Wednesday, May 27, 2009

Legenda Telor Naga


TELOR NAGA

(ASAL TERJADINYA LEMBAH KERINCI)


Disadur dari Karya : Depati Alimin
Ditulis : M. Reyhan Fadhilla Jaya Naga

Pada zaman dahulu di kaki gunung berapi atau Gunung Kerinci sekarang,hiduplah dua orang kakak beradik kembar.Usia keduanya sekitar tiga belasan tahun,sedangkan kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.Untuk dapat bertahan hidup mereka bercocok tanam ubi-ubian dan memancing ikan dekat sebuah sungai yang berair jernih disamping juga mencari gadung dirimba untuk dimasak.

Si kakak bernama Calungga dan adiknya bernama Calupat,kedua kakak beradik ini berbeda sifatnya,sang adik mempunyai kecerdasan dengan naluri yang tajam,sedang kakaknya berwatak kasar berani dan pemberang.Calungga sering memarahi Calupat,jika adiknya terlambat sedikit saja memasak makanan.Namun Calungga sangat sayang kepada adiknya dan tidak pernah memukul Calupat,maklumlah mereka berdua hidup yatim piatu,lagi pula jauh dari keramaian kampung tempat mereka berladang.

Pada suatu hari Calungga bermaksud pergi berburu ke Gunung Tujuh,disana banyak binatang buruan dan jenis-jenis burung yang rupanya indah rupanya.Calungga mengemas peralatan berburu,bahan makanan dan bersiap untuk berangkat.

“Lupat, kau tak boleh ikut aku berburu ke gunung itu, karena disana banyak bahayanya dan semuanya penunggu di tempat itu menyeramkan, “ kata Calungga kepada adiknya. Biasanya kedua kakak beradik itu berburu bersama-sama, tetapi hari ini Calungga agak lain, ia melarang adiknya ikut berburu. Calupat tak berani membantah kakaknya, takut dimarahi Calungga yang pemberang itu.

“Hati-hati ya uwo 1) nanti engkau hilang tak tentu rimbanya, Lupat takut hidup sebatangkara tak ada pembela lagi, “ pesan Calupat kepada kakaknya.

“Ah ! jangan kuatir Pat, kakakmu mempunyai mantyiko 2) batu merah yang sakti, semua hantu rimba tak berani mendekati kakakmu.” Perintah calungga tegas kepada adiknya.

………………(bersambung)

Monday, May 25, 2009

Kerinci"Magics" Traditional Dance

Gaung Sejarah Dari Lembah Dua Gunung, Meniti Tapak Naga Calupat, Calungga, Dua Mustika Merah dan Putih,
Mengores Peradaban Baru,.... yang tak pernah pudar..

Thursday, May 21, 2009

Jalur Sutra

Jalur Sutra (Hanzi tradisional: 絲綢之路; Hanzi yang Disederhanakan: 丝绸之路; pinyin: sī chóu zhī lù, bahasa Persia راه ابریشم Râh-e Abrisham) adalah sebuah jalur perdagangan melalui Asia Selatan yang dilalui oleh karavan dan kapal laut, dan menghubungkan Chang'an, Republik Rakyat Cina, dengan Antiokia, Suriah, dan juga tempat lainnya. Pengaruhnya terbawa sampai ke Korea dan Jepang.

Pertukaran ini sangat penting tak hanya untuk pengembangan kebudayaan Cina, India dan Roma namun juga merupakan dasar dari dunia modern. Istilah 'jalur sutra' pertama kali digunakan oleh geografer Jerman Ferdinand von Richthofen pada abad ke-19 karena komoditas perdagangan dari Cina yang banyak berupa sutra.

Jalur Sutra benua membagi menjadi jalur utara dan selatan begitu dia meluas dari pusat perdagangan Cina Utara dan Cina Selatan, rute utara melewati Bulgar-Kypchak ke Eropa TimurSemenanjung Crimea, dan dari sana menuju ke Laut Hitam, Laut Marmara, dan Balkan ke Venezia; rute selatan melewati Turkestan-Khorasan menuju Mesopotamia dan Anatolia, dan kemudian ke Antiokia di Selatan Anatolia menuju ke Laut Tengah atau melalui Levant ke MesirAfrika Utara. dan dan

Hubungan jalan rel yang hilang dalam Jalur Sutra diselesaikan pada 1992, ketika jalan rel internasional Almaty - Urumqi dibuka.

