GAUNG RINDU DAN CINTA DARI MUARA SUNGAI BATANG HARI
(Tradisi
Lisan Senandung Jolo)
|
Di dalam
kehidupan sosial masyarakat adat Jambi mengakui pula adanya tingkatan hukum
yang lebih tinggi yang berlaku di samping keberlakuan hukum adat. Dari seloko
tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada dalam kehidupan
masyarakat terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Ketika secara adat menemui
jalan buntu maka baru mengacu kepada hukum yang lebih tinggi (undang selingkung alam).
Selain dikenal
sebagai masyarakat yang kental dengan adat budaya, Jambi juga dikenal dengan
masyarakatnya yang religius, ini tercermin dari hukum adat Jambi yang
senantiasa berpedoman pada ketentuan agama. Berkaitan dengan sifat relegius
masyarakatnya, hal ini bisa ditemui dalam seloko yang menyebutkan “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan
kitabullah”. Adat bersendikan kepada agama, agama berpedoman pada kitab
Allah (Alquran).
Apa yang
dicontohkan di atas merupakan bagian kecil tentang kekayaan tradisi, khsusunya
tradisi lisan yang menjadi kekayaan masyarakat Jambi. Ia begitu
sederhana, akan tetapi kalau dimaknai ia mempunyai nilai dan makna positif yang
begitu dalam. Seloko tersebut di atas merupakan bagian dari tradisi lisan yang
dimiliki Jambi yang mungkin saja sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang
tidak akan kita temui.
Banyak lagi
contoh lain dari tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Jambi. Seperti
ketika membicarakan tentang tradisi Senandung Jolo, maka dunia
tidak bisa lepas dengan Dusun Teluk Kabupaten Muarojambi. Mengapa demikian?
Karena disitulah tradisi Senandung Jolo itu muncul dan pernah hidup. Begitu
juga ketika berbicara tentang tradisi Basale, kita tidak bisa lepas dengan
kehidupan Suka Anak Dalam (SAD) yang masih jauh dari jangkauan kemajuan zaman.
Secara teori,
tradisi dalam banyak literatur adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan sejak
lama dan menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat. Ia bisa melekat
dengan suatu budaya, bangsa maupun agama yang keberlangsungannya sangat
dipengaruhi oleh sistem pewarisan yang dilakukan oleh para pendahulunya.
|
Begitu juga dengan tradisi lisan yang semakin lama
semakin berkurang penuturnya karena tergerus oleh perkembangan zaman. Pelaku
tardisi lisan pada saat ini boleh dibilang tinggal segelintir orang. Itu pun
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Karena generasi yang berkenan
melanjutkan tradisi tersebut boleh dibilang sedikit sekali, karena berbagai
pertimbangan yang kadang cenderung pragmatis.
Hal yang demikian
merupakan tantangan berat bagi kita semua yang mengaku peduli terhadap khasanah
dan nilai-nilai budaya. Ia bukan saja merupakan kekayaan bangsa Indonesia
semata, akan tetapi tradisi lisan itu juga harus disadari sebagai bagian dari
warisan dunia yang perlu dilestarikan keberadaannya.
Untuk itu, salah
satu alternatif yang bisa dilakukan saat ini dalam rangka usaha menyelamatkan
tradisi lisan tersebut adalah mensinergikannya dengan tradisi tulis. Dengan
mensinergikan kedua tradisi tersebut, sehingga tradisi tulisan bisa
menopang tradisi lisan yang mulai kehilangan para penutur atau generasi
penerus.
Artinya antara
tradisi lisan dan tradisi tulisan ini bukanlah dua hal yang tidak mungkin untuk
disinergikan. Bahkan ia akan saling mendukung. Ketika tradisi lisan itu mulai
terancam karena berkurangnya para penutur, maka dengan tradisi tulis mungkin
akan bisa membantu mengatasi hal tersebut. Tradisi lisan yang biasanya
dituturkan oleh para pelaku tradisi bisa dituangkan dalam bentuk tulisan
maupun dokumentasi lainnya.
