Pendahuluan
Akhir-akhir ini minat para peneliti asing di bidang biologi untuk meneliti di Indonesia
semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan perkembangan yang sangat pesat di bidang
biologi modern, terutama dalam hal bioprospeksi. Diperkirakan akan semakin banyak
sampel/spesimen flora dan fauna yang akan dibawa ke luar Indonesia dan diduga tidak hanya
digunakan untuk keperluan penelitian, namun ada kemungkinan untuk tujuan komersial.
Pelarian atau “pencurian” plasma nutfah Indonesia ke luar negeri sebenarnya bukan hal yang
baru karena telah sering terjadi. Salah satu buktinya adalah adanya pendaftaran paten oleh
pihak asing yang secara jelas menggunakan plasma nutfah asli Indonesia. Sebagai contoh,
dari hasil penelusuran paten di Database Paten Eropa1 diperoleh data bahwa ada 41 paten
Jepang di bidang farmasi, kosmetika dan makanan yang menggunakan bahan dari Indonesia
dan sebagian diduga berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia2. Untuk itu, pemerintah
Indonesia perlu untuk segera mengantisipasinya dengan jalan membuat aturan main yang
lebih jelas dan mengimplementasikan aturan-aturan yang telah ada secara tegas.
Saat ini pengaturan tentang izin bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian di
Indonesia telah ada, yaitu melalui Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin
Penelitian Bagi Orang Asing. Namun demikian petunjuk pelaksanaannya baru dikeluarkan 5
tahun kemudian melalui SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Izin Penelitian Bagi Orang Asing. Artinya, selama 5 tahun Keppres tersebut
belum operasional dan baru berjalan tahun 1998. Dari sini dapat dilihat bahwa sebelum tahun
1993 belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan penelitian oleh orang
asing di Indonesia. Tidak heran bila kemudian diketahui bahwa telah banyak plasma nutfah
Indonesia yang telah dibawa ke luar negeri tanpa ada keuntungan sama sekali bagi Indonesia.
Saat ini pun dalam pelaksanaan kerjasama penelitian dengan pihak asing, belum ada
keseragaman dalam implementasi peraturan tersebut di atas. Masing-masing lembaga
penelitian dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berjalan sendiri-sendiri dengan
platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kepemilikan intelektual dan pembagian
keuntungan bila hasil penelitiannya nati dapat dikomersialkan. Untuk itu perlu segera
dilakukan penyeragaman platform terutama dalam hal isi surat perjanjian kerjasama dan
perjanjian transfer material dari Indonesia ke luar negeri. Masalah transfer material ini
semakin kompleks sejalan dengan perkembangan yang pesat di bidang biologi molekuler,
genomik dan bioinformatika. Misalnya di bidang bioinformatika, material bisa berarti
Makalah Diskusi Disampaikan dalam “Rapat Tim Koordinasi Pemberian Ijin Penelitian”, LIPI, Jakarta, 16
Oktober 2001.
1 http://ep.espacenet.com.
2 Subagyo (2001).
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
2
informasi3 dalam bentuk elektronik yang dapat dikirim secara mudah melalui email atau
Internet sehingga sangat sulit untuk dicegah atau dideteksi. Untuk itu pengertian atau
cakupan dari material dalam dokumen perjanjian transfer material perlu untuk didefinisikan
secara luas.
Tulisan ini mengulas tentang segala aspek hak kekayaan intelektual yang harus
dicermati dalam pembuatan perjanjian kerjasama penelitian dengan pihak asing, khususnya di
bidang biologi.
Bentuk-Bentuk Kerjasama Penelitian
Ada beberapa bentuk kerjasama penelitian antara peneliti Indonesia dengan pihak
asing yang melibatkan pemindahan sumberdaya hayati Indonesia ke luar negeri, diantaranya
adalah:
1. Pertukaran bahan penelitian: hal ini biasa dilakukan di kalangan ilmiah. Lazimnya
materi yang dipertukarkan adalah materi yang sudah menjadi milik umum, misalnya
mikroba yang telah tersedia di lembaga koleksi kultur yang dapat diakses oleh umum.
