Thursday, May 7, 2009

Wrist bone study adds to Hobbit controversy


September 21st, 2007 noelbynature Posted in Indonesia, Paleontology, Prehistory 1 Comment »
20 September 2007 (Smithsonian Institution) - A new study on the wrist bones recovered from the homo floresiensis assembly adds extra weight to our Hobbit from Flores being an entirely new species rather than a sick, deformed human. There are a few other stories popping up today so stay tuned for more insights! It’s a really busy day at work, so hopefully I can post them all up by the end of the day.
Homo Floresiensis skull, creative commons image by SBishop
New Research Sheds Light on “Hobbit” Smithsonian-led Study Published in Science
An international team of researchers led by the Smithsonian Institution has completed a new study on Homo floresiensis, commonly referred to as the “hobbit,” a 3-foot-tall, 18,000-year-old hominin skeleton, discovered four years ago on the Indonesian island of Flores. This study offers one of the most striking confirmations of the original interpretation of the hobbit as an island remnant of one of the oldest human migrations to Asia

Saturday, May 2, 2009

archaeological campaign in Kerinci




The highland of Kerinci is situated south of the equator in the West of Sumatra. Toponym of the region is the Gunung Kerinci in the North, the highest volcano on Sumatra of 3085m and the Kerinci-lake in the South on 783 above sea level. In the past the region was an important provider of mineral resources and forest products. Gold, ivory and the luxury goods of benzoin and camphor are mentioned in Chinese, Indian and Arabic sources.
With the access to these goods for instance in the 7th century the Srivijaya Empire, situated in the lowland of Sumatra, gained an important rise as the central see emporium of the Indian Ocean. For Kerinci the oldest historical sources are not older than the 18th century. Older devices of settlement activities are the archaeological remains like ceramics, stone artefacts and numerous megaliths.

Sunday, April 26, 2009

Kerinci Archeology Haritage

Kerinci Archeology Exspeditions



Pada tahun 1939 Van der Hoop mengumpulkan temuan permukaan berupa alat serpih obsidian di sekitar Danau Gadang Estate, dekat Danau Kerinci. Menurut van Heekeren, alat serpih dari tepi danau tersebut lebih besar daripada alat serpih bilah dari gua-gua di Merangin (1972:139). Alat serpih tersebut termasuk mikrolit, tetapi bentuknya tidak geometris seperti alat mikrolit pada umumnya (Soejono,1993:182).
Dataran tinggi Kerinci dapat dikatakan merupakan kawasan pedalaman yang jauh dari jalur perdagangan maritim. Selain itu juga bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga menghambat mobilitas horisontal. Namun, ternyata kawasan tersebut tidak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah benda keramik Cina dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga benda keramik tersebut berupa bejana penjenazahan dari dinasti Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari dinasti Han (abad ke-1 – 3 M), dan guci tempat anggur bertutup dari dinasti Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kebudayaan Hindu-Buda pun hampir tidak terlihat di Kerinci dan Merangin. Hingga kini belum ditemukan situs-situs Hindu-Buda di kedua wilayah tersebut, tetapi di Kerinci ditemukan arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran kecil (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).
Keramik Cina dari dinasti Sung (960 – 1270 M) banyak ditemukan di dataran tinggi Kerinci, dan daerah lembah kaki Gunung Raya . Temuan tersebut membuktikan bahwa ketika di dataran rendah Jambi berkembang pesat kerajaan Malayu bercorak budis, di dataran tinggi Jambi bertahan kehidupan bercorak tradisi megalitik. Bahkan tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci bertahan hingga kedatangan Islam. Tradisi megalitik di kawasan tersebut tampaknya baru berakhir pada abad ke-18,
Masyarakat bercorak tradisi megalitik di dataran tinggi Kerinci mungkin sekali menghuni lahan di sekitar batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil atau batu larung. Bukti-bukti hunian di sekitar batu megalitik ditemukan dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit adalah pecahan tembikar yang merupakan bukti pemukiman.
Kehidupan bercorak megalitik di dataran tinggi Kerinci telah mengenal pula penguburan dengan wadah tempayan tanah liat sebagaimana di dataran tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di desa Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, ditemukan tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, tetapi juga puluhan tempayan tanah liat insitu di suatu tempat yang berjarak sekitar 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tidak utuh karena pengaruh erosi dan aktivitas manusia sekarang yang menghuni situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, arang yang ditemukan dalam tempayan diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 -- 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 -- 1120).
Banyak misteri yang belum terungkap di lembah Kerinci, ada suatu mata rantai terputus yang belum ditemukan oleh para ahli archelogy dan history, yang hanya mendapati sebagian dari bukti perjalanan peradaban, karena mata rantai tersebut sangat terkait dengan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat sekarang, pola hidup yang membentuk karateristik masyarakat itu sendiri. (..... kita akan bahas lagi minggu depan)

Thursday, April 23, 2009






Kerinci traditional architect and motif foto by : M. Ali S