Wednesday, April 21, 2010

Sejarah Liuhe Xinyi Quan

Liuhe Xinyi Quan (harfiah – Fist of Mind, Niat dan Enam harmoni) adalah seni bela diri yang dikembangkan di Provinsi Henan Cina antara Hui (Islam) kewarganegaraan. Hal ini dianggap sebagai salah satu yang paling kuat dan berorientasi melawan gaya antara lain cina Seni Bela Diri, dan untuk waktu yang lama itu telah dikenal untuk efektivitas dalam memerangi, sementara sangat sedikit benar-benar tahu metode praktek gaya. Liuhe Xinyi Quan, bersama dengan Cha Quan dan Qi Shi Quan (Tinju Tujuh Postur), telah dianggap “Jiao Men Quan” ( “agama – misalnya Islam – tinju”) dimaksudkan untuk melindungi pengikut Islam di Cina.
Selama lebih dari dua abad gaya telah dirahasiakan dan hanya ditransmisikan sangat sedikit Muslim praktisi. Hanya pada awal abad ini asli pertama cina (Han kewarganegaraan) belajar gaya, tapi sampai sekarang masih yang paling terampil ahli Liuhe Xinyi Quan dapat ditemukan dalam masyarakat Hui di Cina.
Karena seni Xinyi dan Xingyiquan umumnya dibagi menjadi Hebei, Shanxi dan Henan cabang, gaya ini juga disebut Henan Xinyi / Xingyi.Di Barat gaya sering disebut sebagai Sepuluh Hewan Xingyi.
Sejarah awal gaya itu tidak begitu jelas.
Menurut “Pengantar Enam harmoni Tinju” ( “Liuhequan Xu”) yang ditulis pada tahun 1750, gaya ini diciptakan oleh Yue Fei yang “sebagai anak-anak belajar dari seorang ahli pengetahuan yang mendalam dan menjadi sangat terampil di tombak bermain; (atas dasar ini ) ia menciptakan metode tinju untuk mengajar para perwiranya dan menyebutnya “Niat Tinju” (Yi Quan); (seni bela diri) yang hebat dan cerdik, tidak seperti yang lain sebelumnya. Setelah Raja (misalnya Yue Fei) (meninggal dunia), selama Jin, Yuan dan dinasti Ming seni jarang terlihat. Master Ji, yang disebut Ji Jike, juga dikenal sebagai Longfeng Ji hidup pada akhir Ming dan awal dinasti Qing di Zhufeng dari Pudong (hari ini Zun Desa di Propinsi Shanxi), pergi untuk Zhongnan Pegunungan untuk mengunjungi guru dengan pengetahuan yang mendalam di sana dan menerima manual tinju Raja Wumu (misalnya Yue Fei) (…)”.
Seni Xinyi Quan Liuhe disahkan diam-diam di antara Muslim Cina dan telah dikenal sebagai “gaya yang paling kejam di antara seni bela diri cina”
Kuda Bentuk – salah satu dari Sepuluh Besar Bentuk dari Henan Liuhe Xinyi Quan
Menurut “Ji Clan Tawarikh” (Ji Shi Jiapu) Ji Longfeng ’s tombak keahlian luar biasa dan ia dikenal sebagai “Ilahi Tombak” (Shen Qiang). Ji (juga dikenal sebagai Ji Jike) menciptakan sebuah kepalan tinju menggunakan prinsip-prinsip dan tombak diajarkan di Henan.
Kedua teks membicarakan tentang menciptakan seni bela diri berdasarkan tombak, meskipun atribut pertama untuk Yue Fei, sementara yang lain – untuk Ji Longfeng.
Baru-baru ini salah satu majalah seni bela diri Cina menerbitkan sebuah artikel tentang penemuan Xinyiquan cabang baru, tidak terkait dengan Islam atau Keluarga Dai. Gaya dipraktekkan hanya dalam masyarakat yang sangat kecil di sebuah desa kecil di Provinsi Henan. Banyak fakta tampaknya untuk mendukung tesis bahwa gaya adalah “tetap hidup” dari Yue Fei tinju dari sebelum Ji Longfeng’s kali. Sebagai contoh – salah satu dari aturan gaya yang tidak memungkinkan untuk lulus tinju kepada orang-orang dengan nama terakhir Qin – mungkin karena dikhianati Yue Fei (yang mengakibatkan hukuman mati) oleh Qin Hui, menteri dalam Song pengadilan. Gaya memperlihatkan beberapa kesamaan Xinyi cabang lain, namun gerakan lebih sederhana, metodologi Neigong (latihan internal) secara praktis tidak ada dan penekanan disimpan di pertempuran praktis keterampilan.
Muslim Pertama untuk mempelajari seni dan memberikannya kepada murid-muridnya Ma Xueli (sekitar 1714-1790) dari Luoyang di Provinsi Henan.
Hubungan antara Ma Ji Xueli dan Longfeng tidak sepenuhnya jelas dan bahkan anggota marga Ma tidak tahu nama guru Ma. Seorang pengembara nama tidak diketahui ahli yang menghabiskan beberapa tahun di Luoyang’s Beiyao desa dianggap oleh mereka untuk menjadi guru Xueli Ma. Dikatakan bahwa Ma guru untuk beberapa alasan (salah satu dari mereka bisa terlibat dalam gerakan anti-Qing) ingin menjaga namanya rahasia.
Di sisi lain Islam Xinyi Quan Liuhe praktisi di Lushan dan kota lainnya di Provinsi Henan garis keturunan tidak terkait langsung dengan yang di Luoyang tahu tentang Ji Longfeng dan menganggapnya sebagai guru Ma. Hal ini mungkin karena adanya pertukaran antara satu Muslim Xinyi Quan Liuhe master, Mai Zhuangtu, dan anggota marga Dai.

