sofyan, 50, a spectator, his face blushing.
According to a medium, Eva Brammanti Putra, 31, the dance is a legacy handed down by ancestors in Siulak Mukai, Kerinci regency. It is youths who perform the dance there (in Siulak Mukai), but in his village one can still see dance on broken glass performed by elders wearing long robes.
The two performances were taken from the ritual procession carried out in the past for future kings. Before being crowned, future kings had to overcome a variety of challenges. The interesting part is that the performances were always played by females. According to Eva, in the past in Kerinci it was women who held power and men only governed.
l l l
THE audience applauds. At the side of the yard, three female dancers sit looking tired and limp. Ermidayati, 35, the lead dancer, reclines on a chair exhausted. “I’m nauseated,” says the woman who works as a teacher in State Middle School No. 3 Mt Kerinci in Sungai Pegeh. Someone keeps her cool with a fan and a cool drink. After a quarter of an hour she feels refreshed again.
She claims that she is unconscious when she dances. “Something whispered to me from within to step on to the blade, quick…quick…” she said. She doesn’t know where she gets the power of resistance during her dance because as soon as the performance is over, the power also disappears. “If I cut myself when I peel onions, of course it hurts,” she said laughing.
Unlike the dancers, the mediums retain their power. Eva Bramanti Putra, a medium, for example, claims, “If I’m in utter desperation, in danger, the power appears.” Eva explained that when he was 20 years old, he received divine inspiration from his maternal ancestor who ordered him to perform the Niti Naik Mahligai ritual dance.
So he learnt the dance moves from his mother, skill to lighten his body from his paternal grandfather, while knowledge of the complete process of the ritual was through the divine revelation. He substitutes traditional ritual items used, for example, kris is now substituted with sword, glass stone with glass chips, thorns with nails and bamboo spikes. In the old days, it is said that the dancers could perch on leaf buds. Nowadays, says Eva, possessed dancers are ordered to stand on large tree leaves, and lately on a sheet of paper which usually is held by a crew to keep it off the ground.
Eva has tried all the processes and succeeded, although he has never learnt resistance skills. Around the year 2000, he opened a studio in his village with 13 members and they trained there. Resistance performance was once an opening act for the Lake Kerinci Festival, which since 2001 has been held annually. Eva’s wife, Dentina, 28, also takes part in the performances. Dentina says that the key to the success of the performance is meditation. “Before the performance, we meditate cross-legged until the entire body suffers pins and needles and twitches,” explained Dentina.
After the meditation, she would bathe in the river with Kaffir lime juice to purify herself. The next day, she would dance with ease, anxious to start treading on the blade. “Actually I was beyond scared when I saw the blade being sharpened but as soon as I danced, I just felt like walking on it,” she said.
According to Eva, only blood relatives are picked for the core team of six. “Other members are still students. But I only dare to teach them how to walk on broken glass,” explained Eva.
Eva admits experiencing failure several times during performances. When in Banten, the clothes of a male crew member who lit the fire got burnt. “Also once in Bukittinggi, the lead dancer was injured in her foot as she was speared, because she stepped on a blade behind her.”
He also says that orders for his studio rely more on regional government functions. However the recent election of regional heads last month makes him disheartened because the two elected regent candidates come from a religious background, and they generally do not approve performances of mystical nuances. “But really we are not polytheist,” argued Eva.
His worries are founded. When the Niti Naik Mahligai was first developed, Eva received protests from a village cleric, because it was considered polytheism. The regency officials who consider mystical traditions to be against Islam will not solicit his performances. “I don’t know what’s in the future; if this art has to fade away, then what can I do?” he said softly.

