Tuesday, October 8, 2013

budaya

GAUNG RINDU DAN CINTA DARI MUARA SUNGAI BATANG HARI
(Tradisi Lisan Senandung Jolo)


Tari Sekapur Sirih Jambi, dilakukan saat penyambutan tamu
 
Masyarakat Jambi dikenal kental dengan balutan budaya melayunya. Tutur bahasanya yang sopan, santun, elok, tergambar dari berbagai budaya dan tradisi yang dimilikinya. Salah satunya adalah tradisi lisan. Beragam tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Salah satunya adalah apa yang kita kenal dengan seloko adat Jambi. “Adat selingkung negeri, undang selingkung alam” yang bermakna bahwa dalam kehidupan masyarakat Jambi berada dalam kerangka atau koridor hukum adat (adat selingkung negeri) dan hukum positif (undang selingkung alam).

Di dalam kehidupan sosial masyarakat adat Jambi mengakui pula adanya tingkatan hukum yang lebih tinggi yang berlaku di samping keberlakuan hukum adat. Dari seloko tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Ketika secara adat menemui jalan buntu maka baru mengacu kepada hukum yang lebih tinggi (undang selingkung alam).


Selain dikenal sebagai masyarakat yang kental dengan adat budaya, Jambi juga dikenal dengan masyarakatnya yang religius, ini tercermin dari hukum adat Jambi yang senantiasa berpedoman pada ketentuan agama. Berkaitan dengan sifat relegius masyarakatnya, hal ini bisa ditemui dalam seloko yang menyebutkan “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan kitabullah”. Adat bersendikan kepada agama, agama berpedoman pada kitab Allah (Alquran).
Apa yang dicontohkan di atas merupakan bagian kecil tentang kekayaan tradisi, khsusunya tradisi lisan yang menjadi kekayaan masyarakat Jambi.  Ia begitu sederhana, akan tetapi kalau dimaknai ia mempunyai nilai dan makna positif yang begitu dalam. Seloko tersebut di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang dimiliki Jambi yang mungkin saja sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang tidak akan kita temui.

Banyak lagi contoh lain dari tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Seperti ketika membicarakan tentang tradisi Senandung Jolo, maka dunia tidak bisa lepas dengan Dusun Teluk Kabupaten Muarojambi. Mengapa demikian? Karena disitulah tradisi Senandung Jolo itu muncul dan pernah hidup. Begitu juga ketika berbicara tentang tradisi Basale, kita tidak bisa lepas dengan kehidupan Suka Anak Dalam (SAD) yang masih jauh dari jangkauan kemajuan zaman.

Secara teori, tradisi dalam banyak literatur adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat. Ia bisa melekat dengan suatu budaya, bangsa maupun agama yang keberlangsungannya sangat dipengaruhi oleh sistem pewarisan yang dilakukan oleh para pendahulunya.


 
Begitu juga dengan tradisi lisan yang semakin lama semakin berkurang penuturnya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Pelaku tardisi lisan pada saat ini boleh dibilang tinggal segelintir orang. Itu pun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Karena generasi yang berkenan melanjutkan tradisi tersebut boleh dibilang sedikit sekali, karena berbagai pertimbangan yang kadang cenderung pragmatis.

Hal yang demikian merupakan tantangan berat bagi kita semua yang mengaku peduli terhadap khasanah dan nilai-nilai budaya. Ia bukan saja merupakan kekayaan bangsa Indonesia semata, akan tetapi tradisi lisan itu juga harus disadari sebagai bagian dari warisan dunia yang perlu dilestarikan keberadaannya.

Untuk itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan saat ini dalam rangka usaha menyelamatkan tradisi lisan tersebut adalah mensinergikannya dengan tradisi tulis. Dengan mensinergikan kedua tradisi tersebut,  sehingga tradisi tulisan bisa menopang tradisi lisan yang mulai kehilangan para penutur atau generasi penerus.