Saturday, April 17, 2010

Refleksi Seni Tradisi "Silat Tuo"

Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau

Silat Minangkabau atau disingkat dengan “Silat Minang” pada prinsipnya sebagai salah kenusilat-minang.jpgdayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat, ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama “Datuk Suri Diraja” ; dipanggilkan dengan “Ninik Datuk Suri Diraja” oleh anak-cucu sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : “Menyigi Tambo Alam Minangkabau” (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan “lubuk akal, lautan budi” , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: “Mamak Runah”) dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula “Mamak kandung” dari Datuk Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu bernama “DAPUNTA HYANG”. ( Mid.Jamal, 1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti “Kedukan Bukit” tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : ” Manalap Sidhayatra” (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan “Minanga Tamwan” atau “Minanga Kabwa”.

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.

Asal usul Silat Minangkabau

Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.

Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.

Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata “Logy”. Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya bukan material; melainkan “SPIRITUAL”. walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu “kebenaran” , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi “teluh” tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui “makrifat”.

Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap pendukung kebudayaan Minangkabau.

Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) “sudah menganut agama Islam”. Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh “hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah” (MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun. Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal, misalnya “Kucieng Siam” memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.

Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu ” Langkah Tigo ” , ” Langkah Ampek ” , dan ” Langkah Sembilan “. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.

Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga “kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG”. (I.Dt Sangguno Dirajo, 1919:22)

1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :

a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan

Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran ” Sajangka dua jari ” .

2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut “Gayueng” dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :

a. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan jarum, pisau kecil dll.
b. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.
c. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali
d. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka

Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah ” PANARUHAN ” atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah Minang : ” Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik” diberikan kepada Sang Guru.

PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU

Dimasa itu terkenal empat angkatan barisan pertahanan dan keamanan di bawah pimpinan Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Hutan, dan Anjieng Mualim; ke empatnya merupakan murid-murid Ninik Datuk Suri Dirajo.

Sewaktu Datuk Nan Batigo membentuk Luhak Nan Tigo (1186 M ) dan membuka tanah Rantau (mula-mula didirikan Kerajaan Sungai Pagu 1245 M, ketika itu Raja Alam Pagaruyung, ialah Rum Pitualo, cicit dari Putri Jamilah atau kemenakan cicit dari Datuk Ketumanggungan), maka para pemimpin rombongan yang pindah membawa penduduk, adalah anggota pilihan dari barisan pertahanan dan keamanan kerajaan.

