Monday, November 28, 2011

Sunday, November 27, 2011

REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai amanat
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dijabarkan pada Perpres
(Peraturan Presiden) No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Tahun 2004—2009 pada
Bab 13 Bidang Revitalisasi Proses Desentralisasi dan Otonomi
Daerah. Dalam bab tersebut telah diamanatkan beberapa program
yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, yaitu terkait (1) program
penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan
otonomi daerah; (2) program peningkatan kerja sama antar
pemerintah daerah; (3) program peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah; (4) program peningkatan profesionalisme aparat
pemerintah daerah; (5) program peningkatan kapasitas keuangan
pemerintah daerah; serta (6) program penataan daerah otonom baru
(DOB).
13 - 2
I. Permasalahan yang Dihadapi
Di dalam pelaksanaan RPJMN Tahun 2004—2009 bidang
revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, terkait dengan
penataan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan
otonomi daerah, permasalahan yang masih dihadapi hingga akhir
semester 1 tahun 2008, di antaranya (1) masih terdapat beberapa
peraturan pelaksana UU No. 32 tahun 2004 yang belum tersusun,
yaitu 6 PP (Peraturan Pemerintah) dan 1 Perpres dari 27 PP, 2
Perpres dan 2 Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang
diamanatkan; (2) masih terdapat 1 peraturan pelaksana UU No. 33
tahun 2004 yang belum diterbitkan, yaitu PP tentang Pengelolaan
Dana Darurat; (3) munculnya permasalahan terkait
ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan sektoral
dan peraturan perundangan mengenai desentralisasi dan otonomi
daerah sehingga menyebabkan kesulitan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan oleh pemda; serta (4) masih belum
optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang
memiliki karakteristik khusus dan istimewa karena belum tersusun
dan tersosialisasikannya peraturan perundangan yang mengatur
pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah tersebut.
Permasalahan dalam program peningkatan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah, di antaranya (1) penerapan standar
pelayanan minimal (SPM) sampai saat ini belum optimal karena
peraturan menteri tentang SPM yang ditetapkan oleh departemen
sektor sebagai acuan daerah dalam penerapan SPM, masih dalam
proses penyusunan; (2) belum disusunnya rencana aksi nasional
(RAN) di bidang pelayanan publik, khususnya bidang administrasi
kependudukan dan perizinan investasi; (3) pemda dalam
mengimplementasikan PP No. 41 Tahun 2007 dan menetapkan
organisasi perangkat daerah, menemukan kendala yang disebabkan
oleh adanya beberapa peraturan daerah (perda) yang sudah mengatur
pelaksanaan restrukturisasi yang sesuai dengan kebutuhan daerah itu
sendiri; (4) masih adanya berbagai protes dan ketidakpuasan para
pendukung pasangan calon kepala daerah terhadap proses dan hasil
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung yang disebabkan tidak
akuratnya penetapan data pemilih, persyaratan calon yang tidak
lengkap atau tidak memenuhi persyaratan (ijazah palsu/tidak punya
13 - 3
ijazah), permasalahan internal partai politik (parpol) dalam hal
pengusulan pasangan calon, adanya dugaan komisi pemilihan umum
daerah (KPUD) tidak independen, adanya dugaan money politik,
pelanggaran kampanye, dan penghitungan suara yang dianggap tidak
akurat; (5) proses evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
belum dapat dilakukan secara optimal karena masih menungu
peraturan pelaksana PP No. 6 Tahun 2008 tentang Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diharapkan dapat
diselesaikan pada akhir tahun 2008; serta (6) belum optimalnya
koordinasi penyelenggaraan kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan oleh departemen sektor di daerah.
Permasalahan dalam program peningkatan profesionalisme
aparatur pemda, di antaranya (1) kemampuan aparat pemda yang
belum memadai, khususnya di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa
di dalam bidang kependudukan, kesempatan kerja, strategi investasi,
keamanan dan ketertiban (tramtib), serta perlindungan masyarakat
(linmas); (2) belum tersusunnya norma, standar, prosedur, dan
pedoman sistem karier, sistem cuti, sistem asuransi, sistem
penghargaan, serta pengelolaan aparatur Pemerintah daerah; (3)
belum adanya standar kompetensi dalam pola karier dan mutasi;
serta (4) belum baiknya manajemen aparatur pemda, khususnya di
dalam penataan jabatan negeri dan negara serta jabatan fungsional
dan struktural berdasarkan kompetensi dan keahliannya.
Permasalahan dalam program peningkatan kerja sama
antarpemda adalah belum optimalnya kerja sama antarPemerintah
daerah, khususnya dalam penanganan kawasan perbatasan,
pengurangan kesenjangan antarwilayah dan penyediaan pelayanan
publik yang disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya (1) belum
tersosialisasinya dengan baik PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kerjasama Antar-Daerah yang diharapkan menjadi
payung regulasi penting dalam mendorong sinergi dan integrasi
perda yang mengatur kebijakan pengembangan kerja sama
antardaerah; (2) belum ada model/format ideal dan instrumen kerja
sama yang potensial dikembangkan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik; (3) belum ada insentif yang terukur untuk
mendorong daerah dalam melakukan kerja sama; serta (4) secara
umum pemda belum optimal memberdayakan potensi sumber daya
13 - 4
yang ada untuk mendatangkan manfaat yang lebih besar, yang
dikelola secara bersama-sama antarpemda.
Permasalahan dalam program penataan DOB, di antaranya (1)
belum optimalnya peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
(DPOD) di dalam proses pembentukan daerah dan pembangunan
DOB, yang tidak dapat mengimbangi banyaknya keinginan beberapa
daerah untuk melakukan pemekaran tanpa analisis komprehensif
terhadap kelayakan teknis, administratif, politik, dan potensi daerah;
(2) banyak timbulnya konflik terkait pemekaran daerah, seperti
pengelolaan aset daerah, penyediaan aparatur pemerintah, dan batas
wilayah, yang berpengaruh pada kinerja pembangunannya; (3)
berdasarkan evaluasi sementara antara Depdagri, Bappenas-UNDP,
dan LAN pada Tahun 2007 menunjukkan bahwa sekitar 80% daerah
pemekaran yang sudah mekar selama 5 tahun menunjukkan kinerja
yang masih rendah, khususnya untuk aspek perekonomian daerah,
keuangan daerah, pelayanan publik, dan kapasitas aparatur dalam
memberikan pelayanan; (4) pembentukan DOB pada saat yang
bersamaan dengan masa persiapan dan pelaksanaan Pemilu Tahun
2009 dikhawatirkan sangat potensial mengganggu pelaksanaan
Pemilu, khususnya terkait dengan proses pendataan para pemilih dan
penentuan daerah pemilihan; serta (5) pemberian insentif bagi daerah
untuk melakukan pemekaran.
Permasalahan dalam program peningkatan kapasitas keuangan
pemda selama 8 tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal belum
terlaksana secara optimal karena beberapa faktor, di antaranya baru
diterbitkannya beberapa peraturan perundangan terkait pengelolaan
keuangan daerah serta masih belum mencukupinya kapasitas SDM
aparatur pemda di bidang tersebut. Sejalan dengan pemberian
kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat, daerah diberi kewenangan untuk
memungut pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur
dalam UU No. 18 Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 34
Tahun 2000. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa daerah
yang memungut pajak daerah dan retribusi daerah tanpa
memerhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut dan
bertentangan dengan kepentingan umum sehingga cenderung
13 - 5
mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi dan mengganggu iklim
investasi di daerah.
Terkait proses penyusunan APBD di beberapa daerah yang
sering mengalami keterlambatan disebabkan oleh proses pembahasan
yang membutuhkan waktu yang panjang serta akibat adanya
multitafsir terhadap Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang pada akhirnya
mengakibatkan realisasi penyerapan APBD sangat rendah. Selain itu,
pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di beberapa daerah
juga dirasakan belum optimal dan efisien, sehingga banyak BUMD
yang belum dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dan bahkan membebani APBD. Hal itu terbukti ketika alokasi dana
APBD untuk pengelolaan BUMD jauh lebih besar dibandingkan
keuntungan yang diperoleh dari BUMD. Keberadaan BUMD juga
belum dipayungi dengan dasar hukum yang kuat.
Terkait aspek administrasi penatausahaan barang milik daerah
sampai awal tahun 2008, banyak daerah yang belum sepenuhnya
melakukan proses administrasi penatausahaan barang milik daerah
yang sesuai dengan PP No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Masih rendahnya jumlah dan kualitas SDM yang
mempunyai kompetensi di bidang pengelolaan keuangan termasuk
akuntansi dan juga keterbatasan dalam penguasaan teknologi
informasi menjadi kendala dalam proses peningkatan kapasitas
keuangan Pemerintah daerah. Hal tersebut terbukti dengan adanya
beberapa yang daerah masih melakukan pengelolaan keuangan
daerah secara manual dan belum memanfaatkan sistem informasi
yang terkomputerisasi hingga saat ini.
Terkait dana perimbangan, beberapa isu aktual yang muncul,
antara lain, (1) pemekaran daerah berimplikasi terhadap peningkatan
komponen dana perimbangan, khususnya dana alokasi umum (DAU)
dan dana alokasi khusus (DAK) dan akan membebani APBN pada
setiap tahunnya; (2) penerimaan pegawai sebagai akibat dari proses
pemekaran daerah dan mutasi pegawai, menuntut adanya rekonsiliasi
dan verifikasi guna mendapatkan data pegawai negeri sipil daerah
(PNSD) yang akurat sebagai dasar perhitungan alokasi dasar DAU.
13 - 6
II. Langkah–Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Dalam program penataan peraturan perundang-undangan
terkait desentralisasi dan otonomi daerah, kebijakan yang ditempuh
oleh Pemerintah dan pemda, di antaranya (1) mengharmoniskan
berbagai peraturan perundang-undangan sektoral dengan peraturan
perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah
melalui fasilitasi penyesuaian norma, standar, prosedur dan kriteria
(NSPK) dari tiap-tiap sektor; serta (2) memantapkan kebijakan dan
regulasi otonomi daerah dan otonomi khusus seperti Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Provinsi Papua dan Provinsi
Pupua Barat serta daerah berkarakter khusus, seperti Provinsi DKI
Jakarta dan Provinsi DI Yogyakarta.
Dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan
pemerintah daerah, kebijakan yang ditempuh, di antaranya (1)
mempercepat penyusunan RAN dalam pelayanan publik khususnya
bidang administrasi kependudukan dan perizinan investasi secara
konsisten; (2) meningkatkan kapasitas kelembagaan pemda melalui
penataan kelembagaan daerah sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007,
termasuk di daerah otonomi khusus dan daerah berkarakter
khusus/istimewa, menyusun pedoman rencana pencapaian SPM
bidang pendidikan dan kesehatan berdasarkan analisa dan
kemampuan daerah, memfasilitasi penyusunan SPM untuk dijadikan
Perda, serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi
dan penyelenggaraan otonomi daerah; (3) meningkatkan keserasian
hubungan antara Pemerintah dan pemda melalui forum musyawarah
pimpinan daerah (Muspida) dalam upaya memantapkan sistem dan
tata cara penyelenggaraan kebijakan/program pemerintahan guna
mewujudkan stabilitas lokal, regional dan nasional; serta (4)
meningkatkan hubungan koordinasi antarhierarkhi pemerintahan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah dan membina
keserasian hubungan antara Pemerintah dan pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dan hubungan diantara pemerintahan daerah.
Dalam program peningkatan profesionalisme aparat
Pemerintah daerah, kebijakan yang ditempuh diantaranya (1)
meningkatkan kompetensi dan kapasitas aparatur pemda pada bidang