Bila materi yang dipertukarkan mempunyai perlindungan HKI (misalnya varietas tertentu
dari tanaman yang dilindungi dengan UU PVT), maka surat perjanjian transfer materi
(material transfer agreement atau MTA) perlu dibuat yang memuat aturan-aturan yang
harus dipenuhi oleh penerima materi (misalnya hanya untuk kegiatan penelitian, bukan
untuk tujuan komersial). Demikian juga bila materi yang akan dikirim atau dipertukarkan
mempunyai potensi HKI, maka surat MTA perlu juga dibuat. Contoh isi dari surat MTA
dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertukaran bahan penelitian antar peneliti biasanya
dilakukan secara sukarela (gratis).
2. Penjualan bahan penelitian: hal ini juga lazim dilakukan oleh lembaga penelitian,
misalnya oleh Kebun Raya yang melayani pembelian bibit-bibit tanaman dari luar negeri
atau lembaga koleksi kultur yang juga menerima pesanan pembeli dari LN. Walaupun
pembeli telah mengeluarkan uang untuk mendapatkan materi tersebut, namun seharusnya
transaksi semacam ini disertai pula oleh surat MTA yang berisi pembatasan-pembatasan
penggunaan materi tersebut seperti halnya pertukaran bahan penelitian antar peneliti.
3. Bioprospeksi: merupakan rangkaian kegiatan termasuk koleksi, riset dan penggunaan
sumberdaya genetik secara sistematis untuk mendapatkan komposisi kimia baru, gen,
organisme dan produk alamiah untuk tujuan ilmiah dan/atau komersial4. Dalam kerjasama
bioprospeksi paling sedikit terlibat 2 pihak dimana satu pihak bertindak sebagai penyedia
sumber daya genetik (biasanya negara berkembang seperti Indonesia) dan pihak lain
bertindak sebagai pemanfaat sumber daya genetik tersebut (biasanya institusi atau
perusahaan dari negara maju yang menguasai teknologi tinggi). Di Indonesia, kerjasama
bioprospeksi telah berjalan sejak lama antara institusi penelitian atau perguruan tinggi
dengan pihak asing. Dalam hal ini kontribusi pihak Indonesia lebih banyak pada
pemberian akses ke sumberdaya genetik Indonesia. Salah satu contoh kerjasama
bioprospeksi untuk tujuan komersial adalah kerjasama antara Institut Pertanian Bogor
(IPB) dengan Diversa Corporation5 dari Amerika Serikat6. Dalam kerjasama ini pihak IPB
berperan dalam pemberian akses kepada Diversa atas sumberdaya genetik Indonesia
selama 2 tahun (dimulai bulan September 1997). Sebagai imbalannya Diversa melatih
para peneliti IPB dalam melakukan sampling dan membantu IPB dalam mendirikan
3 Maschio & Kowalski (2001).
4 Hilman & Romadoni (2001).
5 http://www.diversa.com.
6 Grain (1999).
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
3
Centre for Microbiological Diversity dengan menggunakan teknologi Diversa. Sejumlah
royalti juga akan dibayarkan kemudian bila ada produk yang dikomersialkan (tidak
diperoleh keterangan secara jelas tentang berapa % royalti yang akan dibayarkan, akan
digunakan untuk apa saja dan bagaimana mekanismenya). LIPI melalui pusat-pusat
penelitiannya juga telah lama menjalankan kerjasama bioprospeksi dengan berbagai pihak
di LN, misalnya kerjasama dengan MacArthur Foundation, Japan Bioindustry
Association (JBA), Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Society for the
Promotion of Science (JSPS), dan ACIAR. Contoh lain adalah kerjasama antara
Departemen Kesehatan dengan pihak NAMRU dari AS. Dalam tingkatan yang lebih kecil,
disadari atau tidak, kegiatan bioprospeksi telah sering dilakukan oleh individu peneliti
Indonesia dengan pihak asing dalam bentuk penggunaan sumberdaya genetik Indonesia
untuk bahan studi pasca sarjana di luar negeri. Berbagai kegiatan kerjasama bioprospeksi
tersebut mempunyai platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kontribusi,
kepemilikan kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan (benefit sharing).