Wednesday, May 20, 2009

Tuesday, May 19, 2009

MENGENAL OBJEK WISATA DANAU KERINCI


Daerah Kerinci merupakan wilayah kabupaten yang terjauh jaraknya dari ibu kota Propinsi Jambi, dengan luasnya 4.200 km² atau 7,8 % dari luas Propinsi Jambi. Letak Kabupaten Kerinci adalah ujung paling Barat dari Propinsi Jambi. Secara geografis wilayah ini terletak pada koordinat antara 1º41' LS sampai 2º56' LS, dan 101º08' BT sampai 101º50' BT. pada ketinggian antara 725 m dpl sampai dengan 1500 m dpl. Batas–batas wilayahnya sebagai berikut :

- Sebelah Utara dengan Kabupaten Solok Selatan;

- Sebelah Timur dengan Kabupaten Bungo dan Kab. Merangin;

- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Merangin;

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Pesisir Selatan dan Bengkulu Utara.

Umumnya keadaan topografi Kabupaten Kerinci terdiri dari lembah dataran tinggi dari mata rantai pegunungan Bukit Barisan Sumatera. Puncak – puncak tertinggi seperti Gunung Kerinci (3.805 m dpl), Gunung Tujuh (2.690 m dpl), Gunung Raya (2.543 m dpl), dan terdapat dua buah gunung yang masih aktif yaitu Gunung Kerinci dan Gunung Sumbing di selatan. Daerah Kerinci menurut bentang alamnya dapat dibagi atas tiga bahagian yaitu :

a. Tanah pegunungan bahagian Barat;

b. Tanah pegunungan bahagian Timur;

c. Lembah dataran tinggi yang berada di tengahnya.

Menurut pakar geologi lembah Kerinci (enklave) terbentuk karena adanya letupan gunung berapi dan penurunan Bukit Barisan. Air yang terdapat di gunung – gunung di sekitar lembah, mengisi lembah ini sehingga membentuk sebuah danau besar. Dengan adanya proses yang timbul dari gejala – gejala alam selama ribuan tahun, danau besar tadi mengecil menjadi Danau Kerinci sekarang dan airnya mengalir lewat sungai Batang Merangin. Daerah ini terkena alur patahan Sumatera, dapat saja secara periodik terjadi gempa tektonik sebagai akibat gerakan bagian–bagian dari lithosfera yang mendapat tekanan horizontal berlawanan arah.

Enklave lembah Kerinci membentang sepanjang + 45 km lebar + 5 km dengan perairan yang baik lagi subur, mengelilingi Danau Kerinci yang ketinggiannya 733 m dpl. Di daerah ini banyak terdapat danau yang spesifik, antara lain danau Rawa Bento sebuah hutan rawa air tawar, danau Gunung Tujuh merupakan danau vulkanik tertinggi di Asia Tenggara (1.996 m dpl) dengan luas mencapai + 13.500 Ha dan lain – lainnya. Di Utara terdapat Gunung Kerinci (masih aktif) yang, merupakan gunung aktif tertinggi di Indonesia yang disebut ‘Atap Sumatera’, merupakan simbol daerah Kerinci.

Disamping itu terdapat pula beberapa buah danau yang menarik, antara lain yang terkenal ialah Danau Kerinci, Danau Gunung Tujuh, Danau Lingkat, dan danau-danau kecil lainnya. Sedangkan air terjun terdapat pada dua tempat, sebelah Selatan adalah Air Terjun Pancuran Gading di Pulau Tengah, dan Utara adalah Air Terjun Telun Berasap (perbatasan Kabupaten Solok Selatan). Juga ada hutan lindung yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 210.000 ha (51%) dari luas Kabupaten Kerinci. Kabupaten Kerinci adalah daerah yang berudara sejuk dan belum tercemar polusi industri, suhu berkisar antara 18° Celcius sampai 22,6° Celcius, dengan curah hujan rata-rata 2.500 mm/tahun. Penduduknya hidup dari sektor pertanian dan perkebunan yang jumlahnya sekitar 310.762 jiwa atau rata-rata kepadatan penduduk berkisar ± 74 jiwa per Km.

