Wednesday, November 16, 2011

ASPEK-ASPEK HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PENYUSUNAN PERJANJIAN PENELITIAN DENGAN PIHAK ASING DI BIDANG BIOLOGI


Pendahuluan

Akhir-akhir ini minat para peneliti asing di bidang biologi untuk meneliti di Indonesia

semakin meningkat. Hal ini sejalan dengan perkembangan yang sangat pesat di bidang

biologi modern, terutama dalam hal bioprospeksi. Diperkirakan akan semakin banyak

sampel/spesimen flora dan fauna yang akan dibawa ke luar Indonesia dan diduga tidak hanya

digunakan untuk keperluan penelitian, namun ada kemungkinan untuk tujuan komersial.

Pelarian atau “pencurian” plasma nutfah Indonesia ke luar negeri sebenarnya bukan hal yang

baru karena telah sering terjadi. Salah satu buktinya adalah adanya pendaftaran paten oleh

pihak asing yang secara jelas menggunakan plasma nutfah asli Indonesia. Sebagai contoh,

dari hasil penelusuran paten di Database Paten Eropa1 diperoleh data bahwa ada 41 paten

Jepang di bidang farmasi, kosmetika dan makanan yang menggunakan bahan dari Indonesia

dan sebagian diduga berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia2. Untuk itu, pemerintah

Indonesia perlu untuk segera mengantisipasinya dengan jalan membuat aturan main yang

lebih jelas dan mengimplementasikan aturan-aturan yang telah ada secara tegas.

Saat ini pengaturan tentang izin bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian di

Indonesia telah ada, yaitu melalui Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin

Penelitian Bagi Orang Asing. Namun demikian petunjuk pelaksanaannya baru dikeluarkan 5

tahun kemudian melalui SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemberian Izin Penelitian Bagi Orang Asing. Artinya, selama 5 tahun Keppres tersebut

belum operasional dan baru berjalan tahun 1998. Dari sini dapat dilihat bahwa sebelum tahun

1993 belum ada peraturan yang khusus mengatur tentang pelaksanaan penelitian oleh orang

asing di Indonesia. Tidak heran bila kemudian diketahui bahwa telah banyak plasma nutfah

Indonesia yang telah dibawa ke luar negeri tanpa ada keuntungan sama sekali bagi Indonesia.

Saat ini pun dalam pelaksanaan kerjasama penelitian dengan pihak asing, belum ada

keseragaman dalam implementasi peraturan tersebut di atas. Masing-masing lembaga

penelitian dan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berjalan sendiri-sendiri dengan

platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kepemilikan intelektual dan pembagian

keuntungan bila hasil penelitiannya nati dapat dikomersialkan. Untuk itu perlu segera

dilakukan penyeragaman platform terutama dalam hal isi surat perjanjian kerjasama dan

perjanjian transfer material dari Indonesia ke luar negeri. Masalah transfer material ini

semakin kompleks sejalan dengan perkembangan yang pesat di bidang biologi molekuler,

genomik dan bioinformatika. Misalnya di bidang bioinformatika, material bisa berarti

Makalah Diskusi Disampaikan dalam “Rapat Tim Koordinasi Pemberian Ijin Penelitian”, LIPI, Jakarta, 16

Oktober 2001.

1 http://ep.espacenet.com.

2 Subagyo (2001).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

2

informasi3 dalam bentuk elektronik yang dapat dikirim secara mudah melalui email atau

Internet sehingga sangat sulit untuk dicegah atau dideteksi. Untuk itu pengertian atau

cakupan dari material dalam dokumen perjanjian transfer material perlu untuk didefinisikan

secara luas.

Tulisan ini mengulas tentang segala aspek hak kekayaan intelektual yang harus

dicermati dalam pembuatan perjanjian kerjasama penelitian dengan pihak asing, khususnya di

bidang biologi.

Bentuk-Bentuk Kerjasama Penelitian

Ada beberapa bentuk kerjasama penelitian antara peneliti Indonesia dengan pihak

asing yang melibatkan pemindahan sumberdaya hayati Indonesia ke luar negeri, diantaranya

adalah:

1. Pertukaran bahan penelitian: hal ini biasa dilakukan di kalangan ilmiah. Lazimnya

materi yang dipertukarkan adalah materi yang sudah menjadi milik umum, misalnya

mikroba yang telah tersedia di lembaga koleksi kultur yang dapat diakses oleh umum.