Wednesday, March 4, 2009

Sumber Air


Penggunaan dan Penyalahgunaan Sumber Air

Pertanian beririgasi merupakan pengguna air terbesar. Pada umumnya lebih 80% dari air yang ada dicurahkan khusus untuk pertanian. Tetapi karena biasanya air disalurkan dengan gratis atau dengan tarif yang banyak disubsidi, maka kecil sekali dorongan niat untuk menggunakan air secara efisien, dan retribusinya, jika ada, tidak akan mencukupi untuk pemeliharaan yang layak. Maka hasilnya ialah penggunaan yang sangat tidak efisien efisiensinya kira-kira hanya di bawah 40% untuk seluruh dunia dan kemerosotan mutu yang semakin melaju pada sistem yang semakin besar.
Sesungguhnya efisiensi dapat ditingkatkan dengan baik dengan perbaikan cara pengoperasian dan pemeliharaan sistemnya perbaikan saluran, pendataran lahan supaya pembagian air dapat merata, penyesuaian antara banyaknya pelepasan air dari tandon dan keperluan senyatanya di daerah hilir, dan pengelolaan yang lebih efektif apabila air tersebut sudah sampai di lahan pertanian atau dengan menggunakan teknik yang lebih efisien seperti irigasi tetesan. Perbaikan-perbaikan semacam itu sangat penting mengingat besarnya dampak permintaan irigasi dan rasa keadilan bagi penduduk perkotaan yang berjuang untuk kelangsungan pasok air yang memadai. Sandra Postel, seorang pakar dalam penggunaan air dari Worldwatch Institute mengatakan: "Hanya dengan meningkatkan 10% efisiensi penggunaan air di seluruh dunia, kita akan dapat menghemat air yang cukup untuk memasok semua air keperluan hunian di seluruh kawasan dunia".
Penghamburan air sungguh disayangkan sebab biasanya hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas pertanian seperti yang diharapkan. Tiadanya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB memperkirakan bahwa, karena terjadinya penggaraman atau jeleknya drainase, seluas 45 juta hektar lahan pertanian beririgasi di negara-negara berkembang memerlukan reklamasi hampir separo dari 92 juta hektar tanah beririgasi di kawasan dunia berkembang.
Di sejumlah negara, terjadinya tanah kubangan dan penggaraman tanah telah menghilangkan produktivitas tanah pertanian beririgasi seluas lahan yang dibuka oleh proyek-proyek irigasi pada tahun-tahun akhir ini. Di Mesir, suatu negara dengan ekonomi langka tanah, hampir separo dari tanah yang dibudidayakan terutama di bagian barat delta Sungai Nil mempunyai tinggkat penggaraman yang demikian tinggi sehingga berdampak pada produksi tani, menurunkan hasil, dan mengarah pada penelantaran lahan irigasi, baik sementara maupun selamanya. Suatu perkiraan di Meksiko, hilangnya panen yang disebabkan oleh penggaraman tanah mencapai 1 juta ton panen bahan makan, suatu jumlah yang cukup untuk mencatu kebutuhan pokok makanan untuk 5 juta orang.
Industri sesungguhnya menggunakan air jauh labih sedikit apabila dibandingkan dengan irigasi, namun dampaknya mungkin parah, dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan air permukaan atau air bawah tanah menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi.
Penggunaan air bagi industri seringkali juga sangat tidak efisien. Karena tidak dapat memasok kebutuhan industri melalui sistem yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan karena dorongan yang menggebu untuk pertumbuhan ekonomi, perusahaan industri mengembangkan sendiri jaringan airnya secara swasta. Biaya air semacam ini seringkali sangat rendah, dan karena biaya tersebut hanya merupakan bagian kecil dari seluruh biaya manufaktur, maka mereka tidak merasa terdorong untuk mengadakan konservasi. Sebagai contoh di Bangkok, Thailand, yang sangat menderita akibat penghisapan air bawah tanah yang berlebihan, biaya yang harus dikeluarkan air dari perusahaan air metropolitan berlipat delapan kali dari biaya yang diperlukan untuk memompa air tanah secara swasta.