Tulisan tersebut
bisa dibukukan, disimpan di CD, bahkan bisa disimpan dengan menggunakan media
digital sekalipun sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan harapan tradisi
lisan tersebut tetap bisa dipelajari untuk generasi yang mungkin sempat
terputus karena faktor berkurangnya penutur dan persoalan ketertarikan generasi
penerus terhadap tradisi tersebut.
Dengan demikian
tradisi lisan tetap bisa dipelajari kapan dan di manapun mereka berada. Apa
yang penulis sebut dengan usaha pelestarian tradisi, bukan sengaja hendak
melestarikan tradisi dengan tetap membiarkan atau mempertahankan seperti
kehidupan masyarakat SAD yang hidup dalam keterbelakangan. Bukan
pula ingin mempertahankan masyarakat tradisi sebagai objek penelitian semata
seperti yang terjadi selama ini. Akan tetapi bagaimana tradisi yang berlaku di
dalam sistem kehidupan masyarakat tradisi itu bisa senantiasa dipelajari dan
menjadi referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan
dengan tradisi lisan. Di sinilah pintu masuk bagi tradisi tulisan.
Senandung
Jolo
Senandung jolo pernah tenggelam
selama 20 tahun. Mungkin banyak penggalan darinya yang nyaris terlupakan, dan
bukan hal yang mudah untuk menghidupkan kembali seni berpantun ini. Semarak
calung dan gambus pernah melampaui senandung jolo yang merupakan warisan seni
Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi.
Senandung Jolo
dapat diartikan menyenandungkan rangkaian pantun. Sebagian bait pantun
berbahasa Melayu itu terangkai secara tetap. Namun, keindahannya justru
mengalir ketika para penutur saling berbalas pantun secara spontan dengan
baris-baris kata yang tidak terduga.
Pada masa lalu,
senandung jolo berisikan rayuan kepada orang yang dicintai. Senandung jolo
tidak hanya dilantunkan di dalam rumah atau di atas pentas, tetapi justru lebih
sering muncul di pematang sawah atau di tengah kebun karet.
Senandung jolo
muncul ketika para petani tengah menyadap karet, menebar benih padi, ataupun
menjaring ikan di Sungai Batanghari. Sambil mengayuh sampan, mereka berpantun
diiringi alat-alat musik.
Menjelang masa
tanam padi, secara khusus senandung jolo dimainkan orang beramai-ramai di tepi
sawah. Mereka menyebutnyanugal jolo. Ini merupakan saat yang
menyenangkan, ketika musik mengalun, sementara para petani bergotong royong
menebar benih padi. Keindahan alunan musik dan pantun itu berpadu dengan suara
alam.
Rasa
rindu
Keindahan
senandung jolo inilah yang merindukan hati trio seniman M Zuhdi, Alfian, dan
Maryam. Ketiganya adalah seniman lokal yang berupaya menghidupkan kembali
kesenian senandung jolo di Desa Tanjung. Perjuangan mereka membangkitkan seni
ini, seingat Zuhdi, berproses sejak 1983. Dia ingat almarhum ayahnya, Hasyim,
sebelum meninggal pernah berpesan agar dia tidak meninggalkan senandung jolo.
"Kami
memiliki warisan seni yang sangat istimewa, tetapi selama ini kami
meninggalkannya. Kami berpaling pada kesenian milik daerah lain," ujarnya.
Pada 1983 Zuhdi menjual semua perangkat calung yang diperolehnya dari pengurus
partai. Dia lalu mengajak Alfian dan Maryam menghidupkan kembali senandung
jolo.
Mereka membuat
kembali alat-alat musik untuk bersenandung yang bahannya didapat dari hutan.
Hampir semua alat musik itu terbuat dari kayu mahang dan marelang, jenis kayu
lokal yang sudah semakin langka. Untuk membuat alat musik senandung jolo, kulit
mahang dikupas, lalu dibentuk menjadi balok-balok tanpa ukuran yang pasti, dan
menghasilkan nada sir alias nada yang dihasilkan dari
perkiraan atau "perasaan". Hal terpenting pada semua perangkat
berjumlah tiga batang, yang mereka sebut sebagai gambang itu, adalah
menghasilkan alunan musik selaras mirip kolintang.