Bila materi yang dipertukarkan mempunyai perlindungan HKI (misalnya varietas tertentu

dari tanaman yang dilindungi dengan UU PVT), maka surat perjanjian transfer materi

(material transfer agreement atau MTA) perlu dibuat yang memuat aturan-aturan yang

harus dipenuhi oleh penerima materi (misalnya hanya untuk kegiatan penelitian, bukan

untuk tujuan komersial). Demikian juga bila materi yang akan dikirim atau dipertukarkan

mempunyai potensi HKI, maka surat MTA perlu juga dibuat. Contoh isi dari surat MTA

dapat dilihat pada Lampiran 1. Pertukaran bahan penelitian antar peneliti biasanya

dilakukan secara sukarela (gratis).

2. Penjualan bahan penelitian: hal ini juga lazim dilakukan oleh lembaga penelitian,

misalnya oleh Kebun Raya yang melayani pembelian bibit-bibit tanaman dari luar negeri

atau lembaga koleksi kultur yang juga menerima pesanan pembeli dari LN. Walaupun

pembeli telah mengeluarkan uang untuk mendapatkan materi tersebut, namun seharusnya

transaksi semacam ini disertai pula oleh surat MTA yang berisi pembatasan-pembatasan

penggunaan materi tersebut seperti halnya pertukaran bahan penelitian antar peneliti.

3. Bioprospeksi: merupakan rangkaian kegiatan termasuk koleksi, riset dan penggunaan

sumberdaya genetik secara sistematis untuk mendapatkan komposisi kimia baru, gen,

organisme dan produk alamiah untuk tujuan ilmiah dan/atau komersial4. Dalam kerjasama

bioprospeksi paling sedikit terlibat 2 pihak dimana satu pihak bertindak sebagai penyedia

sumber daya genetik (biasanya negara berkembang seperti Indonesia) dan pihak lain

bertindak sebagai pemanfaat sumber daya genetik tersebut (biasanya institusi atau

perusahaan dari negara maju yang menguasai teknologi tinggi). Di Indonesia, kerjasama

bioprospeksi telah berjalan sejak lama antara institusi penelitian atau perguruan tinggi

dengan pihak asing. Dalam hal ini kontribusi pihak Indonesia lebih banyak pada

pemberian akses ke sumberdaya genetik Indonesia. Salah satu contoh kerjasama

bioprospeksi untuk tujuan komersial adalah kerjasama antara Institut Pertanian Bogor

(IPB) dengan Diversa Corporation5 dari Amerika Serikat6. Dalam kerjasama ini pihak IPB

berperan dalam pemberian akses kepada Diversa atas sumberdaya genetik Indonesia

selama 2 tahun (dimulai bulan September 1997). Sebagai imbalannya Diversa melatih

para peneliti IPB dalam melakukan sampling dan membantu IPB dalam mendirikan

3 Maschio & Kowalski (2001).

4 Hilman & Romadoni (2001).

5 http://www.diversa.com.

6 Grain (1999).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

3

Centre for Microbiological Diversity dengan menggunakan teknologi Diversa. Sejumlah

royalti juga akan dibayarkan kemudian bila ada produk yang dikomersialkan (tidak

diperoleh keterangan secara jelas tentang berapa % royalti yang akan dibayarkan, akan

digunakan untuk apa saja dan bagaimana mekanismenya). LIPI melalui pusat-pusat

penelitiannya juga telah lama menjalankan kerjasama bioprospeksi dengan berbagai pihak

di LN, misalnya kerjasama dengan MacArthur Foundation, Japan Bioindustry

Association (JBA), Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan Society for the

Promotion of Science (JSPS), dan ACIAR. Contoh lain adalah kerjasama antara

Departemen Kesehatan dengan pihak NAMRU dari AS. Dalam tingkatan yang lebih kecil,

disadari atau tidak, kegiatan bioprospeksi telah sering dilakukan oleh individu peneliti

Indonesia dengan pihak asing dalam bentuk penggunaan sumberdaya genetik Indonesia

untuk bahan studi pasca sarjana di luar negeri. Berbagai kegiatan kerjasama bioprospeksi

tersebut mempunyai platform yang berbeda-beda, terutama dalam hal kontribusi,

kepemilikan kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan (benefit sharing).