Banyaknya air yang diperlukan untuk manufaktur dapat sangat berbeda-beda, tergantung pada proses industri yang diterapkan dan ukuran daur ulangnya. Memproduksi satu ton baja dapat saja menghabiskan sampai 190.000 liter air atau hanya 4.750 liter, dan satu ton kertas dapat menghabiskan sampai 340.000 liter atau hanya 57.000 liter. Pengaturan yang tepat untuk penyedotan air dan pengenaan biaya yang benar untuk air tersebut akan dapat mendorong orang untuk menggunakannya secara lebih efisien tanpa harus mempengaruhi biaya produksi secara mencolok. Biaya penggunaan air, bahkan di negara-negara yang tarifnya pun sudah sesuai dengan biaya menyeluruh pemeliharaan sumber, biasanya hanya merupakan bagian yang sangat kecil (1% sampai 3%) dari biaya produksi industri.
Tabel 2: Kemungkinan Pembatasan Penyakit Melalui Pasokan Air dan Sanitasi
Jenis penyakit
Perkiraan banyaknya kasustiap tahun di negara-negara berkembang (kecuali cina)
Kemungkinan penyusutan lewat peningkatan pasokan air dan sanitasi
Diare (murus)
875 juta
225 juta (26%)
Cacing gelang (askaris)
900 juta
260 juta (26%)
Cacing guinea
4 juta
3 juta (78%)
Cacing tambang
800 juta
615 juta (77%)
Trakoma
500 juta
135 juta (27%)
Karena keterbatasan data, semua angka di atas mengacu kepada kasus sakit, bukan kematian. Lagi pula hendaknya dicatat bahwa tindakan yang diambil dapat mengurangi kasus kematian tetapi bukan kasus sakit.
Sumber: Berdasar tulisan Esrey, Steven A., dkk, "Manfaat Kesehatan dari Perbaikan dalam Pasokan Air dan Sanitasi. Laporan Teknik No. 66 Pasokan Air dan Sanitasi Arlington, Virginia: Proyek Air dan Sanitasi untuk Kesehatan, Juli 1990.
Bahkan di industri-industri yang "padat air" jumlah air yang dipakai sangat kecil biasanya 20% pada industri pengolahan pangan, 25% pada industri kertas, dan 33% pada tekstil. Sisanya didaur-ulang (kecenderungan ini semakin meningkat di negara-negara industri) atau dikeluarkan sebagai limbah cair. Penentuan tarif yang lebih realistik, meskipun penting untuk sektor ini, tetap saja tidak merupakan dorongan untuk penggunaan yang lebih efisien. Yang lebih penting adalah pengetatan alokasi air dan persyaratan pengendalian pencemaran yang lebih keras. Contohnya seperti Israel yang memiliki peraturan standar penggunaan air untuk berbagai macam industri, dan memberi alokasi pembagian air yang disesuaikan. Sebagai hasilnya, di negara itu rata-rata penggunaan air per unit produksi industri anjlok hingga 70% selama dua dekade ini.
Air buangan industri sering dibuang tanpa melalui proses pengolahan apapun. Air tersebut dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.
Cara menolongnya adalah pencegahan bukan penyembuhan. Seperti laporan dari Bank Dunia dan Bank Investasi Eropa berjudul Pencemaran Industri di Kawasan Laut Tengah: "Perbaikan pada efisiensi dalam pengoperasian dan pemulihan sumber air jauh lebih baik dan kemungkinan besar akan memberikan hasil yang lebih banyak daripada pengolahan pada akhir proses yang mahal, sebab banyak masalah pencemaran berkaitan langsung dengan masalah-masalah pengoperasian dan pemeliharaan, serta rendahnya niat untuk konservasi dan pemulihan sumber air".