Kayu-kayu itu
juga dibentuk menjadi gendang dan gong. Dua penutur lalu melantunkan pantun
saling berbalas. Membawakan senandung jolo bisa memakan waktu panjang, bahkan
semalam suntuk. Itu bergantung pada kepiawaian para penutur atau jika ada
penonton yang ingin ikut bersenandung.
Sanggar
seni
Selama masa itu, mereka menuliskan kembali koleksi pantun yang kerap dibawakan para orang tua. Setelah itu, mereka mendokumentasikan senandung jolo dalam bentuk rekaman. Hasil rekaman mereka itulah yang sering dibawa pejabat pemerintah daerah ke ajang promosi pariwisata dan budaya. Menghidupkan kembali seni lawas senandung jolo bukan hal mudah di desa yang cepat akrab dengan budaya luar ini. Menurut Zuhdi, butuh sekitar 20 tahun hingga senandung jolo benar-benar bangkit. Ini ditandai dengan terbentuknya sanggar seni dan perekaman rangkaian senandung jolo yang seluruhnya mereka lakukan atas biaya sendiri.
Tidak hanya itu, Zuhdi bersama Alfian dan Maryam juga membentuk Sanggar Seni Mengorak Silo. Mereka ingin meneruskan seni senandung jolo kepada kaum muda. Sejumlah siswa sekolah dilatih bertutur serta memainkan dan membuat alat musik gambang, gong, dan gendang. |
"Sekarang
anak-anak kami sudah semakin lancar bersenandung jolo dan memainkan alat-alat
musiknya," ujar Maryam. Jum’at (05/4/2013), misalnya, Zuhdi, Alfian, dan
Maryam duduk di pentas membawakan senandung jolo di hadapan para pengundang dan
penonton..
Kepada para tamu, Alfian berpantun, "Kalau bapak naik perahu,
jangan lupo bawa jalo, kalau bapak ingin tahu, inilah dio senandung jolo."
"dengan cara itulah kami memperkenalkan senandung jolo kepada orang
lain," ujar Alfian, dan bait-bait selanjutnya mengalir begitu saja
sebagaimana alunan nada-nada sir.
Bayaran minim
Bagi Alfian,
menghidupkan kembali senandung jolo sama sekali tidak untuk tujuan ekonomi. Sanggar mereka memang kerap diundang
untuk tampil dalam pesta atau acara-acara budaya, tetapi nilai bayaran untuk
penampilan senandung jolo tidak menjadi pertimbangan. Bahkan, hasilnya masih
jauh dari mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Alfian, Zuhdi,
dan Maryam, bukanlah petani berduit banyak. Hasil panen padi mereka hanya cukup
untuk kebutuhan makan sehari-hari hingga panen berikutnya. Kalaupun mereka
memiliki kebun karet, luasnya tidak lebih dari 1-2 hektar.
Akan tetapi, kata
Maryam, bersenandung jolo di atas pentas bagi mereka jauh lebih bernilai
ketimbang bayarannya. Hal terpenting bagi dia adalah ketika semakin banyak
orang menikmati senandung jolo. ”Soal bayaran tak pernah kami pikirkan. Orang mau
mendengar dan menyukai senandung jolo saja, kami sudah senang. inilah
kebanggaan kami," tuturnya.
Menghidupkan yang mati Suri
Sesuai
tugas dan fungsi dari Pamong Budaya, adalah ”Sebagai motivator dan Fasilitator”
dalam pelestarian aspek budaya didaerahnya, salah satunya , Aspek
Nilai Budaya dan Tradisi yang
mana, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, diskusi, ceramah tentang nilai budaya, mencatat
data tentang: pranata sosial: sistem sosial yang khas untuk memenuhi jenis
kebutuhan tersentu dan sistem budayanya (norma,hukum, dan aturan-atauran
khusus, peralatan (benda - benda budaya), perubahan lingkungan budaya, corak
interaksi antar budaya etnis (suku bangsa) ,asal-usul masyarakat, asal-usul
nama daerah, desa, kota, dongeng,
permainan rakyat, nilai budaya dalam naskah kuno, organisasi yang
bergerak di bidang nilai budaya.
