1. Latar Belakang
A. Kebijakan Pengelolaan SDA oleh Orba
Kebijakan pembangunan dengan pendekatan Top Down yang digunakan oleh pemerintah dimasa Orde Baru
disadari telah nimbulkan persoalan-persoalan politik ekonomi, dan sosial budaya
ditengah masyarakat. Pendekatan Top Down tidak memberikan peluang bagi
masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan,
khususnya dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) telah menapikan hak-hak
politik masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang berada didalam dan
disekitar SDA. Disisi lain keberpihakan pemerintah yang begitu kentara kepada
modal dengan dalih peningkatan devisa negara telah menyebabkan SDA yang ada
dieksploitasi dengan maksimal tanpa memperhatikan kaidah-kaidah kelestaraian
Ekosistem dan SDA itu sendiri.
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 2000,
menjelasakan bahwa indonesia telah kehilangan lebih dari separuh kawasan hutan
tropisnya selama kurun waktu 1970-an hingga akhir kurun waktu 1999. Bahkan diprediksi
bahwa pulau Sumatera akan kehilangan seluruh tutupan kawasan hutan tropisnya
pada tahun 2005 dan kemudian akan disusul oleh pulau Kalimantan pada tahun
2010. Kondisi ini ironis sekali dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
berada di dalam dan disekitar kawasan hutan, karena berdasarkan survey yang
dilakukan oleh pemerintah, angka kemiskinan yang tertingi justru berada
dikawasan pedesaan, khususnya desa-desa yang berada didalam dan disekitar
sumber daya hutan.
Tidak adanya pelibatan masyarakat dalam perencanaan pengelolaan SDA
khususnya Sumber daya hutan (SDH) menyebabkan masayrakat mengalami persoalan
persoalan yang sangat mendasar seperti :
- Tersingkirnya hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan yang telah menjadi bagian kehidupannya secara turun menurun.
- tidak adanya perhatian serius dari penentu kebijakan dalam memahami, menemukan dan mencari solusi yanga adil terhadap masalah pengelolaan sumberdaya alam.
- Kurangnya kepedulian dari pemerintah dan perusahan-perusahaan swasta yang berada disekitar SDA terhadap keberadaan dan hak-hak adat masyarakat adat disekitarnya.
- Lemahnya kedudukan masyarakat adat/lokal (asli) dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah dan nasional serta kurangnya pemahaman mereka tentang posisinya dalam sistem pemerintahan dan perudangan-undangan.
- Munculnya konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal/adat dengan perusahaan swasta dan pemerintah.
- Munculnya konflik horizontal antara warga asli dan warga pendatang (realoksi/transmigrasi)
- Lunturnya nilai-nilai kearaifan tradisional lokal kerena kurang mendapat tempat dalam pengelolaan SDA.
B. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan SDA di
Era Reformasi.
Menyadari bahwa kelestarian SDA Indonesia berada dipinggir jurang
kehancuran serta kesadaran akan arti pentingnya pelibatan masyarakat dalam
perencanaan pembangunan maka dibuatkan regulasi oleh pemerintah untuk memberikan
ruang /kesempatan kepada masyarakat untuk dapat turut berpartisipasi dalam
perencanaan pembangunan nasional antara lain ;
- UU No 41 tahun 1999 tentang pokok-pokok kehutanan.
Undang-undangan ini memberikan peluang bagi pengakuan
hak-hak masyarakat adat/ulayat dengan memberikan pengakuan terhadap adanya
kawasan Hutan Adat/Ulayat, HKM dan Desa. Dengan kata lain UU ini meberikan
peluang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan SDH.
- UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
UU ini mengatur tentang perimbangan keuangan dan kewenangan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Otonomi Daerah). Dengan demikian
terbuka pula peluang bagi Pemda untuk menentukan sendiri startegi perencanaan
pengelolaan dan pemenfaatan SDA yang ada didalam wilayah Administratifnya. Dalam
UU ini juga dijelaskan adanya otonomi desa, dengan kata lain Pemerintah Desa
diberikan pula kewenangan untuk menentukan sendiri tata kelola keruangan
wilayah desanya untuk memperoleh Penghasilan Asli Desa (PADes).
- UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU ini disusun sebagai UU pengganti UU 22 tahun 1999 dengan tujuan
yang sama yaitu untuk mengatur perimbangan keuangan dan kewenangan natara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Otonomi Daerah/Otoda). Dalam UU ini dijelaskan bahwa desa diberikan
kewenangan untuk bisa memanfaatkan potensi SDAnya melalui pembentukan Badan
Usaha Miliki Desa (BUMDes). (Pasal 213).
Secara tidak langsung ini berarti bahwa desa telah diberikan kewenangan untuk
mengatur sendiri perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan SDA yang ada dalam
wilayah administrasinya melalui pembentukan BUMDes.
2. Partisifasi Masyarakat Dalam Perencanaan Ruang
Untuk dapat mengelolaan SDA dengan baik maka dibutuhkan sebuah perencanaan
pengelolaan dan pemanfaatan yang baik pula. Sebuah perencaan pembangunan daerah
yang baik mewajibkan daerah untuk memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Penyusunan RTRW ini bertujuan untuk menggali potensi wilayah sebagai informasi
kunci dalam menyusun rencana pembangunan daerah. Dari sisi inilah masyarakat
melalui Desa mendapat ruang dan peluang untuk secara aktif turut berperan dalam
penyusunan RTRW. Dasar pemikirannya adalah :
- Desa adalah bagian terkecil dari sistem perintahan yang berlaku di Indonesia.
- Potensi SDA terbesar berada di wilayah Administrasi Desa.
- Desa memiliki kewenangan untuk mengelola SDA nya sendiri melalui BUMDes seperti yang dijelaskan dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- Desa atau masyarakat desa memiliki pengetahuan yang baik dan luas tentang potensi SDA yang ada diwilayah Administrasinya.
Dengan adanya pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan RTRW daerah melalui
fasilitasi penyusunan RTR Desa maka akan terbangun sinergi antara rencana
pembangunan desa dengan daerah dan nasional dengan demikian maka akan turut
menyelesaikan beberapa persolaan pengelolan SDA diatas yang telah ditimbulkan
selama era Orba.
4. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat Dalam
Perencanaan Ruang.
Beberapa prinsip yang harus dipegang oleh parapihak dalam pelibatan masyarakat
dalam penyusunan tataruang antara lain :
- Pengakuan terhadap hak-hak politik, ekonomi, sosbud dan hak Ulayat masyarakat lokal/adat.
- Kesetaraan peran dan kepentingan antara Pemerintah daerah dan Desa.
- Kesadaran bahwa Rencana Ruang Desa merupakan bagian dari Rencana Ruang Daerah.
- Pihak lain/ luar desa (Pemerintah, LSM dsb) hanya berperan sebagai mediator dan fasilitator dengan masayrakat adat/ desa sebagai aktor utamanya.
5. Bentuk Rencana Ruang Desa.
Untuk dapat mengelolaan dan memanfaatkan potensi SDA dengan baik maka Desa
haruslah memiliki 3 hal.
- Peta Administrasi desa (lengkap).
Yang dimaksud dengan peta adminitrasi desa lengkap
adalah peta administrasi desa yang dilengkapi dengan informasi tentang tapal
batas desa yang dilengkapi dengan titik koordinat, legenda /keterangan peta
serta ukuran skala. Peta ini berguna untuk menghindari konflik penguasaan lahan
dan SDA antara Desa dengan desa-desa sekitarnya, Pemerintah daerah dan wilayah/kawasan
yang peruntukanya masih menjadi domainnya pemerintah pusat.
- Peta Potensi Sumber Daya Alam Desa.
Peta ini digunakan sebagai bahan informasi
kunci dalam menentukan lokasi dan besarnya potensi SDA yang dimiliki dan bisa
dikelola serta dimanfaatkan oleh desa itu sendiri malalui BUMDes maupun dengan
cara bekerjasama dengan pemerintah daerah ataupun pihak lain.
- Peta Rencana Tata Ruang Pembangunan Desa.
Peta ini memuat informasi tentang Rencana
Pengelolaan dan Pemafaatan potensi SDA yang terdapat didesa yang telah
dipetakan kedalam Petakan sebelumnya untuk perencanaan jangka pendek, menengah
dan jangka panjang. Peta ini haruslah yang kemudian haruslah sinergis dengan
rencana Pembangunan Daerah
No comments:
Post a Comment