Prinsip-Prinsip Dasar dalam Kerjasama Penelitian

Prinsip dasar pertama adalah bahwa kerjasama tersebut tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, walaupun akan

menguntungkan pihak-pihak yang akan bekerjasama. Contohnya kerjasama di bidang

bioprospeksi untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati Indonesia yang menguntungkan

pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama, namun merugikan pihak-pihak tertentu (misalnya

komunitas lokal) ataupun merusak lingkungan.

Prinsip 1: Kerjasama penelitian tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Prinsip kedua adalah bahwa kerjasama tersebut harus saling menguntungkan pihakpihak

yang akan bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya. Di bidang bioprospeksi,

kerjasama tersebut selain menguntungkan pihak-pihak yang langsung terlibat dalam

kerjasama (institusi DN dan institusi LN beserta segenap penelitinya), juga harus

menguntungkan pemerintah maupun masyarakat lokal. Keuntungan tersebut tidak selalu

dalam bentuk materi/uang (biaya operasional, royalti), namun bisa juga dalam bentuk nonmateri

(partisipasi peneliti Indonesia dalam penelitian, transfer pengetahuan dan teknologi,

transfer peralatan, pertukaran staf, dukungan konservasi, publikasi bersama, pelatihan).

Prinsip 2: Kerjasama penelitian harus saling menguntungkan pihak-pihak yang akan

bekerjasama dan pihak-pihak terkait lainnya (misalnya pemerintah dan masyarakat

lokal).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

4

Di bidang bioprospeksi, seluruh kerjasama penelitian harus menganut prinsip-prinsip

dasar yang tertuang dalam Convention on Biological Diversity (CBD) yang merupakan hasil

dari KTT Bumi di Rio de janeiro, Brazil pada tahun 1992. Indonesia termasuk salah satu

negara penandatangan CBD dan telah meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1994.

Walaupun UU tersebut sampai sekarang belum ada PP-nya, namun hal ini tidak bisa

dijadikan sebagai alasan untuk mengingkari kesepakatan yang tertuang dalam CBD. Prinsipprinsip

dasar dalam kegiatan kerjasama bioprospeksi tertuang dalam tujuan dari CBD, yaitu

(1) pelestarian keanekaragaman hayati, (2) pemanfaatan secara terus-menerus dari

komponen-komponen keanekaragaman hayati, dan (3) pembagian keuntungan yang sama dan

adil dalam pemanfaatan sumberdaya genetik.

Prinsip 3: kegiatan kerjasama bioprospeksi harus menganut asas pelestarian

keanekaragaman hayati, pemanfaatan yang berkesinambungan dan pembagian

keuntungan yang sama dan adil.

Perlu ditekankan di sini bahwa CBD mengikat seluruh negara anggota penandatangan,

bukan mengikat pada individu atau institusi atau perusahaan. Oleh karena itu, negara

penandatangan CBD diwajibkan untuk membuat hukum nasionalnya masing-masing untuk

mengaturnya lebih lanjut. Sayangnya Indonesia sampai sekarang belum membuat peraturan

pelaksanaan dari UU No. 5 Tahun 1994 tersebut, sehingga hal ini membuat implementasinya

tidak bisa berjalan dengan baik.

Hal penting lain yang tertuang dalam CBD adalah bahwa akses ke sumberdaya

genetik harus memasukkan Prior Informed Consent kepada masing-masing pihak. Prior

Informed Consent merupakan izin yang diberitahukan sebelumnya dari pihak yang

menyediakan sumberdaya genetik, dengan unsur pentingnya sebagai berikut7:

- prior : sebelum akses dilakukan.

- Informed: informasi yang dapat dipercaya tentang rencana pemanfaatan sumberdaya

genetik yang memadai untuk pihak yang berwenang untuk memahami implikasinya.

- Consent: izin eksplisit dari pemerintah negara yang menyediakan sumberdaya genetik.

Di Indonesia, izin tersebut diberikan oleh Kepala LIPI sebagai pihak yang berwenang

sesuai dengan Keppres No. 100 Tahun 1993.

Prinsip 4: akses ke sumberdaya genetik Indonesia harus mendapatkan izin tertulis

terlebih dahulu dari Kepala LIPI.