1. Untuk rombongan ke Luhak Tanah Datar, pimpinan rombongan ialah anggota barisan Kucieng Siam.

2. Untuk rombongan ke Luhak Agam, dipimpin oleh barisan Harimau Campo.

3. Untuk rombongan ke Luhak Limapuluh-Payakumbuh, dipimpin oleh anggota barisan Kambieng Hutan.

4. Untuk rombongan ke Tanah Rantau dan Pesisir dipimpin oleh anggota barisan Anjieng Mualim.

Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya.
Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:

1. Barisan pengawal kerajaan , Anjieng Mualim berfungsi sebagai penjaga keamanan
2. Barisan Perusak, Kambieng Hutan berfungsi sebagai destroyer atau zeni
3. Barisan Pemburu, Harimau Campo berfungsi sebagai Jaguar atau pemburu
4. Barisan Penyelamat, Kucieng Siam berfungsi sebagai anti huru-hara.

1. Aliran Silat Kucieng Siam:

Sekarang nama Kucieng Siam menjadi lambang daerah Luhak Tanah Datar….

Bentuk dan sifat silat negeri asal Kucin Cina-Siam :
peranan kaki (tendangan) menjadi ciri khasnya. Tangan berfungsi megalihkan perhatian lawan serta memperlemah daya tahan lawan.

2. Aliran Silat Harimau Campo:

Lambang Harimau Campo diberikan kepada Luhak Agam.

Bentuk dan sifat gerakannya:
ialah menyerupai seperti sifat harimau, keras, menyerang tanpa kesabaran alias langsung menerkam. mengandalkan kekuatannya pada tangan.

3. Aliran silat Kambieng Hutan :

Luhak Limapuluh-Payokumbuh mendapatkan lambang tersebut.

Bentuk dan sifat gerakannya:
banyak menampilkan gerak tipu, selain menggunakan tangan juga disertai dengan sundulan/dorongan menggunakan kepala dan kepitan kaki.

4. Aliran Silat Anjieng Mualim :

diberikan kepada Tanah Rantau-Pesisir adalah daerah-daerah di sekitar lembah-lembah sungai dan anak sungai dari pegunungan Bukit Barisan.

Bentuk dan sifat gerakannya:
a. bentuk penyerangan dengan membuat lingkaran
b. bentuk pertahanan dengan tetap berada dalam lingkaran.
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau “langkah Empat”.
dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk oleh Ninik Datuk Suri Diraja.

jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan yang menjadi inti yang khas:

Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng Mualim ).

kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah Sembilan.
Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai SILAT, namun sudah berubah dengan nama PENCAK (Mencak)
SILAT LANGKAH TIGO

Silat Langkah Tigo ( langkah tiga ) pada asalnya milik Kucieng Siam, Harimau Campo, dan Kambieng Hutan; yang secara geografis berasal dari daratan Asia Tenggara. Akan tetapi setelah berada di Minangkabau disesuaikan dengan kepribadian yang diwarnai pandangan hidup, yaitu agama Islam.

Di masa itu agama Islam belum lagi secara murni di amalkan, karena pengaruh kepercayaan lama dan pelbagai filsafat yang dianut belum terkikis habis dalam diri mereka.

Namun dalam ilmu silat pusaka yang berbentuk Langkah Tigo dan juga dinamakan Silek Tuo, mulai disempurnakan dengan mengisikan pengkajian faham dari berbagai aliran Islam.

Memperturunkan ilmu silat tidak boleh sembarangan. Faham Al Hulul / Wihdatul Wujud memegang peranan, terutama dalam pengisian kebatinan ( silat batin ). Tarekat ( metode ) pendidikan Al Hallaj yang diwarnai unsur-unsur filsafat pythagoras yang bersifat mistik menjadi pegangan bagi guru-guru silat untuk tidak mau menurunkan ilmu silat kepada sembarangan orang.

