Situasi kepemimpinan (eksekutif, legislative maupun yudikatif) di Indonesia tengah mengalami kegundahan yang sangat meresahkan publik, bukan hanya dalam lingkup nasional, tapi juga internasional. Sebenarnya, fenomena ini hanya merupakan satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan Indonesia harus terengah-engah dan terlunta-lunta untuk menegakkan dirinya sebagai suatu bangsa yang layak untuk dihormati dalam komunitas internasional.
Mungkin yang sulit pada masa ini adalah mengajak masyarakat untuk mempercayai pemerintah. Secara sederhana saja, berbagai unjuk rasa yang dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa tapi juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya, menunjukkan ketidakpuasan dan juga ketidakpercayaan pada pemerintah. Hal lain yang layak dicermati adalah rendahnya tingkat pengikutsertaan rakyat dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan, yang lebih dikenal dengan demokratisasi. Menganggap rakyat sebagai obyek belaka untuk diatur berarti menempatkan mereka dalam posisi pasif, yang pada satu titik dapat membuat mereka menjadi apatis, namun dalam titik yang ekstrim dapat menimbulkan adanya pembangkangan. Tentunya bukan kondisi semacam ini yang diinginkan oleh kita semua, walau ternyata sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, yang kembali mencerminkan bagaimana persepsi publik mengenai birokrasi di Indonesia. Ketidakjelasan dan ketidaktransparanan proses pengambilan keputusan misalnya, membuat masyarakat selalu diliputi oleh berbagai pertanyaan, apakah memang benar bahwa kepentingan mereka selalu diprioritaskan.
Good governance sangat erat kaitannya dengan gerakan sosial yang kini sangat marak, yakni upaya menuju ke arah civil society, yang dilandasi dengan asumsi bahwa rakyat sudah jauh lebih terdidik daripada dahulu. Dengan demikian, maka dalam upaya maraih kondisi civil society yang dapat membangun bangsa bersama-sama dengan pemerintah, masa transisi ini sangat tepat untuk dijadikan batu loncatan untuk menuju ke arah adanya masyarakat yang mempercayai kebijakan pemerintah, tidak sekedar “tut wuri handayani” akan tetapi juga memiliki kemampuan memahami landasan berpikir dan perilaku pemerintah.
Salah satu hal yang seringkali mendapatkan sorotan tajam dari publik adalah tingginya tingkat dependensi pejabat publik pada key political players. Melihat betapa besarnya kekuasaan yang didelegasikan pada pemerintah ini, sangat besar kemungkinan bahwa pemilihan orang-orang yang menempati jabatan dan posisi kunci adalah yang dekat dengan penguasa tertinggi.
Selain itu yang tidak boleh dilupakan bahwa masih ada dominasi kekuasaan, yakni dominasi kekuasaan politik terhadap birokrasi ini. Bahwasanya setiap terjadi pergantian rejim maka terjadi perubahan dalam pimpinan birokrasi, merupakan suatu konvensi politik yang layak dijadikan wacana. Kondisi semacam ini menyebabkan bahwa kewajiban dan akuntabilitas seakan dikaitkan ke atas dengan kekuatan politik yang tengah berkuasa. Ditambah lagi, Pejabat tertinggi dalam suatu lembaga pemerintah bertanggungjawab hanya pada presiden, dan ini memungkinkan timbulnya celah bahwa mereka tidak bertanggungjawab pada rakyat. Kemungkinan akibatnya antara lain; pengambilan keputusan mengutamakan kepentingan politik, kebijakan dan aturan yang dibuat meletakkan rakyat tidak dalam prioritas, tingginya kemungkinan intervensi dalam pengambilan keputusan, tingginya kemungkinan perubahan kebijakan dari satu pimpinan ke pimpinan lain, yang merugikan konsistensi dan kesinambungan suatu program, peraturan kebijakan lebih bersumber pada kebebasan bertindak yang seringkali tidak mengindahkan asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik dan wajar.