Perjanjian Penelitian

Suatu perjanjian penelitian yang baik harus menguntungkan semua pihak yang terlibat

langsung dalam penelitian dan pihak-pihak lain yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.

Oleh karena itu adalah sangat penting bagi semua pihak untuk mencermati isi dari perjanjian

penelitian yang dibuat. Tidak ada format yang baku dalam penulisan suatu perjanjian

penelitian, namun sebuah perjanjian penelitian yang baik harus memuat hal-hal sebagai

berikut:

1. Obyek Penelitian: dalam hal ini harus jelas tentang obyek penelitian yang akan

dilaksanakan dalam kerjasama tersebut, tujuan dari kerjasama tersebut dan luarannya. Hal

7 Hilman & Romadoni (2001).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

5

ini secara rinci dapat diketahui dari proposal penelitian yang diajukan oleh mitra kerja

luar negeri. Proposal penelitian ini harus dilampirkan dalam Surat Perjanjian Penelitian.

2. Personalia Penelitian: harus jelas siapa saja yang akan terlibat dalam kerjasama

penelitian tersebut dan apa saja yang menjadi tanggungjawab masing-masing

pihak/peneliti.

3. Lamanya Masa Penelitian: harus dijelaskan pula rentang waktu pelaksanaan penelitian

dan kemungkinan perpanjangannya.

4. Sumber Pendanaan: harus jelas pihak-pihak mana saja yang akan menanggung biaya

penelitian dan harus disebutkan jumlahnya. Bila melibatkan lebih dari satu pihak, maka

perlu diperinci bagian mana yang menjadi tanggung jawab pihak tertentu dan bagian

mana yang menjadi tanggung jawab pihak lainnya.

5. Kontribusi dari masing-masing pihak: harus dijelaskan secara rinci kontribusi dari

masing-masing pihak dalam penelitian. Hal ini diperlukan selain untuk menjelaskan

tanggung jawab masing-masing pihak selama pelaksanaan penelitian, juga untuk

menentukan kepemilikan kekayaan intelektual yang mungkin akan dihasilkan dalam

penelitian. Bila dalam penelitian nanti melibatkan transfer material ke pihak mitra luar

negeri dalam bentuk sumberdaya hayati dalam arti luas, maka perlu dibuatkan secara

terpisah dokumen MTA dari pihak Indonesia ke pihak asing. Contoh bentuk dokumen

MTA dapat dilihat pada Lampiran 1.

6. Diskripsi dari penelitian: dalam hal ini proposal penelitian yang telah disepakati oleh

semua pihak harus dilampirkan sebagai acuan. Bila ada kesepakatan lain dalam penelitian,

misalnya kegiatan pelatihan, maka programnya secara rinci juga perlu dilampirkan.

7. Kepemilikan Kekayaan Intelektual: hal ini menjadi isu yang sangat penting karena

menyangkut konsekuensi ekonomi bila hasil penelitian dalam kerjasama tersebut berhasil

dikomersialkan. Hal-hal yang perlu dicermati antara lain mengenai bentuk-bentuk

kekayaan intelektual apa saja yang mungkin dihasilkan, bagaimana bentuk

kepemilikannya (kepemilikan bersama, tunggal dll.), bagaimana sistem pembagian

royaltinya dan pihak mana yang akan menanggung biaya pendaftarannya. Kepemilikan

KI ini sangat terkait dengan kontribusi dari masing-masing pihak dalam kerjasama

penelitian tersebut (point 5) dan sumber pendanaannya (point 4). Aspek kepemilikan

kekayaan intelektual ini akan dibahas lebih rinci lagi dalam sub-bab di bawah.

8. Dasar hukum: perlu dijelaskan hukum mana yang akan dianut dalam perjanjian

penelitian tersebut. Dalam hal kerjasama peneliti Indonesia dengan peneliti asing, maka

hukum-hukum di Indonesia-lah yang akan diberlakukan.

9. Hak Publikasi: salah satu luaran dari penelitian adalah publikasi ilmiah. Karena itu,

masalah kepemilikan publikasi ini perlu diatur secara lebih rinci dan perlu pula dikaitkan

dengan masalah pendaftaran perlindungan KI. Untuk itu, lazimnya masalah ini diawali

dengan pengungkapan invensi dalam “Invention Disclosure Form”.