penanganan bencana dan pengurangan resiko bencana,
penganalisisan kependudukan, perencanaan kesempatan kerja,
13 - 7
penyusunan strategi investasi, penanganan kententraman, ketertiban
dan perlindungan masyarakat (tramtib dan linmas), serta
penyelenggaraan pemerintahan daerah; serta (2) meningkatkan etika
kepemimpinan daerah bagi kepala daerah dan dewan perwakilan
rakyat daerah (DPRD).
Dalam program peningkatan kerja sama antarpemerintah
daerah, kebijakan yang ditempuh, di antaranya (1) mendorong kerja
sama antarpemda termasuk peran pemerintah provinsi dalam rangka
peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat melalui
sosialisasi regulasi dan kebijakan mengenai kerja sama antardaerah,
khususnya PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerja sama Antar-Daerah; (2) meningkatkan peran Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat untuk memfasilitasi dan menyelesaikan
perselisihan antardaerah di wilayahnya; (3) mengoptimalkan dan
meningkatkan efektivitas sistem informasi pemerintahan daerah
(SIPD) untuk memperkuat kerja sama antarpemda dan dengan
Pemerintah Pusat; serta (4) mendorong dan memfasilitasi
pemerintahan daerah agar mampu berinisiatif mengelola potensi
yang ada di daerahnya melalui kerja sama antardaerah dan melalui
kerj asama pemerintah daerah dengan pihak ketiga.
Dalam program penataan DOB, kebijakan yang ditempuh di
antaranya (1) melakukan evaluasi kebijakan pembentukan DOB
dengan memerhatikan pertimbangan: kelayakan teknis, administratif,
politis, dan potensi daerah dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat; (2) mengembangkan
suatu skema alternatif dalam meningkatkan kualitas pelayanan
publik yang di antaranya adalah melalui kerja sama antardaerah yang
mampu memberikan perubahan image bahwa tidak sepenuhnya
benar peningkatan pelayanan publik dapat dilakukan hanya melalui
pemekaran daerah; serta (3) meningkatkan kinerja penataan dan
evaluasi penyelenggaraan pemerintahan DOB.
Dalam program peningkatan kapasitas keuangan Pemerintah
daerah, kebijakan yang ditempuh di antaranya (1) meningkatkan
kapasitas keuangan pemerintah daerah dengan mengarahkan
penggunaan dana perimbangan untuk menggali sumber-sumber
potensi daerah di dalam meningkatkan perekonomian dan
menciptakan kondisi kondusif bagi dunia usaha, termasuk
13 - 8
melaksanakan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah
(SIPKD) dan sisten informasi keuangan daerah (SIKD); (2)
Disahkannya PP No. 58 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, serta peraturan turunannya, yaitu Permendagri No. 13 Tahun
2006 dan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. PP No. 58 Tahun 2008 tersebut
merupakan revisi PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah yang merupakan penjabaran dari 3 paket Undang-
Undang Keuangan Negara, yaitu Undang-undang No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
(3) Disahkannya PP No. 21 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga
atas PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan
Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD; (4) menyelesaikan Revisi
Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan
Perhitungan APBD; (5) menyelesaikan revisi beberapa
Kepmendagri/Permendagri lainnya di bidang pengelolaan keuangan
daerah; (6) meyusun RUU BUMD sebagai revisi dari Undang-
Undang BUMD tahun 1962 yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan saat ini; (7) menyusun Revisi UU No. 34 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; (8) membangun dan
mengembangkan sistem informasi BAKD dan sistem informasi
pengelolaan keuangan daerah (SIPKD) di 171 daerah terpilih; (9)
menyusun panduan/pedoman pengembangan corporate plan
BUMD yang partisipatif dengan menerapkan prinsip-prinsip
pengelolaan perusahaan yang sehat; serta (10) melakukan fasilitasi,
pembinaan, bimbingan teknis, asistensi, penyusunan kebijakan bagi
pemerintah daerah di bidang: administrasi anggaran daerah,
administrasi pendapatan dan investasi daerah, fasilitasi dana
perimbangan serta fasilitasi pertanggungjawaban dan pengawasan
keuangan daerah.
Hasil yang telah dicapai dalam pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah, dalam rangka mengefektifkan implementasi UU No.
13 - 9
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah menyusun dan
mengundangkan beberapa peraturan pelaksanaan undang-undang
tersebut berupa PP, Perpres, dan Permendagri. Dari 27 PP, 2 Perpres,
dan 2 Permendagri yang diamanatkan UU No. 32 Tahun 2004 untuk
diterbitkan, hingga saat ini perkembangannya adalah sebagai berikut.
Pertama, 21 PP sudah diterbitkan, yaitu 4 RPP yang sedang dalam
proses harmonisasi dan akan segera diajukan ke Dephumkam/Setneg
dan 2 draf RPP yang sedang difinalisasi di tingkat Departemen
Dalam Negeri. Kedua, 1 Perpres sudah diterbitkan, yaitu 1 (satu) draf
final rancangan perpres sudah disampaikan ke setkab. Ketiga, 2
permendagri yang telah diterbitkan. Perkembangan penyusunan
peraturan pelaksana dari UU No. 33 tahun 2004 telah disusun dan
diterbitkan sebanyak 6 PP dan 1 permendagri dari 7 PP dan 1
permendagri yang diamanatkan.
Terkait dengan proses fasilitasi penyusunan dan implementasi
Peraturan Perundang-Undangan Otonomi Khusus di Provinsi NAD,
saat ini Menteri Dalam Negeri membentuk kelompok kerja (pokja)
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 120.11-615 Tahun
2006. Dalam Perjalanannya, pokja telah menyelesaikan RPP tentang
partai politik lokal dengan diterbitkannya PP No. 20 Tahun 2007
tentang Partai Politik Lokal di Aceh.
Dalam hal penentuan kepastian dasar hukum pembentukan
Provinsi Papua Barat telah diterbitkan PP Pengganti UU No. 1 Tahun
2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai landasan hukum bagi
Provinsi Papua Barat dalam melaksanakan operasional pemerintahan
daerahnya sesuai dengan Surat Ketua MK No. 018/KA.MK/VI/2005
tanggal 16 Juni 2005 perihal Penjelasan Putusan MK No. 018/PUUI/
2003. Dalam Surat Ketua MK tersebut dijelaskan bahwa pada
intinya keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat sebagai subjek hukum
pemerintahan daerah adalah sah dan konstitusional sehingga MK
menyarankan kepada pemerintah untuk memberikan keberadaan
payung hukum Provinsi Papua Barat lebih tepat dimasukkan dalam
revisi UU No. 21 tahun 2001 agar Provinsi tersebut dapat
melaksanakan otonomi khusus.
13 - 10
Terkait proses fasilitasi penyusunan dan implementasi
penyelenggaraan Pemerintahan DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah diterbitkan UU No. 29 tahun
2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai
Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan pada
tanggal 30 Juli 2007 sebagai pengganti Undang-Undang No. 34
tahun 1999 dengan memerhatikan perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di DKI Jakarta.
Dalam penentuan status keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan mempertimbangan masa jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode tahun 2003–
2008 untuk masa jabatan kedua kalinya akan berakhir pada tanggal 9
Oktober 2008, sesuai Keputusan Presiden No. 179/M Tahun 2003
tanggal 8 Oktober 2003 dan tanggal pelantikannya, telah disusun draf
RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Draf
RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut
mengatur kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati
Paku Alam IX dalam posisi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta setelah berakhirnya masa jabatan
periode tahun 2003 – 2008 yang terkait (1) penempatkan Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Adipati Paku Alam IX sebagai Parardhya
yang bertahta secara sah dengan kewenangan yang mencerminkan
kewenangan keistimewaan DIY serta (2) pengaturan mengenai
empat keistimewaan lainnya di bidang pertanahan, penataan ruang,
kebudayaan, dan keuangan.
Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Mahkamah Konstitusi
No. 5/PUU-V/ telah diterbitkan perubahan terbatas UU No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 28 April 2008. Perubahan
terbatas tersebut terkait dengan (1) Keputusan Mahkamah Konstitusi
No. 5/PUU-V/2007 yang diputuskan pada tanggal 23 Juli 2007
dengan memasukkan calon perseorangan dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah serta mekanisme pencalonan dari
calon perseorangan; (2) pengisian kekosongan jabatan wakil kepala
daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia,
mengundurkan diri (berhenti), atau tidak dapat melakukan
kewajibannya selama 6 bulan secara terus- menerus dalam masa
13 - 11
jabatannya; (3) pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah
karena meninggal dunia, mengundurkan diri (berhenti),
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6
bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya; (4) integrasi
penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur; serta (5)
penjadwalan kembali pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
Dalam program peningkatan kapasitas kelembagaan pemda,
hasil-hasil yang telah dicapai di antaranya terkait dengan penyusunan
peraturan perundangan yang berupaya menata kelembagaan pemda
secara lebih efektif, efisien, transparansi, partisifatif, dan akuntabel,
yaitu (1) telah selesai dan diterbitkannya PP No. 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabuapten/Kota; (2) telah selesai disusun dan diterbitkannya PP No.
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah; (3) telah
selesai disusun dan diterbitkannya PP No. 3 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Penyusunan Laporan Penyelenggaraaan Pemerintahan Daerah,
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah, dan
Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada
masyarakat; (4) telah diselesaikannya rancangan Peraturan Presiden
tentang Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan
Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah; (5) tersusunnya pedoman (Handbook)
penyelenggaraan pemerintah daerah tahun 2007 dan 2008; (6) telah
diterbitkan PP No. 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (7) telah diterbitkan PP No. 7
tahun 2008 Tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; (8) telah
diterbitkan PP No 8 tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Rencana Pembangunan
Daerah; serta (9) telah diterbitkan PP No. 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan.
Terkait dengan pelaksanaan pilkada sejak 1 Juni 2005 sampai
dengan 31 Juli 2008 sebagai bentuk implementasi nyata dari
semangat otonomi daerah terhadap proses peningkatan demokratisasi
lokal, hasil yang telah dicapai adalah telah dilaksanakan pemilihan
13 - 12
kepala daerah dan wakil kepala daerah sebanyak 405 daerah yang
terdiri atas 29 provinsi, 305 kabupaten dan 71 kota. Khusus untuk
pelaksanaan pilkada pada tahun 2008, dari 160 kepala daerah/wakil
kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2008 sampai
dengan bulan Juli 2009 telah dilaksanakan Pilkada sebanyak 73
daerah terdiri atas 9 provinsi, 48 kabupaten dan 16 kota. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 233 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa pemungutan
suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
masa jabatannya berakhir pada bulan November 2008 sampai dengan
bulan Juli 2009 diselenggarakan paling lama pada bulan Oktober
2008 yang terdiri dari 3 provinsi, 50 kabupaten dan 15 kota. Di
samping itu, pelaksanaan pilkada setelah tanggal tanggal 28 April
2008 mewajibkan bagi pasangan calon incumbent harus
mengundurkan diri terhitung pada saat pendaftaran dengan
mekanisme sebagaimana dimaksud dalam surat edaran Menteri
Dalam Negeri No. 188.2/1189/SJ tanggal 7 Mei 2008.
Terkait dengan pencapaian dalam penataan pembagian urusan
pemerintahan telah dikeluarkan Surat Menteri Dalam Negeri No.
100/328/SJ tanggal 11 Februari 2008 perihal Penyusunan NSPK
yang ditujukan kepada Menteri/Kepala LPND Kabinet Indonesia
Bersatu dan Surat Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada
gubernur, bupati/walikota, ketua DPRD provinsi dan ketua DPRD
kabupaten/kota seluruh Indonesia No. 100/344/SJ tanggal 12
Februari 2008 perihal Penetapan Perda tentang Urusan Pemerintahan
yang menjadi Kewenangan Daerah, sesuai dengan amanat PP No. 38
tahun 2007 untuk pelaksanaan urusan pemerintahan wajib dan
pilihan oleh Menteri/Kepala LPND dalam menetapkan NSPK.
Terkait dengan proses pelaksanaan SPM, dengan mengacu
pada PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan SPM telah diterbitkan Permendagri No. 6 Tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan SPM,
Permendagri No. 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pencapaian SPM, Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
100.05-76 Tahun 2007 tentang Pembentukan Tim Konsultasi
Penyusunan SPM dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada
13 - 13
Gubernur/Bupati/Walikota tentang Pelaksanaan SPM di daerah.
Selain itu, Departemen Dalam Negeri telah memfasilitasi departemen
sektor dalam menyusun SPM, khususnya Departemen Kesehatan,
Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Departemen Pekerjaan Umum. Pada akhir tahun 2008
departemen tersebut diharapkan sudah dapat menerbitkan peraturan
menteri terkait dengan penerapan SPM. Departemen Dalam Negeri
juga telah melakukan sosialisasi PP No. 6 Tahun 2008 dan
penyampaian permintaan indikator kinerja kunci (IKK) evaluasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah dari tiap-tiap
departemen/LPND sebagai bahan penyusunan Permendagri tentang
Tata Cara Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dalam program pengelolaan aparatur, hasil-hasil yang telah
dicapai di antaranya: (1) telah diterbitkannya Permendagri No. 27
Tahun 2007 tentang Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana
dalam Penanggulangan Bencana; (2) terselenggaranya
pengelenggaraan diklat sebanyak 900 orang dalam 30 angkatan yang
mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan
koordinasi dan kerja sama antar-lembaga diklat unggulan/prioritas
dan diklat teknis-fungsional; (3) terselenggaranya berbagai diklat
unggulan/prioritas dan diklat teknis-fungsional; serta (4)
diperkirakan akan terealisasikan pada tahun 2008 PP mengenai
Pedoman Persyaratan Jabatan Perangkat Daerah, terselenggaranya
berbagai diklat unggulan/prioritas dan diklat teknis-fungsional,
seperti diklat kepemimpinan pemerintahan daerah sebanyak 210
orang dalam 7 kegiatan, dan berbagai diklat yang bertujuan untuk
menunjang penerapan manajemen SPM sebanyak 630 orang dalam
21 kegiatan.
Dalam program peningkatan kerja sama antardaerah, hasilhasil
yang telah dicapai di antaranya (1) telah difasilitasi dan
dilakukan kerja sama antardaerah dengan kesepakatan kerja sama
antara Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat,
Gubernur Banten, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Walikota Depok,
Bupati Tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota
Bekasi, dan Bupati Cianjur (Jabodetabekjur); kesepakatan kerja sama
antarkabupaten dan kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul
(Karmantul); kesepakatan kerja sama antara Banjarnegara,
13 - 14
Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen (Barlingmascakeb);
kesepakatan kerja sama antara Kabupaten dan Kota Surakarta,
Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten
(Subosukawonostraten); serta kerja sama antara Kabupaten dan Kota
Makasar, Maros dan Sungguminasa, Kabupaten dan Kota Denpasar,
Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita); (2) telah difasilitasi dan dilakukan
penandatanganan kesepakatan bersama kerja sama oleh lima
gubernur yang berbatasan di wilayah Sumatera (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Riau) dalam rangka
peningkatan pendayagunaan potensi perekonomian, pengembangan
jaringan ekonom regional, dan pengembangan daerah perbatasan;
serta (3) telah disusun dan diterbitkannya PP No. 50 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja sama Daerah yang diharapkan
menjadi dasar hukum yang lebih memantapkan hubungan dan
keterikatan antar daerah dalam kerangka NKRI.
Dalam program penataan DOB, hasil-hasil yang telah dicapai
lebih didasarkan kepada hasil pemekaran daerah. Meskipun
Pemerintah telah memiliki komitmen untuk menunda pembentukan
DOB dan melakukan evaluasi pemekaran daerah dan pembentukan
DOB, sampai bulan Juni 2008 telah terbentuk sebanyak 179 daerah
otonom yang terdiri atas 7 provinsi, 141 kabupaten, dan 31 kota,
(sebagaimana terlampir). Dengan demikian total daerah otonom saat
ini berjumlah 33 provinsi, 465 kabupaten/kota (374 kabupaten dan
91 kota), serta 5 kota administratif dan 1 Kabupaten administratif di
Provinsi DKI Jakarta.
Khusus periode tahun 2005 sampai dengan bulan Juni 2008
telah terbentuk 31 kabupaten/kota yang terdiri atas 27 kabupaten dan
4 kota. Selain itu masih terdapat usulan pembentukan daerah otonom
baru yang menjadi usul insiatif DPR-RI dan telah ditanggapi
Pemerintah Melalui Surat Presiden Republik Indonesia No.
R.68/Pres/12/2007 tanggal 10 Desember 2007 perihal 12 Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pembentukan Kabupaten/Kota, dan
RUU tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 53 Tahun
1999. Ada pun Ke-12 RUU tersebut adalah tentang Pembentukan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Labuhanbatu Utara
(Provinsi Sumatera Utara); Kabupaten Bengkulu Tengah (Provinsi
Bengkulu); Kota Sungai Penuh (Provinsi Jambi); Kabupaten
13 - 15
Lombok Utara (Provinsi NTB); Kabupaten Sigi (Provinsi Sulawesi
Tengah); Kabupaten Toraja Utara (Provinsi Sulawesi Selatan);
Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Bolaang
Mongondow Selatan (Provinsi Sulawesi Utara); Kabupaten Maluku
Barat Daya dan Kabupaten Buru Selatan (Provinsi Maluku); serta
Kabupaten Anambas (Provinsi Kepulauan Riau). Ke-12 Rancangan
Undang-Undang tentang Pembentukan Kabupaten/Kota berdasarkan
hasil rapat panja DPR-RI bersama Pemerintah disepakati tetap masih
mengacu kepada PP No. 129 Tahun 2000 dan Pemerintah telah
melakukan klarifikasi terhadap kelengkapan administrasi yang
dilanjutkan dengan observasi dan pengkajian lapangan, untuk
menilai kelayakan kedua belas, kabupaten/kota calon daerah otonom
baru tersebut.
Selain itu, terhadap 15 RUU tentang pembentukan DOB
lainnya yang merupakan usul inisiatif DPR-RI juga telah ditanggapi
oleh Pemerintah melalui surat Presiden RI No. R.04/Pres/02/2008
tanggal 1 Februari 2008. Ada pun Ke-15 RUU tersebut adalah
tentang Pembentukan Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat,
Kota Gunungsitoli, dan Kota Berastagi (Provinsi Sumatera Utara);
Kabupaten Mesuji, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kabupaten
Pringsewu (Provinsi Lampung); Kota Tangerang Selatan (Provinsi
Banten); Kabupaten Sabu Raijua (Provinsi NTT); Kabupaten
Morotai (Provinsi Maluku Utara); Kabupaten Maibrat dan
Kabupaten Tambrauw (Provinsi Papua Barat); Kabupaten Intan Jaya
dan Kabupaten Deiyai (Provinsi Papua); serta Provinsi Tapanuli.
Pemerintah akan melakukan klarifikasi dan observasi setelah ke-12
usulan pembentukan kabupaten/kota tersebut mendapat rekomendasi
dari DPOD.
Hasil pencapaian lain yang cukup berarti bagi proses penataan
DOB adalah telah diterbitkan PP No. 78 Tahun 2007 (revisi PP No.
129 Tahun 2000) tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah, yang diharapkan menjadi pedoman hukum
yang lebih baik bagi proses pemekaran dan penggabungan daerah ke
depan, sesuai dengan persyaratan administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan. Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan.
DOB telah dilaksanakan pembangunan sarana dan prasarana
kecamatan di 65 daerah kabupaten/kota hasil pemekaran yang
13 - 16
meliputi fasilitas kantor, rumah dinas camat, dan aula dinas
kecamatan serta telah terselesaikannya beberapa masalah perebutan
aset daerah dan kasus batas administrasi daerah di daerah otonom
baru.
Dalam program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah
daerah, hasil yang telah dicapai di antaranya telah disusun dan
diterbitkan beberapa peraturan terbaru terkait dengan pelaksanaan
dan pengelolaan keuangan daerah sekaligus menampung implikasi
lahirnya peraturan perundang-undangan sebelumnya, diantaranya
adalah sebagai berikut.
1) Peraturan Perundangan Bidang Administrasi Anggaran Daerah
meliputi
(1) PP No. 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
PP No. 24 Tahun 2004 Kedudukan Protokoler dan
Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD;
(2) Permendagri No. 32 tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
tahun anggaran 2009;
(3) Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang perubahan atas
Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah;
(4) Permendagri No 44 tahun 2007 tentang Pedoman
Pengelolaan Belanja Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah;
(5) Permendagri No 30 tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
tahun anggaran 2008;
(6) Permendagri No. 16 tahun 2007 tentang Tatacara
Evaluasi Rancangan Perda tentan APBD dan Rancangan
Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD;
(7) Evaluasi Ranperda APBD Provinsi Tahun 2005, 2006,
2007, dan 2008;
13 - 17
(8) Asistensi Penyusunan APBD tahun 2005, 2006, 2007,
dan 2008; dan
(9) Sosialisasi peraturan formal di bidang keuangan daerah.
2) Peraturan Perundangan Bidang Administrasi Pendapatan dan
Investasi Daerah meliputi
(1) PP No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No. 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah;
(2) Permendagri No. 23 Tahun 2008 tentang Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dan Bea
Balik Nama Kendaraan di Atas Air Tahun 2008;
(3) Permendagri No. 22 Tahun 2008 tentang Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2008;
(4) Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah (PPK BLUD);
(5) Permendagri No. 17 tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah;
(6) Permendagri No. 10 Tahun 2007 tentang Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan di Atas Air dan Bea
Balik Nama Kendaraan di Atas Air Tahun 2007;
(7) Permendagri No. 9 Tahun 2007 tentang Penghitungan
Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2007;
(8) Permendagri No. 2 tahun 2007 tentang Organisasi dan
Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum;
(9) Draf Rancangan Undang-Undang tentang BUMD telah
disampaikan ke Departemen Hukum dan HAM;
(10) Draf Rancangan Undang-Undang tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, masih dibahas di DPR;
13 - 18
(11) Draf Peraturan Bersama Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan tentang Kerja sama Pelayanan Pendaftaran
Kendaraan Bermotor Dalam Pemungutan Penerimaan
Negara Bukan Pajak dari Pemberian Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor,
Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan melalui Sistem Administrasi
Manunggal Di bawah Satu Atap (SAMSAT);
(12) Evaluasi Perda Pajak dan Retribusi Daerah;
(13) Fasilitasi Bimbingan teknis Pengelolaan Barang Daerah,
Penilaian Aset Daerah, kebijakan Perubahan Status
Hukum Barang Daerah, dan Penyerahan Barang dan
Utang Piutang pada Daerah yang baru dibentuk;
(14) Basis Data (Database) Badan Usaha Daerah;
(15) sosialisasi pedoman penyusunan Corporate Plan
BUMD;
(16) pemetaan (mapping) Lembaga Keuangan Mikro Milik
Pemerintah daerah;
(17) petunjuk teknis tentang Pinjaman Daerah dan Obligasi
Daerah;
(18) Pedoman tentang Penyaluran Kredit Usaha Mikro yang
difasilitasi pemda, Bersumber dari bagian laba BUMN
(Program Kemitraan BUMN);
(19) Evaluasi Penyaluran Kredit yang difasilitasi pemerintah
daerah untuk usaha mikro yang bersumber dari bagian
laba BUMN;
(20) Kajian Tentang Model Inkubator Investasi Daerah; dan
(21) Fasilitasi Kegiatan Pembinaan Administrasi Keuangan
Daerah bidang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
13 - 19
3) Bidang Fasilitasi Dana Perimbangan meliputi
(1) Rekonsiliasi dan pendataan ulang guna mendapatkan
data pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang akurat
sebagai dasar perhitungan alokasi dasar DAU tahun
2005, 2006, dan 2007;
(2) Rekonsiliasi Data Dasar DAU dan DAK Daerah
Pemekaran tahun 2005, 2006, dan 2007;
(3) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAU dan Monev
Program Dekonsentrasi tahun 2005 , 2006, dan 2007;
(4) Asistensi Penyusunan RD bagi Daerah Penerima DAK
Dan Sosialisasi serta implementasi Juknis DAK;
(5) Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Bidang
Prasarana pemerintahan;
(6) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAK tahun 2005,
2006, dan 2007;
(7) Fasilitasi Pengelolaan Dana Bagi Hasil;
(8) Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan Penerimaan DBH
Sumber Daya Alam dan Pajak; dan
(9) Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Dana Otonomi Khusus.
4) Bidang Fasilitasi Pertanggungjawaban dan Pengawasan
Keuangan Daerah meliputi
(1) Permendagri No. 65 Tahun 2007 tentang Pedoman
Evaluasi Rancangan Perda tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD dan Rancangan Peraturan Kepala
Daerah tentang Penjabaran Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD;
(2) terlaksananya Asistensi Pedoman Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah;
(3) Asistensi Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD
(4) Pedoman Kebijakan dan Teknis Akuntansi;
13 - 20
(5) Sosialisasi Sistem Penatausahaan, Akuntansi dan
Pertanggungjawaban Keuangan daerah bagi Aparat
Pemerintah daerah;
(6) Sosialisasi Pedoman evaluasi Raperda tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD;
(7) Sosialisasi Integrasi/Migrasi Data APBD;
(8) Data dasar APBD;
(9) Asistensi Penatausahaan dan Akuntasi Keuangan
Pemerintah daerah;
(10) Fasilitasi Implementasi Media Inkubator Kapasitas
Pengelolaan Keuangan Daerah;
(11) Asistensi Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD;
(12) Evaluasi Perda tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBD; dan
(13) Penyusunan Kerangka Dasar Pengembangan Sistem
Basis Data dan Sistem komunikasi Keuangan Daerah.
Sampai dengan Mei 2008 telah dilakukan evaluasi terhadap
6.366 perda pajak dan retribusi daerah oleh Departemen Dalam
Negeri, Departemen Keuangan, dan departemen teknis terkait. Hasil
evaluasi terhadap perda tersebut adalah 4.434 perda layak untuk
tetap dilaksanakan dan 1.932 perda disarankan untuk
direvisi/dibatalkan. Dari 1.932 perda yang disarankan untuk
direvisi/dibatalkan, 968 Perda telah dibatalkan dengan Permendagri
dan 964 Perda masih dalam proses pembatalan. Alasan pembatalan
perda tersebut pada umumnya berkaitan dengan adanya ketentuan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, kepentingan umum, dan adanya kecenderungan untuk
menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Pemerintah merespons isu keterlambatan penyusunan APBD
dengan telah melakukan beberapa kebijakan, di antaranya (1)
menerbitkan Permendagri No. 59 Tahun 2007 yang memuat
penegasan atas materi yang menjadi multitafsir dan penyederhanaan
13 - 21
proses penyusunan APBD sehingga penerbitan Perda APBD dapat
dipercepat; (2) melalui proses evaluasi Raperda APBD Provinsi telah
diingatkan agar penyertaan modal pada BUMD dinilai berdasarkan
manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan besaran modal yang
disertakan, sedangkan bagi BUMD yang tidak dapat menghasilkan
keuntungan dan dinilai kurang sehat disarankan untuk di merger atau
dialihkan kepemilikannya; (3) menyusun Participative Corporate
Plan bagi pengelola BUMD; (4) telah menyelesaikan draf RUU
BUMD. RUU dimaksud diharapkan pada tahun 2008 sudah dapat
dibahas dengan DPR RI; dan (7) telah dilakukan evaluasi terhadap
Permendagri No. 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Barang Milik Daerah. Evaluasi tersebut dilakukan untuk memastikan
agar materi Permendagri 17/2007 yang tidak sejalan dengan PP
38/2008 dapat direvisi; serta (8) telah menyelesaikan Permendagri
No. 32 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Penyusunan APBD
Tahun 2009 terkait proses peningkatan efisiensi dan efektivitas
anggaran dalam penyusunan APBD.
Dalam rangka menyikapi permasalahan nasional sebagai
implikasi dari tekanan global terkait dengan kenaikan harga minyak
dunia, harga pangan dunia, dan masalah keuangan, Menteri Dalam
Negeri telah menerbitkan Surat Edaran No. 541/1264/SJ tanggal 15
Mei 2008, sebagai pedoman pemda guna menjaga stabilitas
penyelenggaraan pemerintahan, serta stabilitas politik lokal yang
berisi antara lain (1) mendukung program pemerintah dalam
pemberian bantuan sosial dan jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas) dan Raskin, pemberdayaan masyarakat melalui PNPM
Mandiri, dan bantuan Kredit Untuk Rakyat (KUR); (2) melakukan
efisiensi belanja daerah melalui penataan kembali program dan
kegiatan yang tidak memberikan manfaat langsung kepada
masyarakat, dengan mengutamakan program/kegiatan pemberdayaan
masyarakat, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan;
(3) secara khusus perlu pembatasan perjalanan dinas, kunjungan
kerja, studi banding, penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan
di luar kantor, dan mengurangi berbagai kegiatan workshop, seminar,
maupun lokakarya; serta (4) melakukan penghematan penggunaan
energi listrik dengan cara melakukan penghematan listrik di kantorkantor
pemda dan bangunan yang dikelola oleh pemerintah daerah,
dan BUMD.
13 - 22
III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Berdasarkan permasalahan dan beberapa pencapaian dalam
upaya mempercepat revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi
daerah, beberapa tindak lanjut yang diperlukan, antara lain, sebagai
berikut.
Terkait dengan upaya penataan peraturan perundang-undangan
mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, tindak lanjut yang
diperlukan, antara lain, adalah (1) sosialisasi dan implementasi
perundang-undangan, terutama terkait dengan kebijakan
desentralisasi di daerah berkarakter khusus dan daerah istimewa; (2)
harmonisasi peraturan perundang-undangan lintas sektor dengan cara
penyesuaian NSPK tiap-tiap sektor, serta sinkronisasi perda dengan
peraturan di atasnya; serta (3) penyempurnaan regulasi bidang
otonomi daerah dan penyelesaian instrumen peraturan perundangan
pendukungnya.
Terkait dengan program kelambagaan, beberapa tindak lanjut
yang diperlukan, antara lain, adalah (1) mempercepat penyusunan
RAN dalam pelayanan publik khususnya dalam bidang administrasi
kependudukan dan perijinan investasi; (2) meningkatkan kapasitas
kelembagaan pemda melalui penataan kelembagaan daerah sesuai
dengan PP No. 41 tahun 2007, termasuk di daerah otonomi khusus
dan daerah berkarakter khusus/istimewa; (3) menyusun pedoman
rencana pencapaian SPM bidang pendidikan dan kesehatan
berdasarkan analisis dan kemampuan daerah, fasilitasi penyusunan
SPM untuk dijadikan Perda; (4) memonitor dan mengevaluasi
pelaksanaan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah;
serta (5) memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung.
Terkait dengan program peningkatan profesionalisme aparat
Pemerintah daerah, beberapa tindak lanjut yang diperlukan, antara
lain, adalah (1) meningkatkan kompetensi dan kapasitas aparatur
pemda pada bidang penanganan bencana dan pengurangan resiko
bencana, penganalisisan kependudukan, perencanaan kesempatan
kerja, penyusunan strategi investasi, penanganan kententraman,
penertiban dan perlindungan masyarakat (tramtib dan linmas), serta
penyelenggaraan pemerintahan daerah; serta (2) meningkatkan etika
13 - 23
kepemimpinan kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
(DPRD).
Terkait dengan upaya peningkatan kerja sama antardaerah,
beberapa tindak lanjut yang diperlukan, antara lain, adalah (1)
meningkatkan inisiatif kerja sama antarpemda dalam usaha
optimalisasi potensi dan peningkatan pelayanan publik yang
dilakukan sejalan dengan prinsip: transparansi, akuntabilitas,
partisipatif, saling menguntungkan dan memajukan, berorientasi
kepentingan umum, keterkaitan yang dijalin atas dasar saling
membutuhkan keberadaan yang saling memperkuat, kepastian
hukum, serta tertib penyelenggaraan Pemerintah daerah; (2)
diseminasi model kerja sama antardaerah yang efektif guna
meningkatkan kemampuan daerah dalam mengatasi keterbatasan
yang dimilikinya; (3) fasilitasi kerja sama pembangunan regional dan
antardaerah melalui penguatan peran gubernur dalam rangka
pembinaan kerja sama wilayah; (4) meningkatkan peran gubernur
selaku wakil pemerintah dalam penyelenggaraan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan; (5) fasilitasi kebijakan program dekonsentrasi dan
tugas pembantuan dari kementerian/lembaga; (6) fasilitasi, asistensi
dan supervisi pelaksanaan kerja sama antardaerah serta evaluasi
pelaksanaan kerja sama daerah; (7) menyusun norma, standar,
pedoman dan manual tindak lanjut PP No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan; (8) melakukan sosialisasi
Permendagri tentang Kerja sama Pemerintah daerah dengan Pihak
Ketiga; serta (9) fasilitasi dan koordinasi penanganan masalah kerja
sama pemerintah daerah dengan pihak ketiga.
Terkait dengan upaya penataan DOB, beberapa tindak lanjut
yang diperlukan, antara lain, adalah (1) menyiapkan kebijakan dan
peraturan batas wilayah administrasi untuk penyelesaian konflik
antardaerah induk dan DOB dengan regulasi penataan batas wilayah
dan pengevaluasian penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di DOB; (2) mempercepat pembangunan daerah
otonom baru (DOB) dengan upaya peningkatan iklim investasi,
peningkatan kapasitas keuangan pemda, pemberdayaan usaha skala
mikro, pengembangan ekonomi lokal, peningkatan infrastruktur
pedesaan, kerja sama antardaerah, dukungan pembangunan sarana
dan prasarana pemerintahan kecamatan di DOB peningkatan
13 - 24
pelayanan publik, penerapan good governance, penataan ruang yang
baik, serta peningkatan kinerja DOB melalui peran DPOD; (3)
menghentikan sementara pembentukan DOB sampai terlaksananya
evaluasi menyeluruh terhadap DOB dengan menerbitkan Moratorium
Pemerintah; serta (4) melakukan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan di daerah otonom baru serta memfasilitasi dan
mengkaji usulan pembentukan daerah otonom baru.
Terkait dengan upaya peningkatan kapasitas keuangan
Pemerintah daerah, tindak lanjut yang diperlukan adalah melakukan
penguatan kapasitas keuangan daerah, harmonisasi dan penataan
regulasi keuangan daerah, serta implementasi Rencana Aksi Nasional
Desentralisasi Fiskal (RANDF) di tingkat pusat, terutama terkait
dengan pengalihan sebagian dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan kepada DAK. Dalam upaya penataan regulasi di bidang
keuangan daerah, tindak lanjut yang dilakukan, antara lain, (1) di
bidang Administrasi Anggaran Daerah merevisi PP 109/2000 tentang
Kedudukan Keuangan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah dan
menyusun permendagri tentang pedoman penyusunan APBD tahun
2010; (2) di bidang Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah
melanjutan penyusunan RUU BUMD; permendagri tentang
pengelolaan bank pembangunan daerah; Revisi Permendagri tentang
organisasi dan kepegawaian PDAM; RUU pajak dan retribusi
daerah; (3) di bidang fasilitasi dana perimbangan: merancang
Permendagri tentang pengelolaan dana perimbangan dan dana
transfer; menyiapkan materi Revisi RUU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah; serta (4) di bidang fasilitasi pengawasan
pertanggungjawaban keuangan daerah melaksanakan Permendagri
tentang pedoman teknis evaluasi Raperda pertanggungjawaban
APBD tahun 2009.
Dalam upaya optimalisasi pengelolaan keuangan daerah,
sumber-sumber penerimaan daerah, penataan regulasi bidang
keuangan, serta penyediaan sistem informasi pengelolaan keuangan
daerah, tindak lanjut yang dilakukan, antara lain, (1) melaksanakan
fasilitasi rencana anggaran daerah dan evaluasi kinerja anggaran
daerah, fasilitasi penyusunan APBD, fasilitasi evaluasi APBD dan
rancangan perubahan APBD; (2) melaksanakan fasilitasi di bidang
13 - 25