Angka 3 sebagai “hakikat” menjadi rahasia dan harus disimpan. Untuk menjamin kerahasiaannya, maka ilmu silat tidak pernah dibukukan. Dalam pengalaman dan penelitian yang dilakukan kenyataan menunjukkan, bahwa amanat ” suatu pengkajian yang bersifat rahasia ” itu sampai kini masih berlaku bagi orang tua-tua Minangkabau.

kalau sekarang, rahasia itu dinyatakan dalam berbagai dalih, misalnya :

a. akan menimbulkan pertentangan nantinya dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat awam.
b. akan mendatangkan bahaya sebagai akibat ” Tasaluek dek kaji ” , seperti: gila.
c. dan sebagainya.

Dalam hubungan ini penulis sendiri ( yakni bpk Mid.Jamal ) , kurang sependapat dengan alasan orang tua-tua yang kita mulyakan itu, mengingat kian langkanya pusaka budaya itu. Masalah adanya perbedaan kaji dengan masyarakat awam bukanlah alasan yang rumit.
semata-mata untuk kepentingan ilmu juga maka dalam tulisan ini mencoba bukakan sekelumit rahasia budaya pusaka dari nenek moyang kita, agar jangan sampai punah secara total.

Langkah Tigo dalam silat Minang, didalamnya terdapat gerak-gerak yang sempurna untuk menghadapi segala kemungkinan yang dilakukan lawan. Perhitungan angka tiga disejalankan dengan wirid dan latihan, inipun tidak semua orang dapat memahami dan mengamalkannya karena mistik.

Kaifiat atau pelaksanaannya dilakukan secara konsentrasi sewaktu membuat langkah tigo. setiap langkah ditekankan pada ” Alif, Dal, Mim “

Tagak Alif, Pitunggue Adam, Langkah Muhammad
Tagak Alif :
Tegak Allah, Kuda-kuda bagi Adam, Kelit dari Muhammad, Tangkapan oleh Ali, dan tendangan beserta Malaikat. ( sandi kunci bergerak )

SILAT LANGKAH AMPEK

Pembentukan Silat Langkah Ampek oleh Ninik Datuk Suri Diraja di Pariangan serentak dengan Silat Langkah Tigo. Silat Langkah Ampek, berasal dari gerak-gerak silat Anjieng Mualim dan pengawasannya turun temurun juga diserahkan pada Harimau Campo, yang dapat menjelma bila disalahi membawakannya.

Oleh karena si penciptanya telah menyeragamkan bentuk dan metode serta pengisiannya. maka silat Langkah Ampek pun dimulai dengan Tagak Alif. Perbedaannya terletak pada perhitungan angka yaitu 4, sebagai angka istimewa (ingat mistik Pythagoras). Walaupun bersifat mistik dan sukar dipahami bagi awam, namun bagi Pesilat sangat diyakini kebenarannya.

Sewaktu membuka Langkah Ampek dilakukan konsentrasi pada Alif, Lam, Lam, Hu.

Langkah Sembilan
Perhitungan langkah dalam Silat Minang yang terakhir adalah sembilan. Dari mana datangnya angka sembilan. Dalam pengkajian silat dinyatakan sebagai berikut: Langkah 3 + Langkah 4 = langkah 7. Itu baru perhitungan batang atau tonggaknya. Penambahan 2 langkah adalah :

-Tagak Alif gantung dengan penekanan pada ” Illa Hu ” ini diartikan satu langkah.
-Mim Tasydid dalam kesatuan Allah dan Muhammad, gerak batin yang menentukan, berarti satu langkah.

Menurut faham Al Hulul bahwa apabila yang Hakikat menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya dalam realitasNya yang penuh; itulah keindahan.

Pesilat itu adalah seniman dan seorang seniman adalah orang yang tajam dan tilik pandangannya, yang dapat melihat keindahan Ilahi dalam dirinya. (Gazalba,IV/1973:527)

Silat Langkah sembilan biasanya dibawakan sebagai “Pencak” (Minangkabau: Mencak), artinya : Menari. Dalam kata majemuk “Pencak-Silat” dimaksudkan “Tari Silat”.