10. Lain-lain yang dianggap perlu: misalnya mengenai alamat kontak masing-masing pihak,

masalah jaminan, pemutusan kontrak, dan force majeure.

Contoh surat perjanjian penelitian yang baik dapat dilihat pada Lampiran 2.

Aspek Kepemilikan Kekayaan Intelektual

Seluruh hasil penelitian yang akan diperoleh merupakan kekayaan intelektual yang

sebagian mempunyai potensi komersial. Di bidang biologi bentuk kekayaan intelektual

sangat beragam, mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang diperoleh dalam

penelitian. Tercakup di dalamnya adalah: paten, aplikasi paten, sertifikat PVT, hak cipta, dan

semua invensi, perbaikan suatu proses, temuan yang dapat dilindungi oleh hukum formal

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

6

maupun tidak, termasuk di dalamnya adalah seluruh know-how, rahasia dagang, rencana dan

prioritas penelitian, hasil-hasil penelitian dan laporan, model komputer dan simulasi terkait,

plasma nutfah, kultur, galur sel, tanaman, bagian tanaman, biji, polen, protein, peptida,

senyawa metabolit, sekuens DNA dan RNA, gen, probe, plasmid dan informasi yang

berkaitan dengan itu.

Aspek kepemilikan KI ini dalam surat perjanjian penelitian perlu untuk dijabarkan

secara rinci didasarkan atas kontribusi dari masing-masing pihak yang bekerjasama dengan

pedoman umum sebagai berikut:

Kekayaan intelektual mencakup semua bentuk materi maupun informasi yang

diperoleh dalam penelitian, baik yang dapat dilindungi melalui hukum formal (paten,

PVT, rahasia dagang, hak cipta, merek) maupun yang tidak dapat dilindungi oleh

hukum formal (know-how, informasi rahasia, dan lain-lain).

•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari kedua belah

pihak, maka kedua belah pihak harus sepakat sebagai pemilik bersama KI tersebut,

sedangkan para peneliti yang terlibat sebagai inventornya. Bila dalam KI yang baru

tersebut terdapat KI lainnya yang berasal dari salah satu pihak (yang digunakan sebagai

prior art), maka KI tersebut tetap menjadi milik pihak yang bersangkutan.

•Bila invensi baru dalam penelitian tersebut dihasilkan melalui kontribusi dari hanya salah

satu pihak, maka KI tersebut menjadi milik pihak yang bersangkutan. Bila pihak yang

lain ingin menggunakan invensi tersebut, maka pihak tersebut dapat diberikan hak lisensi

dengan membayar sejumlah royalti untuk membuat, menggunakan atau menjual invensi

tersebut, namun tidak boleh melisensikannya ke pihak ketiga.

•Dalam kaitannya dengan kepemilikan KI dari materi yang dihasilkan dalam penelitian

yang dikembangkan dari plasma nutfah asal Indonesia (misalnya varietas, hibrida,

kultivar dan galur, termasuk seluruh materi propagasi), maka hak kepemilikan dari materi

tersebut tetap berada di pihak Indonesia. Sedangkan pihak luar negeri mempunyai hak

kepemilikan KI yang terkandung di dalam materi tersebut sesuai dengan kontribusinya

dalam pengembangan materi tersebut (bila ada). Komersialisasi dari materi hasil

pengembangan tersebut harus dilakukan melalui negosiasi antara pihak Indonesia sebagai

pemilik plasma nutfah dengan pihak luar negeri sebagai pemilik KI dalam pengembangan

materi tersebut.

Sebagai ilustrasi, misalnya ada suatu kerjasama antara LIPI dengan CSIRO dalam

pengembangan tanaman pisang yang tahan terhadap virus bunchy top. LIPI mempunyai

plasma nutfahnya dalam bentuk bibit pisang ambon yang rentan terhadap serangan virus

bunchy top. Dalam penelitian dan pengembangannya di LIPI, peneliti LIPI telah berhasil

mendapatkan kultivar pisang ambon yang “agak tahan” terhadap serangan virus bunchy

top melalui teknik kultur jaringan dan iradiasi (“kultivar LIPI”). Namun kultivar baru ini

masih cukup rentan terhadap serangan virus bunchy top (hanya 40% yang tahan) dan

terdapat variasi somaklonal sekitar 50% pada bibit yang dihasilkannya melalui teknik

kultur jaringan. Kultivar tersebut kemudian dikirim ke CSIRO untuk dikembangkan lebih

lanjut menggunakan teknologi rekayasa genetika yang dikembangkan oleh CSIRO.