Wednesday, November 23, 2011

Flash Back: A Geographic Solution to Kerinci's Agricultural Woes: The Distance to Market Problem

Saat menikmati membuka blog seorang teman, sambil menikmati kopi luwak, setelah 3 hari komputer macet dan error, maka keluarlah tulisan ini, menarik yang ditulis teman itu, namun ini hanya sebagai pembanding dan untuk membuka wawasan lain.

Dalam perkembangan ekonomi, pasar adalah faktor penting yang tidak bisa di tinggalkan, dan variabel utama, dan sistem ekonomi pasar adalah suatu mekanisme yang terinci dari koordinasi di bawah sadar terhadap manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetauhaan dan tindakan jutaan orang yang berlainan dan tersebar dan tersebar dimana-mana. Tanpa intelijensi yang terpusatpun mekanisme tersebut akan mampu memecahkan masalah yang tidak sanggup dilakukan komputer terbesar masa kini. tidak ada seorangpun yang dengan sengaja mendesain pasar; namun pasar tetap berfungsi dengan sangat baik.

Suatu contoh yang paling dramatis dalam sejerah pentingnya mekanisme pasar adalah apa yang terjadi di Jerman setelah Perang dunia II. Pada tahun 1947, produksi dan konsumsi turun hingga tingkat terendah, akibat perang, sehingga melumpuhkan segala sektor. Barun tahun 1948, pemerintah membebaskan harga dari pengendaliannya, berhasil mengefektifkan kembali mekanisme pasar, Produksi dan konsumsi melonjak dengan cepat, ini bukan keajaiban ekonomi, tapi mekanisme pasar berjalan dengan mulus.

Jadi Pasar adalah suatu mekanisme pada saat penjual dan pembeli suatu komoditi mengadakan interaksi untuk menentukan harga dan kuantitasnya.

Petani Kentang Kerinci, Sebuah Solusi ?

Sebuah ide pemecahan solusi peningkatan kesejahteraan petani kentang di Kerinci yang ditulis oleh, seorang peneliti Hawaii University, bisa diterima, tapi solusi penciptaan pasar buat kentang tidak bisa disamakan dengan dengan alkohol dan pornography, dan jangan lupa alkohol dan pornographypun, membutuhkan "cost" produksi yang tinggi, dan proses-proses, jangka waktu yang lama, secara teori jarak tempuh, lokasi menentukan cost produksi suatu produk, namun dizaman ini itu bukan variabel, penentu, bagaimana pasar bebas, exsport-impor berjalan, sehingga kita bisa menikmati, kejunya Belanda, daging dari Australia, dan buah-buahan dari China yang merupakan produk pertanian. lalu bagaimana dengan kentang produk Kerinci, yang dibutuhkan untuk meningkatkan daya saingnya adalah: Transfer Pengetauhan dan Tekhnologi, Bagaimana ini bisa jalan ?, harus ada campur tangan pemerintah, bagaimana pemerintah dapat menginvestasikan untuk peningkatan pengetauhan, dan pengadaan tekhnologi agar produk Kentang mentah dan olahan punya daya saing di pasar. Bagaimana ini bisa terwujud ?, harus ada pemerintahan dan sistem yang betul-betul punya tanggung jawab moral, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang cerdas, pemerintahan yang betul-betul memperhatikan masyarakatnya. atau biarkan mekanisme pasar berjalan semestinya.

Lokasi dan Transportasi merupakan variabel penting dalam perkembangan ekonomi, tapi bukan mutlak, mekanisme pasar yang menentukan itu semua, dan tidak lepas dari pengetauhan dan bagaimana teknologi digunakan secara benar dan tepat, banyak yang bisa kita ambil contoh, produk Anggur Parancis, dari puluhan tahun yang lalu, masih tetap punya daya saing tinggi, dan mampu menciptakan pasarnya sendiri. Dan bagaimana dengan Kentang Kerinci, sebenarnya dari puluhan tahun masih punya pasar tersendiri, di wilayah Sumbar, Jambi, Lampung, bahkan pasar Induk Jakarta. Dan kota-kota satelit mempengaruhi penyerapan produk ini, seperti Bangko, Sarolanggun, Batang Hari, Bungo, Damasraya, Solok, Padang Panjang, Bukit Tinggi. Dari sudut pandang geographi dan melihat topografi, yang harus dilakukan adalah memperlancar, memperbaiki akses-akses, jalur-jalur, ke kota dan daerah satelit, ini.

Bicara pengolahan kentang menjadi ethanol, atau penganti bahan bakar fosil, rasanya jalanya masih panjang, proyek tumbuhan Jarak sebagai penganti bensin, beberapa tahun yang lalu, yang menghabiskan dana milayaran, saja saat ini hilang ditelan bumi ceritanya, lalu kelapa sawit menjadi penganti solar, juga entah dimana rimbanya,....dimana sekarang para ahli negeri ini ?, jawabnya kawan punya teman, ah enakan bekerja diluar negeri, gajinya besar, fasilitas hidup dikasih semua.......coba eks pekerja-pekerja PT Dingantara (IPTN) diberdayakan, tentu akan mudah membuat alat-alat buat membantu petani, atau seandainya negeri ini bersih dalam penenrimaan PNS, tentu akan punya tenaga-tenaga pemerintahan yang andal dan berkualitas, yang mampu melahirkan ide-ide dan pemikiran baru.

Friday, November 18, 2011

Otonomi dan Pemekaran, Pemborosan APBN

Sejak adanya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dampak dari pemekaran daerah ini adalah, jumlah pemerintah daerah baru di Indonesia berkembang sangat fantastis dan cenderung ‘berlebihan’. Tulisan ini akan mengungkapkan lebih jauh dampak pemekaran pemerintah daerah ini terhadap beban APBN.

Berapa jumlah provinsi di Indonesia? Dahulu, pertanyaan ini akan mudah untuk dijawab yaitu 27 provinsi termasuk Timor Timur. Namun, sejak adanya UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, makin sulit untuk menjawab pertanyaan tadi. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat bingung dengan pesatnya peningkatan jumlah pemerintah daerah baru. Pada 2001, kabupaten/kota di Indonesia berjumlah 336 (di luar DKI Jakarta) dengan 30 provinsi (bertambah empat provinsi baru). Jumlah ini meningkat hingga awal 2004 terdapat 32 provinsi dengan 434 kabupaten/kota.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemekaran pemerintah daerah ini telah menimbulkan tekanan terhadap APBN karena adanya sejumlah dana yang harus ditransfer kepada pemerintah daerah baru. Kondisi ini memberikan pesan kepada pemerintah pusat untuk membuat kriteria yang jelas dan tegas dalam menyetujui pemekaran pemerintah daerah baru.