Artinya antara tradisi lisan dan tradisi tulisan ini bukanlah dua hal yang tidak mungkin untuk disinergikan. Bahkan ia akan saling mendukung. Ketika tradisi lisan itu mulai terancam karena berkurangnya para penutur, maka dengan tradisi tulis mungkin akan bisa membantu mengatasi hal tersebut. Tradisi lisan yang biasanya dituturkan oleh  para pelaku tradisi bisa dituangkan dalam bentuk tulisan maupun dokumentasi lainnya.

Tulisan tersebut bisa dibukukan, disimpan di CD, bahkan bisa disimpan dengan menggunakan media digital sekalipun sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan harapan tradisi lisan tersebut tetap bisa dipelajari untuk generasi yang mungkin sempat terputus karena faktor berkurangnya penutur dan persoalan ketertarikan generasi penerus terhadap tradisi tersebut.
Dengan demikian tradisi lisan tetap bisa dipelajari kapan dan di manapun mereka berada. Apa yang penulis sebut dengan usaha pelestarian tradisi, bukan sengaja hendak melestarikan tradisi dengan tetap membiarkan atau mempertahankan seperti kehidupan masyarakat SAD yang hidup dalam keterbelakangan. Bukan pula ingin mempertahankan masyarakat tradisi sebagai objek penelitian semata seperti yang terjadi selama ini. Akan tetapi bagaimana tradisi yang berlaku di dalam sistem kehidupan masyarakat tradisi itu bisa senantiasa dipelajari dan menjadi referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tradisi lisan. Di sinilah pintu masuk bagi tradisi tulisan.

Senandung Jolo

Senandung jolo pernah tenggelam selama 20 tahun. Mungkin banyak penggalan darinya yang nyaris terlupakan, dan bukan hal yang mudah untuk menghidupkan kembali seni berpantun ini. Semarak calung dan gambus pernah melampaui senandung jolo yang merupakan warisan seni Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi.

Senandung Jolo dapat diartikan menyenandungkan rangkaian pantun. Sebagian bait pantun berbahasa Melayu itu terangkai secara tetap. Namun, keindahannya justru mengalir ketika para penutur saling berbalas pantun secara spontan dengan baris-baris kata yang tidak terduga.

Pada masa lalu, senandung jolo berisikan rayuan kepada orang yang dicintai. Senandung jolo tidak hanya dilantunkan di dalam rumah atau di atas pentas, tetapi justru lebih sering muncul di pematang sawah atau di tengah kebun karet.

Senandung jolo muncul ketika para petani tengah menyadap karet, menebar benih padi, ataupun menjaring ikan di Sungai Batanghari. Sambil mengayuh sampan, mereka berpantun diiringi alat-alat musik.

Menjelang masa tanam padi, secara khusus senandung jolo dimainkan orang beramai-ramai di tepi sawah. Mereka menyebutnyanugal jolo. Ini merupakan saat yang menyenangkan, ketika musik mengalun, sementara para petani bergotong royong menebar benih padi. Keindahan alunan musik dan pantun itu berpadu dengan suara alam.

Rasa rindu

 Keindahan senandung jolo inilah yang merindukan hati trio seniman M Zuhdi, Alfian, dan Maryam. Ketiganya adalah seniman lokal yang berupaya menghidupkan kembali kesenian senandung jolo di Desa Tanjung. Perjuangan mereka membangkitkan seni ini, seingat Zuhdi, berproses sejak 1983. Dia ingat almarhum ayahnya, Hasyim, sebelum meninggal pernah berpesan agar dia tidak meninggalkan senandung jolo.

"Kami memiliki warisan seni yang sangat istimewa, tetapi selama ini kami meninggalkannya. Kami berpaling pada kesenian milik daerah lain," ujarnya. Pada 1983 Zuhdi menjual semua perangkat calung yang diperolehnya dari pengurus partai. Dia lalu mengajak Alfian dan Maryam menghidupkan kembali senandung jolo.