Penelitian dan pengembangan di CSIRO ini ternyata berhasil mendapatkan kultivar

pisang ambon yang tahan virus bunchy top (80%) dengan variasi somaklonal yang cukup

rendah (10%). Nah, bagaimana dengan kepemilikan kultivar pisang ambon CSIRO ini?.

Sesuai dengan uraian di atas, “kultivar CSIRO” ini tetap menjadi milik LIPI, sedangkan

CSIRO berhak memiliki teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan kultivar

CSIRO ini. LIPI juga berhak atas teknologi yang dikembangkannya untuk mendapatkan

“kultivar LIPI”. Jadi pada “kultivar CSIRO” ini ada kontribusi dari kedua belah pihak,

sehingga komersialisasi dari “kultivar CSIRO” ini harus dinegosiasikan oleh kedua belah

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

7

pihak. Untuk maksud tersebut perlu dibuat perjanjian lisensi penggunaan materi biologis

(Biological Materials License Agreement atau BMLA) yang disepakati kedua belah pihak.

Dalam hal ini lisensi dapat melibatkan kedua belah pihak dan/atau pihak ketiga. Di dalam

surat perjanjian penelitian perlu pula dicantumkan mengenai bentuk lisensinya (eksklusif

atau tidak, hak untuk melisensikan ke pihak ketiga), dan bentuk dari pembayaran

ROYALTI (misalnya memakai sistem pembayaran dimuka atau down payment,

menggunakan sistem persentase penjualan, dan lain-lain).

Sebagai ilustrasi kedua, misalnya kerjasama di bidang peternakan antara

Puslitbang Bioteknologi-LIPI dan Puslitbang Peternakan (Balitnak dan Balivet) dengan

Monash University dan Sydney University yang didanai oleh ACIAR untuk kegiatan

genom analisis (genotyping) pada domba ekor tipis8. Domba ekor tipis Indonesia dari

hasil penelitian sebelumnya telah memperlihatkan resistensi yang tinggi terhadap infeksi

Fasciola gigantica dan Haemonchus contortus. Penelitian tersebut bertujuan

mengidentifikasi gen-gen yang bertanggung jawab di dalam resistensi tersebut melalui

pemetaan gen dan identifikasi genom. Dalam hal ini kepemilikan gen-gen tersebut tetap

melekat pada pihak Indonesia walaupun dalam kerjasama tersebut pihak Australia lebih

banyak berperan dalam hal isolasi gen-gen tersebut dengan menggunakan teknologi yang

mereka miliki. Bila gen-gen ini kemudian diaplikasikan pada domba di Australia secara

komersial (tentunya mempunyai nilai ekonomi yang sangat besar mengingat populasi

domba di Australia jauh melebihi populasi penduduknya), maka pihak Indonesia berhak

mendapatkan pembagian keuntungan yang layak dari komersialisasi ini. Sekali lagi perlu

ditekankan di sini bahwa hal-hal yang berkenaan dengan kepemilikan KI berikut upaya

komersialisasinya sangat penting untuk dicantumkan di dalam dokumen perjanjian

kerjasama penelitian secara jelas dan rinci. Posisi pihak Indonesia akan lebih kuat bila

kontribusinya tidak hanya sekedar sebagai penyedia plasma nutfah, namun turut aktif

dalam kegiatan risetnya.

Untuk menyeragamkan platform dari bentuk kerjasama penelitian dengan pihak

asing, khususnya di bidang bioprospeksi, maka Tim Koordinasi Pemberian Izin Penelitian

bagi orang asing perlu untuk mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan kerjasama

bioprospeksi yang selama ini telah dijalankan oleh berbagai institusi penelitian dan perguruan

tinggi di Indonesia. Penyeragaman platform ini sangat penting dilakukan untuk meningkatkan

posisi tawar-menawar (bargaining position) pihak Indonesia sebagai penyedia atau pemasok

plasma nutfah kepada pihak asing, terutama untuk plasma nutfah yang sifatnya endemik.

