RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Perlindungan Rahasia Negara
Mengancam Kebebasan Pers
Jumat, 14 Agustus 2009
JAKARTA (Suara Karya): Substansi setiap pasal yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) Rahasia Negara diupayakan tetap mengedepankan dan menjamin kebebasan media dalam menyajikan informasi. Dan, perlindungan terhadap rahasia negara juga tidak dilakukan secara mutlak.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga (Fraksi Partai Golkar), dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prof Juwono Sudarsoso, secara terpisah, di Jakarta, kemarin.
Menurut Theo, ada beberapa hal yang menjadi perhatian anggota legislatif dalam melakukan pembahasan RUU Rahasia Negara tersebut.
"Ada empat hal yang diupayakan ada di dalam RUU tersebut. Yakni, asas demokratis, hak asasi manusia (human rights), good governance, dan kebebasan pers. Semua itu harus ada dalam UU tersebut. Jadi, jika ada hal-hal yang bertentangan di dalam RUU itu dengan kebebasan pers, maka itu akan diubah," katanya.
Theo menyebutkan, tercatat dari 360 daftar invetarisasi (DIM) yang harus diselesaikan DPR dalam pembahasan RUU Rahasia Negara hingga saat ini, antara lain sebanyak 77 DIM sudah berhasil mendapatkan persetujuan, 85 DIM yang sudah diselesaikan pada rapat kerja, dan 93 DIM diserahkan ke panja untuk diselesaikan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengemukakan, kebocoran rahasia negara kerap dilakukan pejabat negara, terkait persaingan dan perseteruan antarelite.
"Ini tidak saja terjadi di negara berkembang, tetapi juga oleh pejabat negara di Amerika Serikat," katanya dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Kemerdekaan Pers di Indonesia" bersama para pimpinan media di Jakarta, kemarin.
Juwono mengatakan, keberadaan rumusan UU Rahasia Negara yang kini tengah dilakukan pemerintah sangatlah berbeda kerangka waktu, substansi dan ruang lingkupnya dengan era perang dingin pada 1950-1960-an.
Di era keterbukaan informasi seiring dengan tumbuh kembangnya teknologi informasi, sangat tidak memungkinkan adanya perlindungan kerahasiaan negara yang begitu ketat seperti pada era perang dingin.
"Semisal, bisakah pejabat dapat menjaga kerahasiaan negara melalui blog atau facebook yang dibuat dan dilangganinya. Baik melalui blog atau facebook instansi maupun blog atau facebook pribadi. Ini juga harus dipertimbangkan," katanya.
Tidak Mutlak
Jadi, tutur Juwono, meski perlindungan terhadap kerahasiaan negara dibuat begitu ketat secara hukum, tidak berarti perlindungan terhadap rahasia negara itu benar-benar bisa diterapkan secara mutlak dan absolut.
Di lain pihak, Dewan Pers meminta pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Karena, sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dinilai mengancam kebebasan pers.
"Bahkan, beberapa pasal mengarah pada upaya pembredelan, jika terbukti melakukan pembocoran rahasia negara," kata Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers Dewan Pers Abdullah Alamudi, di Jakarta, Kamis (13/8).
Dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers Indonesia" yang dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono itu, ia mengatakan, dari 52 pasal itu sebagian besar mengancam proses demokrasi yang tengah berjalan untuk ditegakkan di negara ini.
"Jadi, untuk apa dilanjutkan, toh UU lain sudah mengatur seperti UU Kebebasan Infomasi Publik, dan UU Pers yang sudah mengatur bagaimana pers berperan dan berperilaku," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan anggota Dewan Pers Bambang Harymurti yang mengatakan, dari sudut sanksi yang diberikan juga cukup memberatkan perusahaan media, mulai hukuman pidana lima tahun, pembredelan hingga hukuman mati. (Tri Handayani/Ant/Yudhiarma)
Perlindungan Rahasia Negara
Mengancam Kebebasan Pers
Jumat, 14 Agustus 2009
JAKARTA (Suara Karya): Substansi setiap pasal yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) Rahasia Negara diupayakan tetap mengedepankan dan menjamin kebebasan media dalam menyajikan informasi. Dan, perlindungan terhadap rahasia negara juga tidak dilakukan secara mutlak.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga (Fraksi Partai Golkar), dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prof Juwono Sudarsoso, secara terpisah, di Jakarta, kemarin.