Langkah Sembilan memperlihatkan pengembangan gerak-gerak ritmis, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur gerak silat.

Biografi Sastrawan Klasik (1)


Biodata/Biografi  Prof. Dr. Hamka
Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah ( HAMKA).
Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila tokoh ‘idola’ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.
Latar Belakang Ulama
Pak Hamka atau Buya Hamka adalah nama istimewa yang mempunyai nilai tersendiri di persada perkembangan Islam dan dunia kesusasteraan nusantara. Hamka dari singkatan nama Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim. Almarhum dilahirkan di Kampung Tanah Sirah ( ada riwayat lain mengatakan di Kampung Molek), Negeri Sungai Batang Maninjau, Minangkabau pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Febuari 1908. Bapanya Haji Abdul Karim Amrullah adalah ulama terkenal Minangkabau yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam ( kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.
Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945.
Pendidikan
Hamka mendapat pendidikan awal agama dari Madrasah Tawalib yang didirikan oleh bapanya. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur.
Kerjaya Hidup
Hamka telah menyertai Gerakan Muhamadiah dan menerajui kepimpinan pertubuhan itu di Padang Panjang tahun 1928. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah.
Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.
Novel-novel dan kitab-kitab
Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut:
a. Novel
Tenggelamnya Kapal Vanderwick
Dalam Lembah kehidupan
Di Bawah Lindungan Kaabah
Kenangan Hidup
Merantau Ke Deli
Ayahku
Laila Majnun
Siti Sabariah
b. Kitab Agama dan Falsafah
Tafsir Al Azhar ( 30 Juz)
Khatib Ul Ummah ( 1925)
Tarikh Abu Bakar As Sidiq
Ringkasan Tarikh Umat Islam
Islam dan Adat Minangkabau
Tasawuf Moden
Falsafah Hidup
Lembaga Hidup
Lembaga Budi
c. Majalah
Kemahuan Zaman ( 1929)
Al Mahdi ( 1933)
Pendoman Masyarakat ( 1936 – 1942)
Semangat Islam ( 1944- 1948)
Menara ( 1946-1948)
Panji Masyarakat ( 1959)