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Kerjasama Penelitian
Prinsip dasar pertama adalah bahwa kerjasama tersebut tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, walaupun akan
menguntungkan pihak-pihak yang akan bekerjasama. Contohnya kerjasama di bidang
bioprospeksi untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati Indonesia yang menguntungkan
pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama, namun merugikan pihak-pihak tertentu (misalnya
komunitas lokal) ataupun merusak lingkungan.
Prinsip 1: Kerjasama penelitian tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Prinsip kedua adalah bahwa kerjasama tersebut harus saling menguntungkan pihakpihak
yang akan bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya. Di bidang bioprospeksi,
kerjasama tersebut selain menguntungkan pihak-pihak yang langsung terlibat dalam
kerjasama (institusi DN dan institusi LN beserta segenap penelitinya), juga harus
menguntungkan pemerintah maupun masyarakat lokal. Keuntungan tersebut tidak selalu
dalam bentuk materi/uang (biaya operasional, royalti), namun bisa juga dalam bentuk nonmateri
(partisipasi peneliti Indonesia dalam penelitian, transfer pengetahuan dan teknologi,
transfer peralatan, pertukaran staf, dukungan konservasi, publikasi bersama, pelatihan).
Prinsip 2: Kerjasama penelitian harus saling menguntungkan pihak-pihak yang akan
bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya (misalnya pemerintah dan masyarakat
lokal).
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
4
Di bidang bioprospeksi, seluruh kerjasama penelitian harus menganut prinsip-prinsip
dasar yang tertuang dalam Convention on Biological Diversity (CBD) yang merupakan hasil
dari KTT Bumi di Rio de janeiro, Brazil pada tahun 1992. Indonesia termasuk salah satu
negara penandatangan CBD dan telah meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1994.
Walaupun UU tersebut sampai sekarang belum ada PP-nya, namun hal ini tidak bisa
dijadikan sebagai alasan untuk mengingkari kesepakatan yang tertuang dalam CBD. Prinsipprinsip
dasar dalam kegiatan kerjasama bioprospeksi tertuang dalam tujuan dari CBD, yaitu
(1) pelestarian keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan secara terus-menerus dari
komponen-komponen keanekaragaman hayati, dan (3) pembagian keuntungan yang sama dan
adil dalam pemanfaatan sumberdaya genetik.
Prinsip 3: kegiatan kerjasama bioprospeksi harus menganut asas pelestarian
keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkesinambungan dan pembagian
keuntungan yang sama dan adil.
Perlu ditekankan di sini bahwa CBD mengikat seluruh negara anggota penandatangan,
bukan mengikat pada individu atau institusi atau perusahaan. Oleh karena itu, negara
penandatangan CBD diwajibkan untuk membuat hukum nasionalnya masing-masing untuk
mengaturnya lebih lanjut. Sayangnya Indonesia sampai sekarang belum membuat peraturan
pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1994 tersebut, sehingga hal ini membuat implementasinya
tidak bisa berjalan dengan baik.
Hal penting lain yang tertuang dalam CBD adalah bahwa akses ke sumberdaya
genetik harus memasukkan Prior Informed Consent kepada masing-masing pihak. Prior
Informed Consent merupakan izin yang diberitahukan sebelumnya dari pihak yang
menyediakan sumberdaya genetik, dengan unsur pentingnya sebagai berikut7:
- prior : sebelum akses dilakukan.
- Informed: informasi yang dapat dipercaya tentang rencana pemanfaatan sumberdaya
genetik yang memadai untuk pihak yang berwenang untuk memahami implikasinya.
- Consent: izin eksplisit dari pemerintah negara yang menyediakan sumberdaya genetik.
Di Indonesia, izin tersebut diberikan oleh Kepala LIPI sebagai pihak yang berwenang
sesuai dengan Keppres No. 100 Tahun 1993.
Prinsip 4: akses ke sumberdaya genetik Indonesia harus mendapatkan izin tertulis
terlebih dahulu dari Kepala LIPI.