Danau Kerinci merupakan danau vulkanik (luas 4.200 hektar, keda!aman 110 meter), ketinggian 783 meter di atas permukaan laut. Danau tersebut berada di daerah paling Selatan dengan kelililing sepanjang 70 km. Secara administratif, kawasan danau termasuk dalam Kecamatan Danau Kerinci dan Kecamatan Keliling Danau. Usaha perikanan di Danau Kerinci menghasilkan sebanyak 780 ton ikan pertahun. Namun akhir-akhir ini terjadi penurunan hasil tangkapan ikan disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain faktor yang terlibat disebabkan oleh: a) Hilangnya tanaman Hydrilla di bawah permukaan air; b) Pengambilan ikan yang berlebihan, atau hilangnya tempat berkembang/bertelur; dan c) Pencemaran air di daerah hulunya. Hydrilla dan macrophyta lainnya yang hidup di bawah permukaan air menjadi jarang karena pencemaran pada bagian tepi danau yang dangkal. Juga berkurangnya penetrasi cahaya pada daerah yang paling dalam. Berkurangnya penetrasi cahaya mungkin disebabkan oleh menurunnya kualitas air, deposit lumpur dan eutrofikasi. Peristiwa eutrofikasi disebabkan oleh pupuk buatan, penggundulan hutan dan limbah penduduk, mungkin juga disebabkan oleh hama Enceng Gondok yang menutupi permukaan danau pada dua dekade yang lalu. Hilangnya jenis ikan langka Labeobarbus spp. (tambra dan juro) disebabkan oleh pengambilan ikan yang berlebihan, juga karena berkurangnya habitat lahan basah (karena rawa-rawa ini ditanami padi) dan adanya pendangkalan muara danau yang menghalangi pola migrasi bertelur secara alami.

Fungsi lain Danau Kerinci adalah tempat tampungan sumber daya air di Kabupaten Kerinci dan Provinsi Jambi, mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyuplai kebutuhan air didaerah sekitar Kerinci, baik untuk pertanian maupun kebutuhan air minum masyarakat, dan oleh pemerintah daerah Danau Kerinci dijadikan tujuan wisata utama untuk daerah Provinsi Jambi dan tempat berlansungnya Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK) yang diadakan setiap tahunnya. Pelaksanaan FMPDK dimulai sejak tahun 1999 sampai sekarang tahun 2005 FMPDK VI, kegiatan ini sudah menjadi event nasional berdasarkan surat persetujuan Menteri Pariwisata dan Kesenian No. S-133/MNPK/2000 tentang Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci sebagai Calender of Event Wisata Nasional. Di Sanggaran Agung terdapat fasilitas Taman Wisata Danau Kerinci sebagai pusat event nasional Festival Masyakarat Peduli Danau Kerinci terletak di tengah lembah Alam Kerinci yang jarak 22 km dari ibukota Sungai Penuh. Dari sepanjang pantai danau dapat dilihat pemandangan indah ke tengah danau dimana perahu – perahu nelayan sedang menangkap ikan, untuk memenuhi kebutuhan ikan bagi masyarakat Kerinci. Penangkapan ikan dilakukan secara tradisional, diantaranya yang unik adalah penangkapan ikan dengan menyelam yang dilakukan pada malam hari tanpa menggunakan alat bantu pernafasan (tabung oksigen). Kawasan sekeliling danau menjadi tempat rekreasi air yang menarik, seperti memancing, berenang, tempat perkemahan, dan berbagai aktivitas lain seperti, menyantap makanan khas danau yang tersedia direstoran – restoran disekitarnya, juga merupakan tempat berkumpulnya burung belibis dan tempat minum berbagai jenis satwa. Dalam kesejarahan purbakala terkenal Situs Danau Kerinci peninggalan masyarakat danau dari tradisi ‘flakes culture’ yang berasal dari 3000 – 500 tahun SM, terdapat di Desa Muak, Pondok dan Koto Agung Jujun yang sering dikunjungi oleh turis peneliti dari Belanda, Inggeris, Jerman, Swiss, dan Amerika. Bulan September 2005 yang lalu di Taman Wisata Danau Kerinci, wanita Belanda Drs. Maartje Hilterman konsultan badan internasional NC-IUCN yang berpusat di Nederlands didampingi oleh ketua LSM Kebudayaan Kerinci M. Ali Surakhman, SE. Maartje mengatakan betapa indahnya Danau Kerinci dan mengharapkan masyarakat Kerinci menjadikan danau Kerinci sebagai tujuan wisata dunia untuk masa mendatang, ia berniat datang lagi ke Kerinci tahun depan bersama calon suaminya untuk berbulan madu.