Mereka membuat kembali alat-alat musik untuk bersenandung yang bahannya didapat dari hutan. Hampir semua alat musik itu terbuat dari kayu mahang dan marelang, jenis kayu lokal yang sudah semakin langka. Untuk membuat alat musik senandung jolo, kulit mahang dikupas, lalu dibentuk menjadi balok-balok tanpa ukuran yang pasti, dan menghasilkan nada sir alias nada yang dihasilkan dari perkiraan atau "perasaan". Hal terpenting pada semua perangkat berjumlah tiga batang, yang mereka sebut sebagai gambang itu, adalah menghasilkan alunan musik selaras mirip kolintang.

Kayu-kayu itu juga dibentuk menjadi gendang dan gong. Dua penutur lalu melantunkan pantun saling berbalas. Membawakan senandung jolo bisa memakan waktu panjang, bahkan semalam suntuk. Itu bergantung pada kepiawaian para penutur atau jika ada penonton yang ingin ikut bersenandung.
Sanggar seni


Selama masa itu, mereka menuliskan kembali koleksi pantun yang kerap dibawakan para orang tua. Setelah itu, mereka mendokumentasikan senandung jolo dalam bentuk rekaman. Hasil rekaman mereka itulah yang sering dibawa pejabat pemerintah daerah ke ajang promosi pariwisata dan budaya.
 Menghidupkan kembali seni lawas senandung jolo bukan hal mudah di desa yang cepat akrab dengan budaya luar ini. Menurut Zuhdi, butuh sekitar 20 tahun hingga senandung jolo benar-benar bangkit. Ini ditandai dengan terbentuknya sanggar seni dan perekaman rangkaian senandung jolo yang seluruhnya mereka lakukan atas biaya sendiri.


Tidak hanya itu, Zuhdi bersama Alfian dan Maryam juga membentuk Sanggar Seni Mengorak Silo. Mereka ingin meneruskan seni senandung jolo kepada kaum muda. Sejumlah siswa sekolah dilatih bertutur serta memainkan dan membuat alat musik gambang, gong, dan gendang.
"Sekarang anak-anak kami sudah semakin lancar bersenandung jolo dan memainkan alat-alat musiknya," ujar Maryam. Jum’at (05/4/2013), misalnya, Zuhdi, Alfian, dan Maryam duduk di pentas membawakan senandung jolo di hadapan para pengundang dan penonton..
   Kepada para tamu, Alfian berpantun, "Kalau bapak naik perahu, jangan lupo bawa jalo, kalau bapak ingin tahu, inilah dio senandung jolo." "dengan cara itulah kami memperkenalkan senandung jolo kepada orang lain," ujar Alfian, dan bait-bait selanjutnya mengalir begitu saja sebagaimana alunan nada-nada sir.

Bayaran minim

Bagi Alfian, menghidupkan kembali senandung jolo sama sekali tidak untuk tujuan ekonomi. Sanggar mereka memang kerap diundang untuk tampil dalam pesta atau acara-acara budaya, tetapi nilai bayaran untuk penampilan senandung jolo tidak menjadi pertimbangan. Bahkan, hasilnya masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Alfian, Zuhdi, dan Maryam, bukanlah petani berduit banyak. Hasil panen padi mereka hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari hingga panen berikutnya. Kalaupun mereka memiliki kebun karet, luasnya tidak lebih dari 1-2 hektar.

Akan tetapi, kata Maryam, bersenandung jolo di atas pentas bagi mereka jauh lebih bernilai ketimbang bayarannya. Hal terpenting bagi dia adalah ketika semakin banyak orang menikmati senandung jolo. ”Soal bayaran tak pernah kami pikirkan. Orang mau mendengar dan menyukai senandung jolo saja, kami sudah senang. inilah kebanggaan kami," tuturnya.

Menghidupkan yang mati Suri

Sesuai tugas dan fungsi dari Pamong Budaya, adalah ”Sebagai motivator dan Fasilitator” dalam pelestarian aspek budaya didaerahnya, salah satunya , Aspek Nilai Budaya dan Tradisi yang mana, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan,  diskusi, ceramah tentang nilai budaya, mencatat data tentang: pranata sosial: sistem sosial yang khas untuk memenuhi jenis kebutuhan tersentu dan sistem budayanya (norma,hukum, dan aturan-atauran khusus, peralatan (benda - benda budaya), perubahan lingkungan budaya, corak interaksi antar budaya etnis (suku bangsa) ,asal-usul masyarakat, asal-usul nama daerah, desa, kota, dongeng,  permainan rakyat, nilai budaya dalam naskah kuno, organisasi yang bergerak di bidang nilai budaya.