Perjanjian Penelitian
Suatu perjanjian penelitian yang baik harus menguntungkan semua pihak yang terlibat
langsung dalam penelitian dan pihak-pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.
Oleh karena itu adalah sangat penting bagi semua pihak untuk mencermati isi dari perjanjian
penelitian yang dibuat. Tidak ada format yang baku dalam penulisan suatu perjanjian
penelitian, namun sebuah perjanjian penelitian yang baik harus memuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Obyek Penelitian: dalam hal ini harus jelas tentang obyek penelitian yang akan
dilaksanakan dalam kerjasama tersebut, tujuan dari kerjasama tersebut dan luarannya. Hal
7 Hilman & Romadoni (2001).
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
5
ini secara rinci dapat diketahui dari proposal penelitian yang diajukan oleh mitra kerja
luar negeri. Proposal penelitian ini harus dilampirkan dalam Surat Perjanjian Penelitian.
2. Personalia Penelitian: harus jelas siapa saja yang akan terlibat dalam kerjasama
penelitian tersebut dan apa saja yang menjadi tanggungjawab masing-masing
pihak/peneliti.
3. Lamanya Masa Penelitian: harus dijelaskan pula rentang waktu pelaksanaan penelitian
dan kemungkinan perpanjangannya.
4. Sumber Pendanaan: harus jelas pihak-pihak mana saja yang akan menanggung biaya
penelitian dan harus disebutkan jumlahnya. Bila melibatkan lebih dari satu pihak, maka
perlu diperinci bagian mana yang menjadi tanggung jawab pihak tertentu dan bagian
mana yang menjadi tanggung jawab pihak lainnya.
5. Kontribusi dari masing-masing pihak: harus dijelaskan secara rinci kontribusi dari
masing-masing pihak dalam penelitian. Hal ini diperlukan selain untuk menjelaskan
tanggung jawab masing-masing pihak selama pelaksanaan penelitian, juga untuk
menentukan kepemilikan kekayaan intelektual yang mungkin akan dihasilkan dalam
penelitian. Bila dalam penelitian nanti melibatkan transfer material ke pihak mitra luar
negeri dalam bentuk sumberdaya hayati dalam arti luas, maka perlu dibuatkan secara
terpisah dokumen MTA dari pihak Indonesia ke pihak asing. Contoh bentuk dokumen
MTA dapat dilihat pada Lampiran 1.
6. Diskripsi dari penelitian: dalam hal ini proposal penelitian yang telah disepakati oleh
semua pihak harus dilampirkan sebagai acuan. Bila ada kesepakatan lain dalam penelitian,
misalnya kegiatan pelatihan, maka programnya secara rinci juga perlu dilampirkan.
7. Kepemilikan Kekayaan Intelektual: hal ini menjadi isu yang sangat penting karena
menyangkut konsekuensi ekonomi bila hasil penelitian dalam kerjasama tersebut berhasil
dikomersialkan. Hal-hal yang perlu dicermati antara lain mengenai bentuk-bentuk
kekayaan intelektual apa saja yang mungkin dihasilkan, bagaimana bentuk
kepemilikannya (kepemilikan bersama, tunggal dll.), bagaimana sistem pembagian
royaltinya dan pihak mana yang akan menanggung biaya pendaftarannya. Kepemilikan
KI ini sangat terkait dengan kontribusi dari masing-masing pihak dalam kerjasama
penelitian tersebut (point 5) dan sumber pendanaannya (point 4). Aspek kepemilikan
kekayaan intelektual ini akan dibahas lebih rinci lagi dalam sub-bab di bawah.
8. Dasar hukum: perlu dijelaskan hukum mana yang akan dianut dalam perjanjian
penelitian tersebut. Dalam hal kerjasama peneliti Indonesia dengan peneliti asing, maka
hukum-hukum di Indonesia-lah yang akan diberlakukan.
9. Hak Publikasi: salah satu luaran dari penelitian adalah publikasi ilmiah. Karena itu,
masalah kepemilikan publikasi ini perlu diatur secara lebih rinci dan perlu pula dikaitkan
dengan masalah pendaftaran perlindungan KI. Untuk itu, lazimnya masalah ini diawali
dengan pengungkapan invensi dalam “Invention Disclosure Form”.