Tidaklah lengkap jika kita belum mengenal legenda Danau Kerinci. Pada zaman dahulu Calupat dan Calungga dua bersaudara kembar yatim piatu yang tinggal di kaki gunung berapi (gunung Kerinci). Mereka memiliki pusaka Merah Delima dan Batu Putih peninggalan orang tuanya. Suatu hari Calungga pergi berburu seorang diri, dalam perjalanan ia menemukan sebutir telur raksasa. Telur itu kemudian dibawa pulang hendak diperlihatkan kepada Calupat adiknya. Tapi akhirnya Calungga memutuskan untuk memakan telur itu seorang diri, setelah menyantap telur raksasa, Calungga kehausan. Ternyata kehausan Calungga berbeda. Ia meminum air sungai sekitar gunung berapi yang menyebabkan sungai menjadi kering. Tubuh Calungga lama-kelamaan berubah, memanjang dan memiliki sisik-sisik emas sebesar nyiru. Calungga berubah menjadi seekor naga raksasa dengan batu mustika merah delima di kepalanya. Untuk menguji kesaktiannya, naga Calungga memohon kepada segala dewa di bumi sakti alam Kerinci agar dapat menggenangi lembah dengan air sehingga terbentuklah danau besar. Putaran tubuh naga tersebut membentuk sebuah danau, yang sekarang disebut Danau Bento di kaki Gunung Kerinci.

Calupat adik Calungga tak kuasa hidup seorang diri, ia minta naga Calungga mengantarkannya ke perkampungan penduduk di sebelah Timur matahari terbit agar ia dapat hidup berdampingan dengan penduduk. Maka ditiup oleh sang naga sebuah muara dengan angin sakti yang sekarang ini menjadi sebuah sungai yang dinamai Sungai Muara Angin (Sungai Batang Merangin). Kemudian air menyusut karena terbawa arus naga Calungga yang menghilir ke Timur, sehingga berobah menjadi sebuah lembah yang dinamai Renah Kerinci dan sebuah danau yaitu Danau Kerinci sekarang. Pada saat kedatangan mereka dihadapan penduduk sepanjang aliran sungai besar, Calupat duduk di atas kepala naga. Maka penduduk saat itu juga langsung menobatkan Calupat sebagai raja yang bergelar Sang Hyang Jaya Naga.



Penulis

Dpt. Alimin

Artikel ini diterbitkan untuk :

MAJALAH PURNA YUDHA

Monday, May 18, 2009

Naskah Melayu Tertua Di Dunia, "Ada di Kerinci"

ULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia . Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini.

Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

"Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau' Islam.

Berdasar uji radio karbon di Wellington , Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

"Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh," kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.


Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno..

Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.

Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

"Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa," katanya.

Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.

Pendapat keempat, dengan ditemukannya "Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah" selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.

"Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure' (hukum-red) dan bukan ‘de facto' (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian," kata Kozok.

Sebenarnya naskah Tanjung Tanah pernah dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci oleh Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa Zaman Kolonial Belanda pada 1941 sebagai tambo Kerinci dan disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.

Di perpustakaan itu ada foto naskah tersebut tapi kurang baik. Voorhoeve menuliskan laporan tentang naskah yang disebutnya sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. Namun tidak sampai pada kesimpulan.


Undang-Undang dari Dharmasraya

Transliterasi dan terjemahan naskah 34 halaman itu dilakukan sejumlah ahli yang dikoordinasi oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Ternyata naskah tersebut berisi undang-undang yang dibuat di Dharmasraya (sekarang tepatnya di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat) yang diberikan kepada masyarakat Kerinci.

Dharmasraya waktu itu adalah pusat Kerajaan Malayu beragama Hindu-Buddha di bawah pemerintahan tertinggi di Saruaso (Tanah Datar) dengan raja Adityawarman. Tulisan tentang naskah kuno ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Malayu yang Tertua (Yayasan Obor Indonesia : 2006). Edisi sebelumnya dalam bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript ( Cambridge : St Catharine's College and the University Press: 2004).