Penilaian terhadap masalah lingkungan di kawasan Laut Tengah yang dilaksanakan oleh kedua organisasi tersebut menemukan bahwa pengolahan primer terhadap limbah industri hanya akan menghabiskan biaya sebesar 10% hingga 20% dari biaya pengolahan secara lengkap, namun dapat membuang 50 hingga 90 persen bahan-bahan polutan yang paling berbahaya. Penyusutan buangan limbah industri yang efektif, termasuk pengolahan primer, mungkin akan lebih berdampak lebih baik terhadap lingkungan daripada mengutamakan cara pengolahan lengkap terhadap limbah perkotaan yang volumenya jauh lebih kecil.
Tabel 3: Perkiraan Modal untuk Penyediaan Pemasok Air Baru dan Layanan Pembuangan Limbah Air *)

Th. 1900, jumlah penduduk yang terlayani (juta)
Th. 2000, jumlah penduduk (juta)
Tambahan jumlah penduduk yang akan dilayani (juta)
Perkiraan biaya per unit dalam dolar tiap orang
Jumlah keseluruhan biaya dalm juta dolar
Pasokan air perkotaan
1.089
1.900
811
1300
105.000






Pembuangan limbah air
955
1.900
945
350
331.000




Jumlah
436.000
*) Angka-angka yang disajikan di sini lebih kecil dari jumlah sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankan biaya universal. Karena pada masa lampau penekanan dipusatkan pada membangun yang baru, banyak sistem yang sekarang tidak beroperasi lagi atau rusak berat dan memerlukan rehabilitasi, yang tentunya menambah beban berat terhadap kebutuhan finansial. Perkiraan di atas juga tidak memasukkan investasi besar yang diperlukan untuk keperluan perlindungan.
Sumber: Data penduduk dari hasil-hasil selama Dasawara Pasokan Air Minum dan Sanitasi 1981-1990. Laporan No. A/45/327, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Juli 1990. Biaya satuan per kapita diperoleh dari evaluasi dan laporan proyek Bank Dunia. Perkiraan ini mengandaikan adanya sistem saluran air minum dan pembuangan terpusat yang penuh dalam rumah tangga. Angka-angka ini baru merupakan petunjuk dan hendaknya tidak dipakai untuk memperkirakan biaya untuk suatu wilayah tertentu.
Untuk memusatkan kepedulian pada jeleknya tingkat layanan di sektor air, PBB menjuluki tahun 1980-an sebagai "Dasawarsa Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Internasional". Ada beberapa peningkatan yang cukup nyata terutama dalam layanan penyediaan air kepada orang-orang miskin, tetapi pencapaian tersebut apabila dipandang dari segi lingkungan, idak sedramatik seperti yang diharapkan. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, sampai akhir dasawarsa tersebut, meskipun ada banyak peningkatan jumlah orang yang dilayani, namun ternyata jumlah orang di perkotaan yang tidak terlayani juga meningkat.
Kiranya pantas dicatat bahwa statistik yang dipaparkan pada Tabel 1 tersebut hampir dapat dipastikan terlalu optimistik. Misalnya, statistik tersebut tidak mengungkapkan mutu layanan yang mungkin saja rendah dan dapat mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat. Sangat sering statistik itu mengasumsikan bahwa sekali dibentuk, sebuah sistem akan terus bekerja dengan baik, padahal keadaan sesungguhnya tidak selalu demikian.
Masalahnya bukan hanya karena tidak cukup persediaan air; air yang ada itu pun tidak dikelola secara layak atau dibagikan secara merata.
Bagian air yang hilang karena kebocoran terlalu besar. Dengan menengok kembali pengalaman selama bertahun-tahun, Bank Dunia menemukan bahwa "air yang tidak tertagih" rata-rata mencapai 35% dari keseluruhan pasokan (air yang tak tertagih = UFW/ unaccounted-for water, yaitu air yang diproduksi tetapi tidak menghasilkan uang karena kebocoran atau "kerugian administratif"). Menaikkan penjualan air dari 65% ke, katakan 85%, akan berarti penghematan 30% terhadap keadaan sekarang.