10. Lain-lain yang dianggap perlu: misalnya mengenai alamat kontak masing-masing pihak,
masalah jaminan, pemutusan kontrak, dan force majeure.
Contoh surat perjanjian penelitian yang baik dapat dilihat pada Lampiran 2.
Aspek Kepemilikan Kekayaan Intelektual
Seluruh hasil penelitian yang akan diperoleh merupakan kekayaan intelektual yang
sebagian mempunyai potensi komersial. Di bidang biologi bentuk kekayaan intelektual
sangat beragam, mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang diperoleh dalam
penelitian. Tercakup di dalamnya adalah: paten, aplikasi paten, sertifikat PVT, hak cipta, dan
semua invensi, perbaikan suatu proses, temuan yang dapat dilindungi oleh hukum formal
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
6
maupun tidak, termasuk di dalamnya adalah seluruh know-how, rahasia dagang, rencana dan
prioritas penelitian, hasil-hasil penelitian dan laporan, model komputer dan simulasi terkait,
plasma nutfah, kultur, galur sel, tanaman, bagian tanaman, biji, polen, protein, peptida,
senyawa metabolit, sekuens DNA dan RNA, gen, probe, plasmid dan informasi yang
berkaitan dengan itu.
Aspek kepemilikan KI ini dalam surat perjanjian penelitian perlu untuk dijabarkan
secara rinci didasarkan atas kontribusi dari masing-masing pihak yang bekerjasama dengan
pedoman umum sebagai berikut:
Kekayaan intelektual mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang
diperoleh dalam penelitian, baik yang dapat dilindungi melalui hukum formal (paten,
PVT, rahasia dagang, hak cipta, merek) maupun yang tidak dapat dilindungi oleh
hukum formal (know-how, informasi rahasia, dan lain-lain).
•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari kedua belah
pihak, maka kedua belah pihak harus sepakat sebagai pemilik bersama KI tersebut,
sedangkan para peneliti yang terlibat sebagai inventornya. Bila dalam KI yang baru
tersebut terdapat KI lainnya yang berasal dari salah satu pihak (yang digunakan sebagai
prior art), maka KI tersebut tetap menjadi milik pihak yang bersangkutan.
•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari hanya salah
satu pihak, maka KI tersebut menjadi milik pihak yang bersangkutan. Bila pihak yang
lain ingin menggunakan invensi tersebut, maka pihak tersebut dapat diberikan hak lisensi
dengan membayar sejumlah royalti untuk membuat, menggunakan atau menjual invensi
tersebut, namun tidak boleh melisensikannya ke pihak ketiga.
•Dalam kaitannya dengan kepemilikan KI dari materi yang dihasilkan dalam penelitian
yang dikembangkan dari plasma nutfah asal Indonesia (misalnya varietas, hibrida,
kultivar dan galur, termasuk seluruh materi propagasi), maka hak kepemilikan dari materi
tersebut tetap berada di pihak Indonesia. Sedangkan pihak luar negeri mempunyai hak
kepemilikan KI yang terkandung di dalam materi tersebut sesuai dengan kontribusinya
dalam pengembangan materi tersebut (bila ada). Komersialisasi dari materi hasil
pengembangan tersebut harus dilakukan melalui negosiasi antara pihak Indonesia sebagai
pemilik plasma nutfah dengan pihak luar negeri sebagai pemilik KI dalam pengembangan
materi tersebut.
Sebagai ilustrasi, misalnya ada suatu kerjasama antara LIPI dengan CSIRO dalam
pengembangan tanaman pisang yang tahan terhadap virus bunchy top. LIPI mempunyai
plasma nutfahnya dalam bentuk bibit pisang ambon yang rentan terhadap serangan virus
bunchy top. Dalam penelitian dan pengembangannya di LIPI, peneliti LIPI telah berhasil
mendapatkan kultivar pisang ambon yang “agak tahan” terhadap serangan virus bunchy
top melalui teknik kultur jaringan dan iradiasi (“kultivar LIPI”). Namun kultivar baru ini
masih cukup rentan terhadap serangan virus bunchy top (hanya 40% yang tahan) dan
terdapat variasi somaklonal sekitar 50% pada bibit yang dihasilkannya melalui teknik
kultur jaringan. Kultivar tersebut kemudian dikirim ke CSIRO untuk dikembangkan lebih
lanjut menggunakan teknologi rekayasa genetika yang dikembangkan oleh CSIRO.