Berhubungan dengan kriteria tersebut, pemerintahan Presiden Gus Dur pada akhir 2000 telah mengeluarkan PP No 129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa daerah dapat dibentuk atau dimekarkan jika memenuhi syarat-syarat antara lain: kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Namun, kriteria tersebut dirasakan kurang bersifat operasional misalnya dalam bentuk standardisasi berapa besar nilai setiap indikator, sehingga suatu daerah layak untuk dimekarkan. Selain itu, prosedur pemekaran berdasarkan hasil penelitian oleh daerah yang ingin dimekarkan tersebut, mengandung potensi yang besar pula untuk suatu ‘tindakan manipulasi’.

Sudah menjadi rahasia umum, dengan adanya pemekaran pemerintah daerah, maka akan timbul posisi dan jabatan baru. Dan ini berimplikasi lebih jauh lagi dengan munculnya sistem birokrasi baru yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Posisi dan jabatan ini tentunya tidak terlepas dari adanya aliran dana dari pemerintah pusat (APBN) kepada pemerintah daerah.

Motivasi untuk membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), serta dana bagi hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam.

Komponen terbesar dalam dana transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.

Akan tetapi, hal ini menyebabkan adanya kepastian daerah menerima DAU ini, secara politis memberikan motivasi untuk memekarkan daerah. Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai.


Pengeluaran yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan. Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah ini tentunya tidaklah sedikit.

Pada 2003, daerah hasil pemekaran 2002 sebanyak 22 kabupaten/kota baru telah menerima DAU Rp1,33 triliun. Jumlah ini terus meningkat pada APBN 2004, 40 daerah hasil pemekaran 2003, telah menerima DAU Rp2,6 triliun. Jumlah DAU daerah pemekaran ini tentunya juga akan mengurangi jumlah DAU yang diterima daerah induk sehingga memiliki potensi yang besar pula terjadinya degradasi pada pelayanan publik dan penyediaan infrastruktur kepada masyarakat. Dampak yang lebih luas dari hal ini adalah adanya kemungkinan beban APBN bertambah dengan adanya intervensi yang harus dilakukan oleh pemerintah pusat dalam membangun daerah pemekaran ini.


Salah satu bentuk pengeluaran langsung oleh pemerintah pusat kepada daerah pemekaran ini dimanifestasikan dalam bentuk DAK nondana reboisasi. Salah satu jenis dari DAK non-DR digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana pemerintahan hasil pemekaran. Pada 2003, APBN harus menyalurkan dana Rp88 miliar hanya untuk membangun prasarana pemerintahan daerah pemekaran atau setiap daerah pemekaran akan mendapatkan dana sebesar Rp4 miliar.

Jumlah itu terus bertambah pada APBN 2004 menjadi Rp228 miliar. Terlihat jelas bahwa setiap ada pemekaran daerah, beban APBN akan semakin bertambah besar. Apalagi jika daerah yang dimekarkan tersebut adalah provinsi. Fakta telah menunjukkan setiap ada pemekaran provinsi, maka akan diikuti pula dengan pemekaran kabupaten/kota di provinsi baru tersebut.

Penjelasan singkat di atas mengembalikan kita kepada konsep dasar dalam ilmu ekonomi, yaitu opportunity cost. Jelas, bahwa adanya pemekaran telah menimbulkan opportunity cost yang sangat besar pada penyediaan infrastruktur dan pelayanan kepada masyarakat. Kita semua menyadari bahwa pembangunan di daerah bukanlah pembangunan aparat pemerintah daerah, melainkan merupakan pembangunan masyarakat daerah secara keseluruhan.

Pemerintah pusat perlu mengambil tindakan segera untuk menghentikan tuntutan pemekaran daerah yang sangat tidak terkendali ini. Jika pemekaran daerah tidak didasarkan pada kriteria yang tegas dan terukur, maka kondisi hanya menciptakan komoditas dagangan politik belaka. Sudah saatnya pemerintahan di Indonesia mengalokasikan dananya yang sangat terbatas tersebut kepada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan peningkatan standar kehidupan masyarakat.

(...., wangi kopi luwak dan cream,..lancarkan tangan menari diatas keyboard,.:Mas)

Wednesday, November 16, 2011

ASPEK-ASPEK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PENYUSUNAN PERJANJIAN PENELITIAN DENGAN PIHAK ASING DI BIDANG BIOLOGI


Pendahuluan

Akhir-akhir ini minat para peneliti asing di bidang biologi untuk meneliti di Indonesia

semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan perkembangan yang sangat pesat di bidang

biologi modern, terutama dalam hal bioprospeksi. Diperkirakan akan semakin banyak

sampel/spesimen flora dan fauna yang akan dibawa ke luar Indonesia dan diduga tidak hanya

digunakan untuk keperluan penelitian, namun ada kemungkinan untuk tujuan komersial.

Pelarian atau “pencurian” plasma nutfah Indonesia ke luar negeri sebenarnya bukan hal yang

baru karena telah sering terjadi. Salah satu buktinya adalah adanya pendaftaran paten oleh

pihak asing yang secara jelas menggunakan plasma nutfah asli Indonesia. Sebagai contoh,

dari hasil penelusuran paten di Database Paten Eropa1 diperoleh data bahwa ada 41 paten

Jepang di bidang farmasi, kosmetika dan makanan yang menggunakan bahan dari Indonesia

dan sebagian diduga berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia2. Untuk itu, pemerintah

Indonesia perlu untuk segera mengantisipasinya dengan jalan membuat aturan main yang

lebih jelas dan mengimplementasikan aturan-aturan yang telah ada secara tegas.

Saat ini pengaturan tentang izin bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian di

Indonesia telah ada, yaitu melalui Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin

Penelitian Bagi Orang Asing. Namun demikian petunjuk pelaksanaannya baru dikeluarkan 5

tahun kemudian melalui SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemberian Izin Penelitian Bagi Orang Asing. Artinya, selama 5 tahun Keppres tersebut

belum operasional dan baru berjalan tahun 1998. Dari sini dapat dilihat bahwa sebelum tahun

1993 belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan penelitian oleh orang

asing di Indonesia. Tidak heran bila kemudian diketahui bahwa telah banyak plasma nutfah

Indonesia yang telah dibawa ke luar negeri tanpa ada keuntungan sama sekali bagi Indonesia.

Saat ini pun dalam pelaksanaan kerjasama penelitian dengan pihak asing, belum ada

keseragaman dalam implementasi peraturan tersebut di atas. Masing-masing lembaga

penelitian dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berjalan sendiri-sendiri dengan

platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kepemilikan intelektual dan pembagian

keuntungan bila hasil penelitiannya nati dapat dikomersialkan. Untuk itu perlu segera

dilakukan penyeragaman platform terutama dalam hal isi surat perjanjian kerjasama dan

perjanjian transfer material dari Indonesia ke luar negeri. Masalah transfer material ini

semakin kompleks sejalan dengan perkembangan yang pesat di bidang biologi molekuler,

genomik dan bioinformatika. Misalnya di bidang bioinformatika, material bisa berarti

Makalah Diskusi Disampaikan dalam “Rapat Tim Koordinasi Pemberian Ijin Penelitian”, LIPI, Jakarta, 16

Oktober 2001.

1 http://ep.espacenet.com.

2 Subagyo (2001).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

2

informasi3 dalam bentuk elektronik yang dapat dikirim secara mudah melalui email atau

Internet sehingga sangat sulit untuk dicegah atau dideteksi. Untuk itu pengertian atau

cakupan dari material dalam dokumen perjanjian transfer material perlu untuk didefinisikan

secara luas.

Tulisan ini mengulas tentang segala aspek hak kekayaan intelektual yang harus

dicermati dalam pembuatan perjanjian kerjasama penelitian dengan pihak asing, khususnya di

bidang biologi.

Bentuk-Bentuk Kerjasama Penelitian

Ada beberapa bentuk kerjasama penelitian antara peneliti Indonesia dengan pihak

asing yang melibatkan pemindahan sumberdaya hayati Indonesia ke luar negeri, diantaranya

adalah:

1. Pertukaran bahan penelitian: hal ini biasa dilakukan di kalangan ilmiah. Lazimnya

materi yang dipertukarkan adalah materi yang sudah menjadi milik umum, misalnya

mikroba yang telah tersedia di lembaga koleksi kultur yang dapat diakses oleh umum.

Bila materi yang dipertukarkan mempunyai perlindungan HKI (misalnya varietas tertentu

dari tanaman yang dilindungi dengan UU PVT), maka surat perjanjian transfer materi

(material transfer agreement atau MTA) perlu dibuat yang memuat aturan-aturan yang

harus dipenuhi oleh penerima materi (misalnya hanya untuk kegiatan penelitian, bukan

untuk tujuan komersial). Demikian juga bila materi yang akan dikirim atau dipertukarkan

mempunyai potensi HKI, maka surat MTA perlu juga dibuat. Contoh isi dari surat MTA

dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertukaran bahan penelitian antar peneliti biasanya

dilakukan secara sukarela (gratis).

2. Penjualan bahan penelitian: hal ini juga lazim dilakukan oleh lembaga penelitian,

misalnya oleh Kebun Raya yang melayani pembelian bibit-bibit tanaman dari luar negeri

atau lembaga koleksi kultur yang juga menerima pesanan pembeli dari LN. Walaupun

pembeli telah mengeluarkan uang untuk mendapatkan materi tersebut, namun seharusnya

transaksi semacam ini disertai pula oleh surat MTA yang berisi pembatasan-pembatasan

penggunaan materi tersebut seperti halnya pertukaran bahan penelitian antar peneliti.

3. Bioprospeksi: merupakan rangkaian kegiatan termasuk koleksi, riset dan penggunaan

sumberdaya genetik secara sistematis untuk mendapatkan komposisi kimia baru, gen,

organisme dan produk alamiah untuk tujuan ilmiah dan/atau komersial4. Dalam kerjasama

bioprospeksi paling sedikit terlibat 2 pihak dimana satu pihak bertindak sebagai penyedia

sumber daya genetik (biasanya negara berkembang seperti Indonesia) dan pihak lain

bertindak sebagai pemanfaat sumber daya genetik tersebut (biasanya institusi atau

perusahaan dari negara maju yang menguasai teknologi tinggi). Di Indonesia, kerjasama

bioprospeksi telah berjalan sejak lama antara institusi penelitian atau perguruan tinggi

dengan pihak asing. Dalam hal ini kontribusi pihak Indonesia lebih banyak pada

pemberian akses ke sumberdaya genetik Indonesia. Salah satu contoh kerjasama

bioprospeksi untuk tujuan komersial adalah kerjasama antara Institut Pertanian Bogor

(IPB) dengan Diversa Corporation5 dari Amerika Serikat6. Dalam kerjasama ini pihak IPB

berperan dalam pemberian akses kepada Diversa atas sumberdaya genetik Indonesia

selama 2 tahun (dimulai bulan September 1997). Sebagai imbalannya Diversa melatih

para peneliti IPB dalam melakukan sampling dan membantu IPB dalam mendirikan

3 Maschio & Kowalski (2001).

4 Hilman & Romadoni (2001).

5 http://www.diversa.com.