Didalam memahami hal tersebut secara dalam kita mesti memikirkan bagaimana nilai-nilai tradisi tersebut dapat terus hidup dan bertahan di dalam masyarakat, dan berkelanjutan, tidak lain mesti memotivasi stake holder yang berhubungan lansung dengan tradisi tersebut, memotivasi mereka melakukan pengkaderan, pelestarian, dan penyebaran, dan membantu mereka dalam mengarahkan dalam pengembangan peningkatan pengetauhan tentang organisasi, dan tidak kalah penting mengajak institusi terkait seperti Pemerintah Daerah, Dewan Kesenian, dan Lembaga Pengiat Budaya untuk terlibat.

Disini Pamong, mengajak Pihak Dewan Kesenian dan Taman Budaya, untuk menyebarkan dan melatih tradisi lisan Senandung Jolo, pada anak-anak Sekolah Dasar, agar tradisi ini terus berlanjut dan tidak mati ditelan zaman serta arus globalisasi, bagaimanapun caranya, sangat dibutuhkan pemikiran dan kreativitas itu sendiri.

 Untuk melakukan upaya revitalisasi seni tradisi ini, mesti membangun kerjasama dan team, dan team itu sendiri, adalah masyarakat lokal yang memiliki tradisi itu sendiri, dengan strategi menumbuhkan kemauan, minat dan meniupkan rasa cinta dan kebanggaan akan tradisi mereka, dengan demikian, nilai-nilai kearifan yang tertanam didalamnya dapat terjaga dan hidup.


Biodata Penulis:



Redaktur Harian, Majalah Mahasiswa PROKLAMATOR-Universitas Bung Hatta, Padang 1995-1998. Asisten Peneliti “Het Verbond met de Tijger visies op mensenetende dieren in Kerinci” Dr, Jet Bakels Central Non Western Studies (CNWS) Universiteit Leiden-Rijks Universiteit Leiden-The Netherlands 1997-1999, Asisten Peneliti Prof. Dr. Reimar Schefold, antropology Universiteit Leiden-Rijks Universiteit Leiden-The Netherlands 1997-1998, Ketua Pelaksana Proyek Penelitian dan Pemugaran Arsitechture Traditional Kerinci Royal Netherlands of Arts and Sciences dan Universiteit Leiden 1999-2000, Asisten Peneliti untuk “linguistik dan sastra lisan Kerinci” Departemen Antropology, Yale University-USA 2000-2001, Wartawan, Reporter wilayah Jambi. Mingguan Berita MERAPI, Padang 1999 - 2002, Penangungjawab penelitia Perlindungan Konsumen Air Minum pada PDAM- Sumatera Barat dan Jambi.Anne Fransenfond Consumentbond-Belanda 2000-2001, Penanggung Jawab Program Penyelamatan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat melalui pendekatan Kebudayaan NOVIB-Belanda, FADO-RI Swedia, dan NGO-For The Culture of Kerinci – Indonesia 2002-2003, Staff peneliti “Archeology Project Kerinci On Sumatra” Freiburg University - Germany 2003 - 2004, Penangungjawab program “Pelestaraian Taman Nasional Kerinci Seblat Sebagai Warisan Dunia” The Rufford Foundation - England 2004-2005, Penangungjawab program Strengthening The System of Traditional Knowledge on The Conservation of Lake Kerinci, Ladeh Panjang and Rawa Bento IUCN.NL/SWP Small Grants Program  - IUCN The Netherlands 2005-2008, Kontributor Freelands Media Elektronik Allvoice CNN-Allvoice 2008-2009, Freeland research for traditional culture 2010-2011, Chief NGO-For the Culture of Kerinci 1998- , Pamong Budaya Kemendikbud 2012– .

No comments:

Post a Comment