Didalam memahami
hal tersebut secara dalam kita mesti memikirkan bagaimana nilai-nilai tradisi
tersebut dapat terus hidup dan bertahan di dalam masyarakat, dan berkelanjutan,
tidak lain mesti memotivasi stake holder yang berhubungan lansung dengan
tradisi tersebut, memotivasi mereka melakukan pengkaderan, pelestarian, dan
penyebaran, dan membantu mereka dalam mengarahkan dalam pengembangan
peningkatan pengetauhan tentang organisasi, dan tidak kalah penting mengajak
institusi terkait seperti Pemerintah Daerah, Dewan Kesenian, dan Lembaga
Pengiat Budaya untuk terlibat.
Disini
Pamong, mengajak Pihak Dewan Kesenian dan Taman Budaya, untuk menyebarkan dan
melatih tradisi lisan Senandung Jolo, pada anak-anak Sekolah Dasar, agar
tradisi ini terus berlanjut dan tidak mati ditelan zaman serta arus
globalisasi, bagaimanapun caranya, sangat dibutuhkan pemikiran dan kreativitas itu sendiri.
Untuk melakukan
upaya revitalisasi seni tradisi ini, mesti membangun kerjasama dan team, dan
team itu sendiri, adalah masyarakat lokal yang memiliki tradisi itu sendiri,
dengan strategi menumbuhkan kemauan, minat dan meniupkan rasa cinta dan
kebanggaan akan tradisi mereka, dengan demikian, nilai-nilai kearifan yang
tertanam didalamnya dapat terjaga dan hidup.
Biodata Penulis:
Redaktur Harian, Majalah Mahasiswa
PROKLAMATOR-Universitas Bung Hatta, Padang 1995-1998. Asisten Peneliti “Het
Verbond met de Tijger visies op mensenetende dieren in Kerinci” Dr, Jet Bakels
Central Non Western Studies (CNWS) Universiteit Leiden-Rijks Universiteit
Leiden-The Netherlands 1997-1999, Asisten Peneliti Prof. Dr. Reimar Schefold,
antropology Universiteit Leiden-Rijks Universiteit Leiden-The Netherlands
1997-1998, Ketua
Pelaksana Proyek Penelitian dan Pemugaran Arsitechture Traditional Kerinci Royal Netherlands of Arts
and Sciences dan Universiteit Leiden 1999-2000, Asisten
Peneliti untuk “linguistik dan sastra lisan Kerinci” Departemen Antropology,
Yale University-USA 2000-2001, Wartawan, Reporter wilayah Jambi. Mingguan Berita MERAPI, Padang 1999 -
2002, Penangungjawab
penelitia Perlindungan Konsumen Air Minum pada PDAM- Sumatera Barat dan
Jambi.Anne Fransenfond Consumentbond-Belanda 2000-2001, Penanggung Jawab
Program Penyelamatan Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat melalui pendekatan
Kebudayaan NOVIB-Belanda, FADO-RI Swedia, dan NGO-For The Culture of Kerinci –
Indonesia 2002-2003, Staff peneliti “Archeology Project Kerinci On Sumatra”
Freiburg University - Germany 2003 - 2004, Penangungjawab program “Pelestaraian
Taman Nasional Kerinci Seblat Sebagai Warisan Dunia” The Rufford Foundation -
England 2004-2005, Penangungjawab program Strengthening The System of
Traditional Knowledge on The Conservation of Lake Kerinci, Ladeh Panjang and
Rawa Bento IUCN.NL/SWP Small Grants
Program - IUCN The Netherlands 2005-2008, Kontributor
Freelands Media Elektronik Allvoice CNN-Allvoice 2008-2009, Freeland research
for traditional culture 2010-2011, Chief NGO-For the Culture of Kerinci 1998- ,
Pamong Budaya Kemendikbud 2012– .
No comments:
Post a Comment