Kondisi semacam ini, utamanya tanpa akuntabilitas publik akan sangat membahayakan kepentingan rakyat. Tidaklah dengan demikian berarti bahwa semua birokrasi berperilaku seperti ini, akan tetapi kecenderungan yang muncul, yang dilandasi oleh penempatan seseorang dalam jabatan tertentu lebih didasarkan pada kedekatan pada kekuasaan, pada akhirnya menjadikan pejabat karir menjadi warga negara kelas dua di lembaganya.
Saat ini diiperlukan kualifikasi jabatan, ujian penyaringan yang benar, fit and propertest bagi orang-orang yang akan masuk ke dalam jabatan baru, bukan hanya sekedar asal comot. Tidak ketinggalan, proses rekrutmen juga harus mengikuti prosedur yang benar, tidak lagi mengenal istilah ‘jabatan titipan’. Sehingga pengukuran dilakukan berdasarkan prestasi kerja, kinerjanya, dan track recordnya yang harus dipantau dan di-relay terus menerus. Bukan karena kedekatannya pada seseorang secara pribadi.
Disamping itu, menguatnya isu Putra Daerahisme dalam pengisian jabatan akan menghambat pelaksanaan pembangunan, dan juga akan merusak rasa persatuan dan kesatuan yang telah kita bangun bersama sejak jauh hari sebelum Indonesia merdeka. Pengisian formasi jabatan sering diwarnai dengan menguatnya isu putra daerah.
Isu kesukuan yang sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan di era globalisasi karena keaslian dan kesukuan tidak akan menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas. Untuk pengisian formasi jabatan hendaknya mengedepankan profesionalisme sehingga tidak terjebak pada fanatisme sempit berupa kesukuan, sebab bila hal ini yang ditonjolkan maka akan mengusik rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang telah sejak lama dibangun dan diperjuangkan bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI.
Selaiknya dengan profesionalisme akan dapat memberikan kinerja yang unggul karena pendekatan yang bersifat primordial adalah masa lalu yang harus segera ditinggalkan.Untuk menjamin agar pelaksanaan pemerintahan benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemerintah dengan mitranya DPR agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Sangat diharapkan dengan adanya independensi birokrasi dari kepentingan-kepentingan politik maka ada beberapa situasi kondusif yang diciptakan, yaitu rekrutmen dan penempatan pejabat dalam birokrasi sesuai dengan keahlian dan pengalamannya, kebijakan public yang diambil akan dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan, yang pada gilirannya diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien.
Namun demikian tetap harus diingat bahwasanya mengharapkan adanya independensi ini akan menjamin adanya Good Governance, tentunya merupakan pemikiran yang patut diluruskan. Apabila kualitas dan system birokrasinya masih dijalankan seperti saat ini, hanya sedikit perubahan yang dapat diharapkan. Sumber daya manusia yang akan ditempatkan pada posisi kunci atau sebagai pemegang jabatan sedikitnya harus:
1. mempunyai integritas dan bersih, yang nampak dari track record yang bersangkutan,
2. mempunyai kemampuan manajerial dan substantive dan juga motivasi untuk melaksanakan penyelenggaraan tugas birokrasi,
3. memiliki pemahaman yang berwawasan public service, yang mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan sebagainya,
4. mengambil keputusan secara transparan dan obyektif,
5. memperhitungkan public opinion dalam pengambilan keputusannya.
Bahkan harus diperhitungkan pula kemungkinan bahwa independensi ini kemudian diterjemahkan sebagai kebebasan yang tak terbatas (unlimited independence). Dalam kerangka mengantisipasi hal ini maka mekanisme harus ada akuntabilitas public. Benang merahnya adalah put the right man on the right place, dalam artian penempatan seseorang pada jabatan tertentu adalah berdasarkan kompetensi dan kapabilitasnya sehingga good governance dapat tercipta. Politik kekuasaan dalam bentuk bagi bagi kursi tidak layak lagi dipertahankan karena hal ini hanya akan membawa bangsa menuju jurang kehancuran dan cita-cita besar untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil dan sejahtera hanya akan menjadi mimpi di siang bolong..
(M. Ali Surakhman, Pemerhati Sosial Politik, independent research)
('Sebagai simpul, dari kerangka "Geopoloitik" buat : K. Bettinger)
1 comment:
great..
Post a Comment