Biografi – Biodata Muhammad bin Haji Salleh
Tarikh Lahir : 26 Mac 1942 di Taiping, Perak Darul Ridzuan.
Alamat : 254, Jalan 6, Taman Sekamat, 43000 Kajang, Selangor Darul Ehsan.
Muhammad bin Haji Salleh hanya mula dikenali umum di tanah air sebagai penulis pada akhir tahun 1960-an meskipun beliau sebenarnya telah menulis lebih awal lagi. Beliau banyak menghabiskan usianya di luar negara dan mula menulis puisi yang kebanyakannya dalam bahasa Inggeris. Bila kembali ke tanah air puisi-puisi beliau mendapat perhatian para pengkritik
Beliau mula menulis semenjak di Maktab Perguruan Tanah Melayu di Brinsford Lodge, England, pada tahun 1963. Oleh sebab latar belakang persekolahannya yang hampir pada bahasa dan kesusasteraan Melayu dan Inggeris, maka beliau menulis dalam kedua-dua bahasa itu. Sajak-sajaknya dalam bahasa Inggeris banyak dipengaruhi oleh T.S. Eliot dan W.H. Auden yang diminatinya pada waktu itu.
Muhammad Haji Salleh mendapat pendidikan awal di High School Bukit Mertajam dan Maktab Melayu Kuala Kangsar. Kemudian melanjutkan pelajarannya ke Malayan Teachers College, Brinsford Lodge, England. Beliau memperoleh ijazah Sarjana Muda Sastera di Universiti Malaya (Singapura), ijazah Sarjana Sastera dari Universiti Malaya dalam tahun 1970 dan ijazah Ph.D. dari Universiti Michigan, Amerika Syarikat dalam tahun 1973. Dalam tahun 1977, beliau pernah dilantik sebagai Profesor Tamu di bawah rancangan Fulbright-Hays dan mengajar di North Carolina State University, Raleigh, Amerika Syarikat. Muhammad Haji Salleh pernah bertugas sebagai pensyarah di Jabatan Persuratan Melayu dan pernah menjadi Timbalan Dekan Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia dan Pengarah Institut Bahasa, Kebudayaan Kesusasteraan Melayu. Pada tahun 1978, beliau dilantik menjadi Profesor Kesusasteraan sewaktu berusia 36 tahun. Pada tahun 1977 – 1978, Muhammad menjadi Profesor Pelawat, di North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, Amerika Syarikat; menjadi “Asian Scholar in Residence” di University Michigan. Dalam tahun 1992-1993, beliau dipilih menjadi Fullbright Visiting Reseacher, di University of California, Berkeley, dan seterusnya menyandang Kerusi Pengajian Melayu di Universiti Leiden, Netherlands, dari tahun 1993-1994.
Ketokohan Muhammad Haji Salleh dalam dunia penulisan puisi Melayu moden begitu dirasakan oleh para peminat sastera tanah air apabila karya-karyanya, terutamanya puisi, mendapat perhatian bukan sahaja oleh Panel Hadiah Karya Sastera tanah air bahkan setelah beliau memenangi “Hadiah Sastera Asean” di Jakarta. Sejak tahun 1971, beberapa buah puisinya telah memenangi Hadiah Karya Sastera dan kemudiannya dalam tahun 1977, Muhammad menerima Hadiah Sastera Asean bahagian puisi dengan kumpulan puisi beliau Perjalanan Si Tenggang II.
Bagi Muhammad, puisi adalah suatu bentuk sastera yang kental dengan muzik bahasa dan kebijaksanaan penyair dan tradisinya. Sebuah puisi atau pantun adalah susunan muzik bahasa yang mengindahkan bahasa itu serta juga pembacaan oleh pendengaran. Beliau bersetuju dengan definisi Robert Frost, seorang penyair Amerika, bahawa puisi ialah sesuatu yang setelah kita membacanya kita menjadi lebih bijaksana. Para penyair menolong menyedarkan kita kepada masalah kita bersama malah mendefinisikan masalah penting supaya kita benar-benar dapat menyelesaikannya.
Amat jelas bahawa tema puisi Muhammad pada umumnya lebih banyak memaparkan masalah-masalah bersama, masalah eksistensi individu yang berhadapan dengan kehidupan kekotaan. Bangunan-bangunan tinggi, teknologi moden, motokar, lampu neon bukan menjadi teman tetapi merupakan objek yang ditentang dan diperhitungkan melalui sesuatu moral-judgement (kemelayuan atau kemanusiaan sejagat). Kehidupan kekotaan yang bobrok dan persekitaran yang seperti ini ditentang oleh otak, akal dan pegangan. Demikian puisi-puisi beliau lebih menekankan pemikiran daripada perasaan. Sikap dan fikiran beliau tercermin kepada bentuk puisi yang padat dan kata-kata yang kurang mengandungi emosi.
Beliau secara sedar berusaha menggunakan bahasa yang tidak biasa dipakai oleh penyair lain. Kerana itu terdapat pembentukan ungkapan-ungkapan baru untuk memberikan ketepatan dan ketajaman makna dalam puisi-puisi beliau. Namun dalam ungkapan yang baru dan asli itu, kadang-kadang terasa terlalu asing pula pengucapannya, dan hal ini mungkin juga akibat pengaruh kesusasteraan dunia yang pernah menjadi kajian dan pengalaman beliau selama ini.