Uli Kozok pernah mengikutkan kopian Naskah Tanjung Tanah pada pameran di Singapura 18 Januari hingga 30 Juni 2007 dalam pameran bertajuk "Aksara: The Passage of Malay Scrips-Menjejaki Tulisan Melayu".

Sebelumnya di Malaysia Naskah Tanjung Tanah diseminarkan di University of Malaya , Kuala Lumpur dalam acara Tuanku Abdul Rahman Conference, 14-16 September 2004. Saat itu Uli Kozok menyerahkan buku Tanjung Tanah Code of Law terbitan Cambridge University kepada Perdana Menteri Malaysia .

Sunday, May 17, 2009

Sunday, May 10, 2009

Donasi dari Microsoft untuk LSM Indonesia

(Tony Chen, President Director, Microsoft Indonesia, dan koordinator Microsoft Unlimited Potential Indonesia, Cynthia Iskandar, berfoto bersama perwakilan LSM penerima donasi software dari Microsoft)

Kwartal pertama tahun 2005, donasi sebesar USD263,525 atau sekitar IDR 2.8 miliar dalam bentuk software dan lisensi Microsoft berikan kepada 18 LSM (lembaga swadaya masyarakat) Indonesia.

Sebagai bagian dari program global Microsoft Corporation, Microsoft Indonesia mendonasikan software dan lisensinya kepada 18 LSM dengan nilai sekitar 2.8 miliar Rupiah, yang diserahkan secara simbolis dalam acara "Microsoft Software Donation Day" di hotel Grand Hyatt Jakarta, pada 19 Mei 2005.
Program yang bernama Microsoft Unlimited Potential ini telah berjalan di Indonesia sejak tahun 1998 dan terdiri dari beberapa komponen kritikal seperti:
Unlimited Potential Cash Grants
Software Donations
Unlimited Potential Community Learning Curriculum
Community Technology Support Network
Tidak tanggung-tanggung, setiap lembaga yang berhak menerima donasi software dari Microsoft akan mendapatkan mulai dari enam sampai 50 lisensi untuk sejumlah produk Microsoft--mulai dari operating system untuk workstation dan server, juga Microsoft Office, dan lain sebagainya--dan juga mendapatkan garansi dari program Software Assurance selama dua tahun.
Tujuan dari program Unlimited Potential tidak lain adalah untuk membantu LSM dalam meningkatkan produktivitas terkait dengan kegiatan kemanusiaan yang mereka lakukan, melalui penyediaan software-software yang dibutuhkan, dengan tetap menjaga "kemurnian" misi LSM itu sendiri melalui pemberian contoh baik kepada masyakat dengan menggunakan software yang berlisensi.
LSM penerima donasi software kali ini adalah Birdlife Indonesia, Biotrop, BABAD, CCLI, ICEL, ICT4D Collaboratory, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Konus, LSM Kebudayaan Kerinci, Lembaga Ekolabel Indonesia, Perkumpulan Telapak, Save The Children, Walhi Kalsel, Wetlands, Yayasan Selamatkan Teluk Balikpapan, Yayasan Bahtera Nusantara, Yayasan Silvagama, dan Yayasan Kaliandra Sejati
Penyediaan software berikut lisensinya itu sendiri merupakan hasil kerjasama Microsoft Indonesia dengan berbagai perusahaan besar seperti PT Bank Central Asia, PT Caltex Pacific Indonesia, PT Total FinaElf, PT Unocal Indonesia, dan PT Exxon Mobil. Sejak tahun 1998 sampai akhir tahun 2004, Microsoft Indonesia telah mendonasikan software berikut lisensinya kepada lebih dari 70 LSM yang bernilai sekitar USD3,047,814.