Penelitian dan pengembangan di CSIRO ini ternyata berhasil mendapatkan kultivar
pisang ambon yang tahan virus bunchy top (80%) dengan variasi somaklonal yang cukup
rendah (10%). Nah, bagaimana dengan kepemilikan kultivar pisang ambon CSIRO ini?.
Sesuai dengan uraian di atas, “kultivar CSIRO” ini tetap menjadi milik LIPI, sedangkan
CSIRO berhak memiliki teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan kultivar
CSIRO ini. LIPI juga berhak atas teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan
“kultivar LIPI”. Jadi pada “kultivar CSIRO” ini ada kontribusi dari kedua belah pihak,
sehingga komersialisasi dari “kultivar CSIRO” ini harus dinegosiasikan oleh kedua belah
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
7
pihak. Untuk maksud tersebut perlu dibuat perjanjian lisensi penggunaan materi biologis
(Biological Materials License Agreement atau BMLA) yang disepakati kedua belah pihak.
Dalam hal ini lisensi dapat melibatkan kedua belah pihak dan/atau pihak ketiga. Di dalam
surat perjanjian penelitian perlu pula dicantumkan mengenai bentuk lisensinya (eksklusif
atau tidak, hak untuk melisensikan ke pihak ketiga), dan bentuk dari pembayaran
ROYALTI (misalnya memakai sistem pembayaran dimuka atau down payment,
menggunakan sistem persentase penjualan, dan lain-lain).
Sebagai ilustrasi kedua, misalnya kerjasama di bidang peternakan antara
Puslitbang Bioteknologi-LIPI dan Puslitbang Peternakan (Balitnak dan Balivet) dengan
Monash University dan Sydney University yang didanai oleh ACIAR untuk kegiatan
genom analisis (genotyping) pada domba ekor tipis8. Domba ekor tipis Indonesia dari
hasil penelitian sebelumnya telah memperlihatkan resistensi yang tinggi terhadap infeksi
Fasciola gigantica dan Haemonchus contortus. Penelitian tersebut bertujuan
mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab di dalam resistensi tersebut melalui
pemetaan gen dan identifikasi genom. Dalam hal ini kepemilikan gen-gen tersebut tetap
melekat pada pihak Indonesia walaupun dalam kerjasama tersebut pihak Australia lebih
banyak berperan dalam hal isolasi gen-gen tersebut dengan menggunakan teknologi yang
mereka miliki. Bila gen-gen ini kemudian diaplikasikan pada domba di Australia secara
komersial (tentunya mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar mengingat populasi
domba di Australia jauh melebihi populasi penduduknya), maka pihak Indonesia berhak
mendapatkan pembagian keuntungan yang layak dari komersialisasi ini. Sekali lagi perlu
ditekankan di sini bahwa hal-hal yang berkenaan dengan kepemilikan KI berikut upaya
komersialisasinya sangat penting untuk dicantumkan di dalam dokumen perjanjian
kerjasama penelitian secara jelas dan rinci. Posisi pihak Indonesia akan lebih kuat bila
kontribusinya tidak hanya sekedar sebagai penyedia plasma nutfah, namun turut aktif
dalam kegiatan risetnya.
Untuk menyeragamkan platform dari bentuk kerjasama penelitian dengan pihak
asing, khususnya di bidang bioprospeksi, maka Tim Koordinasi Pemberian Izin Penelitian
bagi orang asing perlu untuk mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan kerjasama
bioprospeksi yang selama ini telah dijalankan oleh berbagai institusi penelitian dan perguruan
tinggi di Indonesia. Penyeragaman platform ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan
posisi tawar-menawar (bargaining position) pihak Indonesia sebagai penyedia atau pemasok
plasma nutfah kepada pihak asing, terutama untuk plasma nutfah yang sifatnya endemik.