Sering sebagian besar air yang tersedia hanya digunakan oleh sejumlah kecil konsumen besar. Dalam suatu kota, 15% sambungan bermeter dapat menghasilkan 85% pemasukan uang dari konsumsi air. Enam persen peringkat atas dari seluruh rumah tangga mengkonsumsi lebih dari 30% seluruh konsumsi domestik, 0,1% dari atas menggunakan lebih dari 6%. Bahkan hanya 3 rangkaian industri saja membayar separo dari jumlah keseluruhan konsumsi industri.
Para pengguna tersebut membayar terlalu rendah untuk layanan. Biaya rata-rata untuk produksi air oleh proyek pemasok yang dibiayai oleh Bank Dunia dalam masa 1966-81 adalah $ 1,29 untuk setiap 1.000 galon (+ 3.800 l). Harga rata-rata untuk setiap 1.000 galon kira-kira $ 0,69. Karena tingkat rata-rata air yang tidak menghasilkan uang mencapai hingga 35% maka harga efektif setiap 1.000 galon menjadi hanya $ 0,45, atau kira-kira hanya 1/3 biaya memproduksinya.
Kelompok orang lain terpaksa menggunakan alternatif yang mahal. Dale Whittington dan rekan-rekannya mencatat dalam tulisan yang berjudul Penyajian Air dan Pembangunan: Pelajaran dari Dua Negara, "Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya."
Karena masalah-masalah tersebut maka para pengusaha air di beberapa negara berkembang hidupnya sangat pas-pasan. Tarif yang dikendalikan secara politis biasanya terlalu rendah untuk menutup biaya produksi; namun demikian banyak tagihan rekening air tetap tidak terbayar, sehingga usaha perawatan untuk pencegahan tidak terpedulikan. Oleh karena itu banyak kota yang berputar semacam lingkaran: Perbaikan yang paling utama ditunda hingga sistem jaringannya mencapai ambang kerusakan, tepat pada waktu itu dimulailah babak baru suatu proyek penanaman modal yang besar. Pada gilirannya, karena desakan dari tuntutan layanan, hal tersebut akan menyebabkan pemerintah kota terjebak dalam masa depan yang tak menentu.
Dalam hal demikian, biasanya mereka lebih mudah memperoleh dana untuk membangun sistem penyediaan baru, yang secara politis sangat gampang dilihat, daripada mencari dana untuk memperbaiki barang-barang yang mendekati kebobrokan. Pemusatan perhatian pada perluasan pasokan dan tidak adanya kebijakan nasional yang mengharuskan pengalokasian air lebih efisien, mengarah pada keparahan penyedotan yang berlebihan terhadap jaringan lapisan sumber air bawah tanah di banyak negara, diiringi dengan akibat yang serius yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya yaitu kelangkaan air, permukaan air yang jatuh di bawah saluran pompa penyedot, dan air garam yang terserap ke dalam jaringan lapisan sumber air dan menyebabkan air tak dapat dimanfaatkan untuk minum atau irigasi.
Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan.
Pada suatu konperensi yang diselenggarakan baru-baru ini, seorang wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam.
Penyia-nyiaan sumber air semacam ini tidak terbatas hanya pada negara-negara berkembang saja; eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber juga merupakan masalah yang serius di banyak derah di Amerika Serikat. Seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami. Selama 4 dasawarsa terakhir, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian.
Sumber-sumber air juga mengalami kemerosotan mutu. Di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, sumber-sumber tersebut juga mengalami pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya.
Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber. Banyak rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Bahkan andaikan hal ini tidak mengakibatkan masalah dari para penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan, sebab limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan.
Itulah masalah-masalah para penerima layanan. Namun, kira-kira 30% penduduk perkotaan harus menerima keadaan bahwa mereka tidak memiliki perangkat sanitasi yang memadai. Hal ini berarti bahwa dalam suatu kota berpenduduk 10 juta orang, setiap hari ada kira-kira 750 ton limbah manusia yang tak tertampung dan menumpuk di sembarang tempat -mungkin 250.000 ton zat-zat penyebab penyakit tersebar di jalan-jalan dan di tempat-tempat umum, atau di saluran-saluran air.