THE FORE FATHER OF MINANGKABAU



Based on the believe of the fore parents stated in "Tambo", news and ancients proverbs, it can be said that to judge "Tambo" was containing 2% the truth and 98% mithology is trully reasonable.According to Proff. Kern, the first nation came firstly to the Southern of Khatulistiwa (Minangkabau) was said "Proto Meleiers" or the old Malay, than came "Deuto Meleiers" or the Young Malay. Generally "Nusantara" once was came by nations from Campa, Kampuchea and Kochin.
And according to "Tambo" of Minangkabau, the fore father of Minangkabau was Sultan Maharajo Dirajo. Who had sailed with his followers Cati Bilang Pandai which was well known with the name Tukang Sibak Ulai, and the four skilled escort in self defence, Kuciang Siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan and Anjieng mualim. The had sailed along the Lakadewa Island passing Serindit and Langgapuri or Ceylon straight to Gold archipel and harboured in the Merapi Volcano.
Sultan Maharajo Dirajo was the son of Iskandar Zulkarnain (Alexander Grote). Alexander Grote or the Great Alexander was the greatest kingdom's king in Masedonia (Athen) 365 - 323 Bc. He was the pupil of Aristoteles 384 - 323 Bc. While Aristoteles was the pupil of plato 427 - 347 Bc. Alexander Grote married to a prnces of Ruhum (East Rome). From this married he was inherited three sons, named; Sultan Maharajo Alif, Sultan Maharajo Depang (Dipang) and Sultan Maharajo Dirajo.
Before the death of Iskandar Zulkarnain (Alexander Grote), he has assigned his son Sultan Maharajo Alif to leave for Ruhum (East Rome) to govern it, while Sultan Maharajo Dipang had been assigned to China to govern it and Sultan Maharajo Dirajo had been assigned to came to an island in the southern of Equator.As it had stated earlier, Sultan maharajo dirajo was set with his followers along Lakadewa passing Serindit or Langgapuri straight to the Gold Island or Jawa Alkibri which is now is named Sumatera (Andalas).
Among the followers there were Cati Bilang Pandai or named Tukang Sibak Ulai, and the four escort Kuciang siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan and Anjieng Mualim. The four were the champion of self defence from their own region. They were not animal although were named with animal Kuciang (Cat), Harimau (Tiger), Kambiang (Goat) and Anjieng (Dog). They were totally human being that were named is accordance to their style of skill in self defence.
After harbouring to the Andalas island the journey was straighted to the slope of Merapi Volcano and this was the beginning of the dwelling of Sultan Maharajo Dirajo in the slope of Merapi. And the first home of theirs was named Galundi Nanbaselo.Sultan Maharajo Dirajo has four doughters and a niece called Indah Juita. The four doughters of Sultan Maharajo Dirajo ware married to his followers while his niece was married to Sangsepurbha. Sangsepurbha was the name derived from the Greek word means Suprabha who came from "Kula Warga Sri Sailendra Kaundinya" from Bukit Siguntang (Mahameru). From the marriage of Sang Sepurbha and Indah Juita they were inherited a son named Dt. Perpatiah Nan Sabatang.After the death of Sang Sepurbha, the widow Indah Juita married to Cati Bilang Pandai, and from their marreid they had two sons, Dt. ketumanggungan and Dt. Suri Dirajo. Of the three sons of Indah Juita, Dt. Ketumanggungan and Dt. Perpatiah Nan Sabatang were found of goverment and politic, while Dt. Suri Dirajo was found of military (force) and it was Dt. Suri Dirajo who created the science of self defence in Minangkabau which now is well known with the name of Silek (Silat)

Thursday, May 7, 2009

MINANGKABAU


Minangkabau the greatest name of the Western of Sumatera (Sumatera Barat) to the most of people in another name of Pariangan Kingdom, established in the middle of twelve Century (1339), situated in the Southern East Slope of Merapi Volcano. This cannot be argued since the history of Minangkabau nature itself is a "Tambo" which is comfirmed by the Minangkabau people up to this time.
Most people said that "Tambo" of Minangkabau contained only fiction and so too said that it is only
contained 2% the truth, while 98% is a mythologi. Most people nowadays interprets that, the name of Minangkabau formally derived from the Bull Fighting tradition, which was begun with the fight of two buffalos, one from Swarnadwipa (Java) and the other from Pariangan, Swarnabhumi (Andalas). At that time the winner was the buffalo from Pariangan, there fore the land was named Minangkabau. "Minang" was interpreted as Menang or Win and "Kabau" is the name for buffalo in West Sumatera word.
Principally, the name of Minangkabau was existed for more than the existence of Pariangan Kingdom whose king was Adityawarman (1339 - 1376), than it was believed that the name was existed at the first time the fore parents stepped on the land arround the slope of Merapi Volcano. This could be proved by the spreading of religious in Minangkabau ;
- Budhish (Hinayana) 6 - 7 Century- Islamic (Sunnah) 670 - 730- Budhish (Mahayana) 730 - 1150- Islamic (Syi'ah) 1150 - 1803
This is can be proved either by the founding of an ancient inscription in Sriwijaya, which is written to be said;