6 Grain (1999).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

3

Centre for Microbiological Diversity dengan menggunakan teknologi Diversa. Sejumlah

royalti juga akan dibayarkan kemudian bila ada produk yang dikomersialkan (tidak

diperoleh keterangan secara jelas tentang berapa % royalti yang akan dibayarkan, akan

digunakan untuk apa saja dan bagaimana mekanismenya). LIPI melalui pusat-pusat

penelitiannya juga telah lama menjalankan kerjasama bioprospeksi dengan berbagai pihak

di LN, misalnya kerjasama dengan MacArthur Foundation, Japan Bioindustry

Association (JBA), Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Society for the

Promotion of Science (JSPS), dan ACIAR. Contoh lain adalah kerjasama antara

Departemen Kesehatan dengan pihak NAMRU dari AS. Dalam tingkatan yang lebih kecil,

disadari atau tidak, kegiatan bioprospeksi telah sering dilakukan oleh individu peneliti

Indonesia dengan pihak asing dalam bentuk penggunaan sumberdaya genetik Indonesia

untuk bahan studi pasca sarjana di luar negeri. Berbagai kegiatan kerjasama bioprospeksi

tersebut mempunyai platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kontribusi,

kepemilikan kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan (benefit sharing).

Prinsip-Prinsip Dasar dalam Kerjasama Penelitian

Prinsip dasar pertama adalah bahwa kerjasama tersebut tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, walaupun akan

menguntungkan pihak-pihak yang akan bekerjasama. Contohnya kerjasama di bidang

bioprospeksi untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati Indonesia yang menguntungkan

pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama, namun merugikan pihak-pihak tertentu (misalnya

komunitas lokal) ataupun merusak lingkungan.

Prinsip 1: Kerjasama penelitian tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Prinsip kedua adalah bahwa kerjasama tersebut harus saling menguntungkan pihakpihak

yang akan bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya. Di bidang bioprospeksi,

kerjasama tersebut selain menguntungkan pihak-pihak yang langsung terlibat dalam

kerjasama (institusi DN dan institusi LN beserta segenap penelitinya), juga harus

menguntungkan pemerintah maupun masyarakat lokal. Keuntungan tersebut tidak selalu

dalam bentuk materi/uang (biaya operasional, royalti), namun bisa juga dalam bentuk nonmateri

(partisipasi peneliti Indonesia dalam penelitian, transfer pengetahuan dan teknologi,

transfer peralatan, pertukaran staf, dukungan konservasi, publikasi bersama, pelatihan).

Prinsip 2: Kerjasama penelitian harus saling menguntungkan pihak-pihak yang akan

bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya (misalnya pemerintah dan masyarakat

lokal).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

4

Di bidang bioprospeksi, seluruh kerjasama penelitian harus menganut prinsip-prinsip

dasar yang tertuang dalam Convention on Biological Diversity (CBD) yang merupakan hasil

dari KTT Bumi di Rio de janeiro, Brazil pada tahun 1992. Indonesia termasuk salah satu

negara penandatangan CBD dan telah meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1994.

Walaupun UU tersebut sampai sekarang belum ada PP-nya, namun hal ini tidak bisa

dijadikan sebagai alasan untuk mengingkari kesepakatan yang tertuang dalam CBD. Prinsipprinsip

dasar dalam kegiatan kerjasama bioprospeksi tertuang dalam tujuan dari CBD, yaitu

(1) pelestarian keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan secara terus-menerus dari

komponen-komponen keanekaragaman hayati, dan (3) pembagian keuntungan yang sama dan

adil dalam pemanfaatan sumberdaya genetik.

Prinsip 3: kegiatan kerjasama bioprospeksi harus menganut asas pelestarian

keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkesinambungan dan pembagian

keuntungan yang sama dan adil.

Perlu ditekankan di sini bahwa CBD mengikat seluruh negara anggota penandatangan,

bukan mengikat pada individu atau institusi atau perusahaan. Oleh karena itu, negara

penandatangan CBD diwajibkan untuk membuat hukum nasionalnya masing-masing untuk

mengaturnya lebih lanjut. Sayangnya Indonesia sampai sekarang belum membuat peraturan

pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1994 tersebut, sehingga hal ini membuat implementasinya

tidak bisa berjalan dengan baik.

Hal penting lain yang tertuang dalam CBD adalah bahwa akses ke sumberdaya

genetik harus memasukkan Prior Informed Consent kepada masing-masing pihak. Prior

Informed Consent merupakan izin yang diberitahukan sebelumnya dari pihak yang

menyediakan sumberdaya genetik, dengan unsur pentingnya sebagai berikut7:

- prior : sebelum akses dilakukan.

- Informed: informasi yang dapat dipercaya tentang rencana pemanfaatan sumberdaya

genetik yang memadai untuk pihak yang berwenang untuk memahami implikasinya.

- Consent: izin eksplisit dari pemerintah negara yang menyediakan sumberdaya genetik.

Di Indonesia, izin tersebut diberikan oleh Kepala LIPI sebagai pihak yang berwenang

sesuai dengan Keppres No. 100 Tahun 1993.

Prinsip 4: akses ke sumberdaya genetik Indonesia harus mendapatkan izin tertulis

terlebih dahulu dari Kepala LIPI.

Perjanjian Penelitian

Suatu perjanjian penelitian yang baik harus menguntungkan semua pihak yang terlibat

langsung dalam penelitian dan pihak-pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.

Oleh karena itu adalah sangat penting bagi semua pihak untuk mencermati isi dari perjanjian

penelitian yang dibuat. Tidak ada format yang baku dalam penulisan suatu perjanjian

penelitian, namun sebuah perjanjian penelitian yang baik harus memuat hal-hal sebagai

berikut:

1. Obyek Penelitian: dalam hal ini harus jelas tentang obyek penelitian yang akan

dilaksanakan dalam kerjasama tersebut, tujuan dari kerjasama tersebut dan luarannya. Hal

7 Hilman & Romadoni (2001).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

5

ini secara rinci dapat diketahui dari proposal penelitian yang diajukan oleh mitra kerja

luar negeri. Proposal penelitian ini harus dilampirkan dalam Surat Perjanjian Penelitian.

2. Personalia Penelitian: harus jelas siapa saja yang akan terlibat dalam kerjasama

penelitian tersebut dan apa saja yang menjadi tanggungjawab masing-masing

pihak/peneliti.

3. Lamanya Masa Penelitian: harus dijelaskan pula rentang waktu pelaksanaan penelitian

dan kemungkinan perpanjangannya.

4. Sumber Pendanaan: harus jelas pihak-pihak mana saja yang akan menanggung biaya

penelitian dan harus disebutkan jumlahnya. Bila melibatkan lebih dari satu pihak, maka

perlu diperinci bagian mana yang menjadi tanggung jawab pihak tertentu dan bagian

mana yang menjadi tanggung jawab pihak lainnya.

5. Kontribusi dari masing-masing pihak: harus dijelaskan secara rinci kontribusi dari

masing-masing pihak dalam penelitian. Hal ini diperlukan selain untuk menjelaskan

tanggung jawab masing-masing pihak selama pelaksanaan penelitian, juga untuk

menentukan kepemilikan kekayaan intelektual yang mungkin akan dihasilkan dalam

penelitian. Bila dalam penelitian nanti melibatkan transfer material ke pihak mitra luar

negeri dalam bentuk sumberdaya hayati dalam arti luas, maka perlu dibuatkan secara

terpisah dokumen MTA dari pihak Indonesia ke pihak asing. Contoh bentuk dokumen

MTA dapat dilihat pada Lampiran 1.

6. Diskripsi dari penelitian: dalam hal ini proposal penelitian yang telah disepakati oleh

semua pihak harus dilampirkan sebagai acuan. Bila ada kesepakatan lain dalam penelitian,

misalnya kegiatan pelatihan, maka programnya secara rinci juga perlu dilampirkan.

7. Kepemilikan Kekayaan Intelektual: hal ini menjadi isu yang sangat penting karena

menyangkut konsekuensi ekonomi bila hasil penelitian dalam kerjasama tersebut berhasil

dikomersialkan. Hal-hal yang perlu dicermati antara lain mengenai bentuk-bentuk

kekayaan intelektual apa saja yang mungkin dihasilkan, bagaimana bentuk

kepemilikannya (kepemilikan bersama, tunggal dll.), bagaimana sistem pembagian

royaltinya dan pihak mana yang akan menanggung biaya pendaftarannya. Kepemilikan

KI ini sangat terkait dengan kontribusi dari masing-masing pihak dalam kerjasama

penelitian tersebut (point 5) dan sumber pendanaannya (point 4). Aspek kepemilikan

kekayaan intelektual ini akan dibahas lebih rinci lagi dalam sub-bab di bawah.

8. Dasar hukum: perlu dijelaskan hukum mana yang akan dianut dalam perjanjian

penelitian tersebut. Dalam hal kerjasama peneliti Indonesia dengan peneliti asing, maka

hukum-hukum di Indonesia-lah yang akan diberlakukan.

9. Hak Publikasi: salah satu luaran dari penelitian adalah publikasi ilmiah. Karena itu,

masalah kepemilikan publikasi ini perlu diatur secara lebih rinci dan perlu pula dikaitkan

dengan masalah pendaftaran perlindungan KI. Untuk itu, lazimnya masalah ini diawali

dengan pengungkapan invensi dalam “Invention Disclosure Form”.

10. Lain-lain yang dianggap perlu: misalnya mengenai alamat kontak masing-masing pihak,

masalah jaminan, pemutusan kontrak, dan force majeure.

Contoh surat perjanjian penelitian yang baik dapat dilihat pada Lampiran 2.

Aspek Kepemilikan Kekayaan Intelektual

Seluruh hasil penelitian yang akan diperoleh merupakan kekayaan intelektual yang

sebagian mempunyai potensi komersial. Di bidang biologi bentuk kekayaan intelektual

sangat beragam, mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang diperoleh dalam

penelitian. Tercakup di dalamnya adalah: paten, aplikasi paten, sertifikat PVT, hak cipta, dan

semua invensi, perbaikan suatu proses, temuan yang dapat dilindungi oleh hukum formal

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

6

maupun tidak, termasuk di dalamnya adalah seluruh know-how, rahasia dagang, rencana dan

prioritas penelitian, hasil-hasil penelitian dan laporan, model komputer dan simulasi terkait,

plasma nutfah, kultur, galur sel, tanaman, bagian tanaman, biji, polen, protein, peptida,

senyawa metabolit, sekuens DNA dan RNA, gen, probe, plasmid dan informasi yang

berkaitan dengan itu.