Penyeragaman platform ini terutama difokuskan pada hal-hal yang menyangkut kepemilikan

kekayaan intelektual dan pembagian keuntungan yang sama dan adil sesuai dengan prinsipprinsip

yang tertuang dalam CBD.

Pelaksanaan bioprospeksi yang telah banyak dilakukan di Indonesia oleh berbagai

macam institusi penelitian/universitas perlu untuk dikaji dan dievaluasi untuk

menentukan platform yang seragam dalam bioprospeksi di Indonesia.

Perlu pula dibahas di sini bahwa negosiasi dengan pihak asing perlu dilakukan dalam

hal pendaftaran paten untuk invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia. Seperti yang

tercantum dalam UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, paten tidak dapat diberikan untuk

invensi tentang semua makhluk hidup kecuali jasad renik, dan proses biologis yang esensial

untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali proses non-biologis atau proses

8 Tappa (1998).

Downloaded from http://www.biotek-indonesia.net/

8

mikrobiologis9. Invensi-invensi yang tidak dapat dilindungi di Indonesia ini di beberapa

negara seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Uni Eropa dapat diberikan

perlindungan paten. Untuk itu kerjasama dengan pihak asing di bidang pendaftaran paten

perlu pula dinegosiasikan. Hal ini penting sekali dilakukan dengan mengingat pula bahwa

pematenan invensi di bidang biologi mengharuskan pemohon untuk mendepositkan materi

biologi yang diklaim di Lembaga Koleksi Kultur yang diakui oleh Budapest Treaty10. Karena

berbagai pertimbangan yang tidak begitu jelas, hingga saat ini Indonesia belum menjadi

anggota Budapest Treaty. Hal ini tentu saja akan menyulitkan pihak Indonesia dalam hal

pematenan makhluk hidup di luar negeri bila tidak ada bantuan dari mitra kerjanya dari luar

negeri.

Di Indonesia, invensi yang berhubungan dengan perangkat lunak (software) dan

database hanya dilindungi dengan rezim hak cipta11, sedangkan di beberapa negara di luar

negeri, khususnya Amerika Serikat, invensi dalam bentuk perangkat lunak dapat dilindungi

dengan rezim paten. Perbedaan rezim perlindungan terhadap perangkat lunak ini perlu pula

untuk dibicarakan dengan mitra kerja dari luar negeri mengingat kerjasama penelitian di

bidang biologi mempunyai potensi untuk menghasilkan invensi dalam bentuk program

komputer dan database, khususnya di bidang biologi molekuler, genomik dan

bioinformatika12.

Daftar Pustaka

Bureau of S&T Cooperation-LIPI. 2000. Research Procedures for Foreign Researchers in

Indonesia.

Fritze, D. dan V. Weihs. 2001. Deposition of biological material for patent protection in

biotechnology. Applied Microbiology and Biotechnology (on-line 21 August 2001).

Grain. 1999. Bacteria become big business. Seedling, March 1999

(http://www/grain.org/publications/mar991-en.cfm).

Hilman, H. dan A. Romadoni. 2001. Pengelolaan & Perlindungan Aset Kekayaan Intelektual.

Panduan Bagi Peneliti Bioteknologi. The British Council, DIFD dan ITB. 157 hal.

Keputusan Presiden No. 100 Tahun 1993 Tentang Izin Penelitian Bagi Orang Asing.

Maschio, T. dan T. Kowalski. 2001. Bioinformatics - a patenting view. Trends in

Biotechnology 19 (9): 334-339.

SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin Penelitian

Bagi Orang Asing.

Subagyo, T. 2001. Paten Jepang yang memakai bahan dari Indonesia dan sebagian diduga

berasal dari pengetahuan tradisional Indonesia. Hasil survei dari database Paten Eropa

(http://ep.espacenet.com) per 15 April 2001.

Tappa, B. 1998. Litbang bioteknologi peternakan di Puslitbang Bioteknologi-LIPI, Cibinong.

Warta Biotek 12 (1-2): 23-24.

Ten Kate, K., L. Touche dan A. Collis. 1998. Benefit-sharing case study: Yellowstone

National Park and the Diversa Corporation. 32 hal.

UU No. 12 Tahun 1997 Tentang Perubahan Atas UU No. 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987.

UU No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten.

UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

No comments:

Post a Comment