Penyeragaman platform ini terutama difokuskan pada hal-hal yang menyangkut kepemilikan
kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan yang sama dan adil sesuai dengan prinsipprinsip
yang tertuang dalam CBD.
Pelaksanaan bioprospeksi yang telah banyak dilakukan di Indonesia oleh berbagai
macam institusi penelitian/universitas perlu untuk dikaji dan dievaluasi untuk
menentukan platform yang seragam dalam bioprospeksi di Indonesia.
Perlu pula dibahas di sini bahwa negosiasi dengan pihak asing perlu dilakukan dalam
hal pendaftaran paten untuk invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia. Seperti yang
tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, paten tidak dapat diberikan untuk
invensi tentang semua makhluk hidup kecuali jasad renik, dan proses biologis yang esensial
untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses
8 Tappa (1998).
Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/
8
mikrobiologis9. Invensi-invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia ini di beberapa
negara seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Uni Eropa dapat diberikan
perlindungan paten. Untuk itu kerjasama dengan pihak asing di bidang pendaftaran paten
perlu pula dinegosiasikan. Hal ini penting sekali dilakukan dengan mengingat pula bahwa
pematenan invensi di bidang biologi mengharuskan pemohon untuk mendepositkan materi
biologi yang diklaim di Lembaga Koleksi Kultur yang diakui oleh Budapest Treaty10. Karena
berbagai pertimbangan yang tidak begitu jelas, hingga saat ini Indonesia belum menjadi
anggota Budapest Treaty. Hal ini tentu saja akan menyulitkan pihak Indonesia dalam hal
pematenan makhluk hidup di luar negeri bila tidak ada bantuan dari mitra kerjanya dari luar
negeri.
Di Indonesia, invensi yang berhubungan dengan perangkat lunak (software) dan
database hanya dilindungi dengan rezim hak cipta11, sedangkan di beberapa negara di luar
negeri, khususnya Amerika Serikat, invensi dalam bentuk perangkat lunak dapat dilindungi
dengan rezim paten. Perbedaan rezim perlindungan terhadap perangkat lunak ini perlu pula
untuk dibicarakan dengan mitra kerja dari luar negeri mengingat kerjasama penelitian di
bidang biologi mempunyai potensi untuk menghasilkan invensi dalam bentuk program
komputer dan database, khususnya di bidang biologi molekuler, genomik dan
bioinformatika12.
Daftar Pustaka
Bureau of S&T Cooperation-LIPI. 2000. Research Procedures for Foreign Researchers in
Indonesia.
Fritze, D. dan V. Weihs. 2001. Deposition of biological material for patent protection in
biotechnology. Applied Microbiology and Biotechnology (on-line 21 August 2001).
Grain. 1999. Bacteria become big business. Seedling, March 1999
(http://www/grain.org/publications/mar991-en.cfm).
Hilman, H. dan A. Romadoni. 2001. Pengelolaan & Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual.
Panduan Bagi Peneliti Bioteknologi. The British Council, DIFD dan ITB. 157 hal.
Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin Penelitian Bagi Orang Asing.
Maschio, T. dan T. Kowalski. 2001. Bioinformatics - a patenting view. Trends in
Biotechnology 19 (9): 334-339.
SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Penelitian
Bagi Orang Asing.
Subagyo, T. 2001. Paten Jepang yang memakai bahan dari Indonesia dan sebagian diduga
berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia. Hasil survei dari database Paten Eropa
(http://ep.espacenet.com) per 15 April 2001.
Tappa, B. 1998. Litbang bioteknologi peternakan di Puslitbang Bioteknologi-LIPI, Cibinong.
Warta Biotek 12 (1-2): 23-24.
Ten Kate, K., L. Touche dan A. Collis. 1998. Benefit-sharing case study: Yellowstone
National Park and the Diversa Corporation. 32 hal.
UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987.
UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.
UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
No comments:
Post a Comment