Aspek kepemilikan KI ini dalam surat perjanjian penelitian perlu untuk dijabarkan

secara rinci didasarkan atas kontribusi dari masing-masing pihak yang bekerjasama dengan

pedoman umum sebagai berikut:

Kekayaan intelektual mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang

diperoleh dalam penelitian, baik yang dapat dilindungi melalui hukum formal (paten,

PVT, rahasia dagang, hak cipta, merek) maupun yang tidak dapat dilindungi oleh

hukum formal (know-how, informasi rahasia, dan lain-lain).

•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari kedua belah

pihak, maka kedua belah pihak harus sepakat sebagai pemilik bersama KI tersebut,

sedangkan para peneliti yang terlibat sebagai inventornya. Bila dalam KI yang baru

tersebut terdapat KI lainnya yang berasal dari salah satu pihak (yang digunakan sebagai

prior art), maka KI tersebut tetap menjadi milik pihak yang bersangkutan.

•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari hanya salah

satu pihak, maka KI tersebut menjadi milik pihak yang bersangkutan. Bila pihak yang

lain ingin menggunakan invensi tersebut, maka pihak tersebut dapat diberikan hak lisensi

dengan membayar sejumlah royalti untuk membuat, menggunakan atau menjual invensi

tersebut, namun tidak boleh melisensikannya ke pihak ketiga.

•Dalam kaitannya dengan kepemilikan KI dari materi yang dihasilkan dalam penelitian

yang dikembangkan dari plasma nutfah asal Indonesia (misalnya varietas, hibrida,

kultivar dan galur, termasuk seluruh materi propagasi), maka hak kepemilikan dari materi

tersebut tetap berada di pihak Indonesia. Sedangkan pihak luar negeri mempunyai hak

kepemilikan KI yang terkandung di dalam materi tersebut sesuai dengan kontribusinya

dalam pengembangan materi tersebut (bila ada). Komersialisasi dari materi hasil

pengembangan tersebut harus dilakukan melalui negosiasi antara pihak Indonesia sebagai

pemilik plasma nutfah dengan pihak luar negeri sebagai pemilik KI dalam pengembangan

materi tersebut.

Sebagai ilustrasi, misalnya ada suatu kerjasama antara LIPI dengan CSIRO dalam

pengembangan tanaman pisang yang tahan terhadap virus bunchy top. LIPI mempunyai

plasma nutfahnya dalam bentuk bibit pisang ambon yang rentan terhadap serangan virus

bunchy top. Dalam penelitian dan pengembangannya di LIPI, peneliti LIPI telah berhasil

mendapatkan kultivar pisang ambon yang “agak tahan” terhadap serangan virus bunchy

top melalui teknik kultur jaringan dan iradiasi (“kultivar LIPI”). Namun kultivar baru ini

masih cukup rentan terhadap serangan virus bunchy top (hanya 40% yang tahan) dan

terdapat variasi somaklonal sekitar 50% pada bibit yang dihasilkannya melalui teknik

kultur jaringan. Kultivar tersebut kemudian dikirim ke CSIRO untuk dikembangkan lebih

lanjut menggunakan teknologi rekayasa genetika yang dikembangkan oleh CSIRO.

Penelitian dan pengembangan di CSIRO ini ternyata berhasil mendapatkan kultivar

pisang ambon yang tahan virus bunchy top (80%) dengan variasi somaklonal yang cukup

rendah (10%). Nah, bagaimana dengan kepemilikan kultivar pisang ambon CSIRO ini?.

Sesuai dengan uraian di atas, “kultivar CSIRO” ini tetap menjadi milik LIPI, sedangkan

CSIRO berhak memiliki teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan kultivar

CSIRO ini. LIPI juga berhak atas teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan

“kultivar LIPI”. Jadi pada “kultivar CSIRO” ini ada kontribusi dari kedua belah pihak,

sehingga komersialisasi dari “kultivar CSIRO” ini harus dinegosiasikan oleh kedua belah

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

7

pihak. Untuk maksud tersebut perlu dibuat perjanjian lisensi penggunaan materi biologis

(Biological Materials License Agreement atau BMLA) yang disepakati kedua belah pihak.

Dalam hal ini lisensi dapat melibatkan kedua belah pihak dan/atau pihak ketiga. Di dalam

surat perjanjian penelitian perlu pula dicantumkan mengenai bentuk lisensinya (eksklusif

atau tidak, hak untuk melisensikan ke pihak ketiga), dan bentuk dari pembayaran

ROYALTI (misalnya memakai sistem pembayaran dimuka atau down payment,

menggunakan sistem persentase penjualan, dan lain-lain).

Sebagai ilustrasi kedua, misalnya kerjasama di bidang peternakan antara

Puslitbang Bioteknologi-LIPI dan Puslitbang Peternakan (Balitnak dan Balivet) dengan

Monash University dan Sydney University yang didanai oleh ACIAR untuk kegiatan

genom analisis (genotyping) pada domba ekor tipis8. Domba ekor tipis Indonesia dari

hasil penelitian sebelumnya telah memperlihatkan resistensi yang tinggi terhadap infeksi

Fasciola gigantica dan Haemonchus contortus. Penelitian tersebut bertujuan

mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab di dalam resistensi tersebut melalui

pemetaan gen dan identifikasi genom. Dalam hal ini kepemilikan gen-gen tersebut tetap

melekat pada pihak Indonesia walaupun dalam kerjasama tersebut pihak Australia lebih

banyak berperan dalam hal isolasi gen-gen tersebut dengan menggunakan teknologi yang

mereka miliki. Bila gen-gen ini kemudian diaplikasikan pada domba di Australia secara

komersial (tentunya mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar mengingat populasi

domba di Australia jauh melebihi populasi penduduknya), maka pihak Indonesia berhak

mendapatkan pembagian keuntungan yang layak dari komersialisasi ini. Sekali lagi perlu

ditekankan di sini bahwa hal-hal yang berkenaan dengan kepemilikan KI berikut upaya

komersialisasinya sangat penting untuk dicantumkan di dalam dokumen perjanjian

kerjasama penelitian secara jelas dan rinci. Posisi pihak Indonesia akan lebih kuat bila

kontribusinya tidak hanya sekedar sebagai penyedia plasma nutfah, namun turut aktif

dalam kegiatan risetnya.

Untuk menyeragamkan platform dari bentuk kerjasama penelitian dengan pihak

asing, khususnya di bidang bioprospeksi, maka Tim Koordinasi Pemberian Izin Penelitian

bagi orang asing perlu untuk mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan kerjasama

bioprospeksi yang selama ini telah dijalankan oleh berbagai institusi penelitian dan perguruan

tinggi di Indonesia. Penyeragaman platform ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan

posisi tawar-menawar (bargaining position) pihak Indonesia sebagai penyedia atau pemasok

plasma nutfah kepada pihak asing, terutama untuk plasma nutfah yang sifatnya endemik.

Penyeragaman platform ini terutama difokuskan pada hal-hal yang menyangkut kepemilikan

kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan yang sama dan adil sesuai dengan prinsipprinsip

yang tertuang dalam CBD.

Pelaksanaan bioprospeksi yang telah banyak dilakukan di Indonesia oleh berbagai

macam institusi penelitian/universitas perlu untuk dikaji dan dievaluasi untuk

menentukan platform yang seragam dalam bioprospeksi di Indonesia.

Perlu pula dibahas di sini bahwa negosiasi dengan pihak asing perlu dilakukan dalam

hal pendaftaran paten untuk invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia. Seperti yang

tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, paten tidak dapat diberikan untuk

invensi tentang semua makhluk hidup kecuali jasad renik, dan proses biologis yang esensial

untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses

8 Tappa (1998).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

8

mikrobiologis9. Invensi-invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia ini di beberapa

negara seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Uni Eropa dapat diberikan

perlindungan paten. Untuk itu kerjasama dengan pihak asing di bidang pendaftaran paten

perlu pula dinegosiasikan. Hal ini penting sekali dilakukan dengan mengingat pula bahwa

pematenan invensi di bidang biologi mengharuskan pemohon untuk mendepositkan materi

biologi yang diklaim di Lembaga Koleksi Kultur yang diakui oleh Budapest Treaty10. Karena

berbagai pertimbangan yang tidak begitu jelas, hingga saat ini Indonesia belum menjadi

anggota Budapest Treaty. Hal ini tentu saja akan menyulitkan pihak Indonesia dalam hal

pematenan makhluk hidup di luar negeri bila tidak ada bantuan dari mitra kerjanya dari luar

negeri.

Di Indonesia, invensi yang berhubungan dengan perangkat lunak (software) dan

database hanya dilindungi dengan rezim hak cipta11, sedangkan di beberapa negara di luar

negeri, khususnya Amerika Serikat, invensi dalam bentuk perangkat lunak dapat dilindungi

dengan rezim paten. Perbedaan rezim perlindungan terhadap perangkat lunak ini perlu pula

untuk dibicarakan dengan mitra kerja dari luar negeri mengingat kerjasama penelitian di

bidang biologi mempunyai potensi untuk menghasilkan invensi dalam bentuk program

komputer dan database, khususnya di bidang biologi molekuler, genomik dan

bioinformatika12.

Daftar Pustaka

Bureau of S&T Cooperation-LIPI. 2000. Research Procedures for Foreign Researchers in

Indonesia.

Fritze, D. dan V. Weihs. 2001. Deposition of biological material for patent protection in

biotechnology. Applied Microbiology and Biotechnology (on-line 21 August 2001).

Grain. 1999. Bacteria become big business. Seedling, March 1999

(http://www/grain.org/publications/mar991-en.cfm).

Hilman, H. dan A. Romadoni. 2001. Pengelolaan & Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual.

Panduan Bagi Peneliti Bioteknologi. The British Council, DIFD dan ITB. 157 hal.

Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin Penelitian Bagi Orang Asing.

Maschio, T. dan T. Kowalski. 2001. Bioinformatics - a patenting view. Trends in

Biotechnology 19 (9): 334-339.

SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Penelitian

Bagi Orang Asing.

Subagyo, T. 2001. Paten Jepang yang memakai bahan dari Indonesia dan sebagian diduga

berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia. Hasil survei dari database Paten Eropa

(http://ep.espacenet.com) per 15 April 2001.

Tappa, B. 1998. Litbang bioteknologi peternakan di Puslitbang Bioteknologi-LIPI, Cibinong.

Warta Biotek 12 (1-2): 23-24.

Ten Kate, K., L. Touche dan A. Collis. 1998. Benefit-sharing case study: Yellowstone

National Park and the Diversa Corporation. 32 hal.

UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987.

UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.