Swasti Cri Cakrawarsita 605 Eka DacicuKlapaksa Wulan Waikasa Dapunta Hiyang Nayik DiSamwau Manalap Siddhayatra Di Saptami CulapaksaWulan Jyestha Dapunta Hiyang Marlapas Dari MinangaTamwan Mamawa Yam Wala Dua Laksa Da Nan Ko CaDua Ratus Cara Di Samwau danan Jalan SariwuTilu Ratus Sapulu Dua Wanakna Datam Di MatayapSukha Citta Di Pancami Cukla Pasa Wulan …………..Langhu Mudita Datam Marbuat Wanua ………………Criwijaya Jaya Siddhayatra Subhiksathat can be translated as follow;


congratulation on the leaving of caka (saka) year 605 on the date of 11on the half moon of waichaka, the majesty of greatest manride on the canoe set for the holly mission on the 7 of half brightof the Jyestha moon. The majesty was setfrom minang tamwan brought 20.000 soldiers with boxes2000 was set with canoes while a 1000 walked on the land302 come to the matayapon the happy day on the 5 of………..was established the town easily and happilycriwijaya was win couse of the holly mission(which couse the property)


At the inscription was clearly written the holly mission from Minanga Tamwan to Sriwijaya. Minanga means Binanga which is means River, while Tamwan or Temon is the founding, therefore the words "Minanga Tamwan" means the estuary two twin rivers, Left Kampar and Right Kampar which is well known as Muara Takus.Muara takus basically, was the center of the spread of Budha Mahayana (730 - 1150) and there was also some said that the word Minangkabau derived from the word Pinang(a) Kabu which is means "Base Land" or original land.
The existence of Minangkabau is predicted to exist since the 2nd - 3rd Century. This could be seen from the development of religious in Minangkabau. The first religion which firstly came to Minangkabau was Budhish (Hinayana) 6th - 7th Century. While Islamic firstly came on the 6th Century, and after that was vacoom since the trading monopoly between Khalifah Umayyah (670 - 730) and China Tang Dinasty (604 - 908).

Wrist bone study adds to Hobbit controversy


September 21st, 2007 noelbynature Posted in Indonesia, Paleontology, Prehistory 1 Comment »
20 September 2007 (Smithsonian Institution) - A new study on the wrist bones recovered from the homo floresiensis assembly adds extra weight to our Hobbit from Flores being an entirely new species rather than a sick, deformed human. There are a few other stories popping up today so stay tuned for more insights! It’s a really busy day at work, so hopefully I can post them all up by the end of the day.
Homo Floresiensis skull, creative commons image by SBishop
New Research Sheds Light on “Hobbit” Smithsonian-led Study Published in Science
An international team of researchers led by the Smithsonian Institution has completed a new study on Homo floresiensis, commonly referred to as the “hobbit,” a 3-foot-tall, 18,000-year-old hominin skeleton, discovered four years ago on the Indonesian island of Flores. This study offers one of the most striking confirmations of the original interpretation of the hobbit as an island remnant of one of the oldest human migrations to Asia

Saturday, May 2, 2009

archaeological campaign in Kerinci




The highland of Kerinci is situated south of the equator in the West of Sumatra. Toponym of the region is the Gunung Kerinci in the North, the highest volcano on Sumatra of 3085m and the Kerinci-lake in the South on 783 above sea level. In the past the region was an important provider of mineral resources and forest products. Gold, ivory and the luxury goods of benzoin and camphor are mentioned in Chinese, Indian and Arabic sources.
With the access to these goods for instance in the 7th century the Srivijaya Empire, situated in the lowland of Sumatra, gained an important rise as the central see emporium of the Indian Ocean. For Kerinci the oldest historical sources are not older than the 18th century. Older devices of settlement activities are the archaeological remains like ceramics, stone artefacts and numerous megaliths.