Perpaduan antara jangkauan yang tidak memadai, layanan yang jelek dan pengolahan air limbah yang kurang layak mengakibatkan terjadinya kondisi hidup yang mengerikan. Di jalan-jalan dan tempat-tempat umum berceceran limbah manusia, saluran air mengangkut cairan limbah rumah tangga, dan pasokan air ledeng mengalir tidak teratur, sehingga limbah cair rumah tangga meresap ke dalam pipa pada saat tekanan airnya melemah. Dampaknya, terutama terhadap anak-anak, sangat mengerikan. Meskipun orang tampak sehat, mereka tidak akan seproduktif seperti selayaknya karena gangguan parasit pada usus. Keuntungan yang dapat diharapkan dari penyediaan air dan sanitasi yang lebih baik sangat tinggi, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tentunya biaya ekonomi untuk penyakit yang tidak dapat dihindari sangat tinggi, tetapi sukar untuk diperkirakan. Kerusakan sistem juga akan berdampak pada biaya lain-lain bagi para konsumen. Diperkirakan di Jakarta, Indonesia, 20 hingga 30 juta dolar dibelanjakan setiap tahun hanya untuk merebus air supaya aman untuk dikonsumsi. Andaikan jumlah uang ini digunakan untuk meningkatkan mutu penyediaan air, sangat diyakini akan membuahkan hasil yang sangat berarti untuk jangka waktu lama.
Tabel 3 memaparkan ancar-ancar perkiraan biaya untuk pengadaan layanan secara konvensional hanya kepada mereka yang tidak terlayani pada saat ini. Investasi untuk sektor air dan sanitasi selama tahun 80-an mungkin rata-rata mencapai 10 ribu juta dolar setiap tahun. Apabila investasi ini berlangsung dengan laju yang sama untuk tahun berikutnya, maka angka-angka pada tabel 3 akan menuntut kebutuhan untuk investasi kira-kira sebesar 67 ribu dolar setiap tahun untuk 5 tahun berikutnya hanya untuk mempertahankan cadangan layanan, tanpa menyembuhkan kerusakan-kerusakan di masa lalu.
Apabila dikelola dengan manajemen yang tepat air merupakan komoditas yang mengagumkan murahnya. Di Amerika Serikat, negara yang pada umumnya memberikan tingkat layanan yang tinggi, orang-pun masih tetap mengeluh tentang rekening air dan layanan pembuangan limbah air. Tetapi keluhan tersebut mungkin tidak mengaitkan masalah antara jasa yang mereka terima dengan uang yang mereka bayarkan, atau tanpa membandingkan harga layanan ini dengan komoditas lain. Di wilayah yang dilayani oleh Komisi Sanitasi Wilayah Kota (Wahington, D.C., dan daerah pinggirannya), suatu instansi yang terkenal paling mahal harga layanannya, biaya untuk pasokan air bagi rumah tangga sedang adalah $ 2,51 untuk 3.800 liter sepadan dengan hanya $ 0,60 dolar per ton. Sedangkan pembuangan dan pengolahan limbah cair hanya $ 0,90 per ton.
Hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman di seluruh dunia dalam sektor ini: Melanjutkan "urusan berjalan seperti biasa" sudah tidak lagi dapat diterima. Beruntunglah bahwa penekanan yang mantap pada pentingnya penyediaan air dan sanitasi selama dasawarsa terakhir ini telah berhikmah bagi kita dengan contoh-contoh yang sangat berharga tentang pendekatan-pendekatan yang telah membuahkan hasil; sekarang pendekatan-pendekatan ini perlu penerapan yang lebih luas.
Makalah Disampaikan dalam workshop “Kerinci Wetland”
Oleh : Nurjaliana Sitompul (staff ahli LSMKK)