Menurut Theo, ada beberapa hal yang menjadi perhatian anggota legislatif dalam melakukan pembahasan RUU Rahasia Negara tersebut.
"Ada empat hal yang diupayakan ada di dalam RUU tersebut. Yakni, asas demokratis, hak asasi manusia (human rights), good governance, dan kebebasan pers. Semua itu harus ada dalam UU tersebut. Jadi, jika ada hal-hal yang bertentangan di dalam RUU itu dengan kebebasan pers, maka itu akan diubah," katanya.
Theo menyebutkan, tercatat dari 360 daftar invetarisasi (DIM) yang harus diselesaikan DPR dalam pembahasan RUU Rahasia Negara hingga saat ini, antara lain sebanyak 77 DIM sudah berhasil mendapatkan persetujuan, 85 DIM yang sudah diselesaikan pada rapat kerja, dan 93 DIM diserahkan ke panja untuk diselesaikan.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengemukakan, kebocoran rahasia negara kerap dilakukan pejabat negara, terkait persaingan dan perseteruan antarelite.
"Ini tidak saja terjadi di negara berkembang, tetapi juga oleh pejabat negara di Amerika Serikat," katanya dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Kemerdekaan Pers di Indonesia" bersama para pimpinan media di Jakarta, kemarin.
Juwono mengatakan, keberadaan rumusan UU Rahasia Negara yang kini tengah dilakukan pemerintah sangatlah berbeda kerangka waktu, substansi dan ruang lingkupnya dengan era perang dingin pada 1950-1960-an.
Di era keterbukaan informasi seiring dengan tumbuh kembangnya teknologi informasi, sangat tidak memungkinkan adanya perlindungan kerahasiaan negara yang begitu ketat seperti pada era perang dingin.
"Semisal, bisakah pejabat dapat menjaga kerahasiaan negara melalui blog atau facebook yang dibuat dan dilangganinya. Baik melalui blog atau facebook instansi maupun blog atau facebook pribadi. Ini juga harus dipertimbangkan," katanya.
Tidak Mutlak
Jadi, tutur Juwono, meski perlindungan terhadap kerahasiaan negara dibuat begitu ketat secara hukum, tidak berarti perlindungan terhadap rahasia negara itu benar-benar bisa diterapkan secara mutlak dan absolut.
Di lain pihak, Dewan Pers meminta pemerintah menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Karena, sebagian besar pasal-pasal yang tercantum dinilai mengancam kebebasan pers.
"Bahkan, beberapa pasal mengarah pada upaya pembredelan, jika terbukti melakukan pembocoran rahasia negara," kata Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika Pers Dewan Pers Abdullah Alamudi, di Jakarta, Kamis (13/8).
Dalam diskusi "RUU Rahasia Negara dan Masa Depan Kemerdekaan Pers Indonesia" yang dihadiri Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono itu, ia mengatakan, dari 52 pasal itu sebagian besar mengancam proses demokrasi yang tengah berjalan untuk ditegakkan di negara ini.
"Jadi, untuk apa dilanjutkan, toh UU lain sudah mengatur seperti UU Kebebasan Infomasi Publik, dan UU Pers yang sudah mengatur bagaimana pers berperan dan berperilaku," ujarnya.
Hal yang sama diungkapkan anggota Dewan Pers Bambang Harymurti yang mengatakan, dari sudut sanksi yang diberikan juga cukup memberatkan perusahaan media, mulai hukuman pidana lima tahun, pembredelan hingga hukuman mati. (Tri Handayani/Ant/Yudhiarma)
1 comment:
info yang bermanfaat..
semoga demokrasi dan kebebasan berekspresi selalu terjaga di negeri kita ini :)
Post a Comment