Muhammad Haji Salleh meminati penyair-penyair Chairil, Subagio Sastrowardojo (Indonesia) dan pada satu ketika juga meminati T.S. Eliot dan Pablo Neruda. Beliau meminati sastera dari Barat bukan sahaja kerana terdapatnya keragaman tetapi juga kerana di Barat sastera kerana terdapatnya keragaman tetapi juga kerana di Barat sastera sudah menjadi sebahagian daripada ilmu tentang manusia dengan falsafah, psikologi dan sebagainya. Yang lebih menarik minat beliau ialah sastera Barat itu mengandungi eksperimen-eksperimen yang pelbagai yang cuba mencari stail yang sempurna untuk ekspresi yang tepat. Itulah antara unsur-unsur Barat yang diperhatikannya.
Muhammad telah menerbitkan lapan buah kumpulan puisi perseorangan di samping puisi yang terbit dalam kumpulan bersama. Kumpulan puisi beliau, Sajak-sajak Pendatang bukan saja sejumlah puisi yang dicipta sewaktu beliau mengembara di luar tanah air malah ia merupakan satu kumpulan puisi yang kukuh, berbeza daripada puisi-puisi yang dicipta oleh penyair yang sebelum dan sezaman dengan beliau. Panel Hakim Karya Sastera telah memilih Buku Perjalanan Si Tenggang II sebagai kumpulan puisi Muhammad yang terbaik bagi tahun 1975. Kumpulan ini dikatakan dengan jelas memperlihatkan bukan saja stail dan peribadi penyair, bahkan konsep puisi yang secara tegas mengelak daripada ungkapan romantik dengan menggunakan kata-kata secara tepat, fungsional dan berkesan.
Sebagai penyair yang menulis dalam bahasa Melayu dan Inggeris, Muhammad mempunyai kekuatan bahasa yang dapat dan mampu menterjemahkan puisi-puisi Melayu ke dalam bahasa Inggeris. Beliau adalah salah seorang penterjemah kesusasteraan yang penting yang telah banyak menterjemah puisi Melayu ke dalam bahasa Inggeris. Malah beliau pernah menjadi Presiden Persatuan Penterjemah Malaysia dari tahun 1978 hingga tahun 1982. Dan kerana kegiatan kreatif dan ilmunya dalam kajian kesusasteraan, beliau pernah menjadi sidang editor jurnal Tenggara, anggota Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka, dan anggota Panel Anugerah Sastera Negara.
Demikianlah Muhammad Haji Salleh sebagai sasterawan yang juga ahli akademik yang dihormati telah memainkan peranan penting dalam dunia kesusasteraan Melayu. Dalam banyak pertemuan penulis yang dihadirinya dan kertas-kertas kerja yang dibentangkannya, Muhammad banyak sekali memberikan perhatian tentang teori-teori sastera dalam hubungannya dengan kesusasteraan Melayu.
Bercakap tentang puisi-puisi yang dihasilkannya, puisi-puisinya selalu dihubungkan dengan intelektualisme, idea dan pemikiran yang cukup serius. Muhammad melihat kehidupan dengan sikap intelektual seorang pencari dan pemikir. Sebagai seorang penyair yang rajin bereksperimen dan mencari bentuk-bentuk baru yang lebih kuat, Muhammad sejak akhir-akhir ini banyak menghasilkan puisi yang didasarkan daripada buku Sejarah Melayu. Puisi-puisi tersebut dapat diikuti dalam bukunya Sajak-sajak dari Sejarah Melayu yang telah diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1981.
Muhammad telah terpilih menjadi Sasterawan Negara dalam tahun 1991; dan menerima anugerah S.E.A. Write Awards di Bangkok dalam tahun 1997. Kini Muhammad adalah Pengarah, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
KARYA
Puisi :
Himpunan Sajak (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, 139 hlm.; Sajak-sajak Pendatang, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1973, 62 hlm.; Buku Perjalanan Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1975, 74 hlm.; Ini Juga Duniaku, Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 1977, 83 hlm.; Times and Its people, Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd., 1978, 80 hlm.; The Travel Journals of Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979, 72 hlm.; Pilihan Puisi Baru Malaysia – Indonesia (Peny.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 314 hlm.; Puisi-puisi Nusantara (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 294 hlm.; Sajak-sajak dari Sejarah Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka 1981, 88 hlm.; Tinta Pena (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1981, 631 hlm.; Dari Seberang Diri, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1982, 70 hlm.; Antologi Puisi ASEAN (antologi bersama), Denpasar: Yayasan Sanggar Seniman Muda Bali, 1983, 85 hlm.; Lagu Kehidupan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983, 302 hlm.; Bintang Mengerdip (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 75 hlm.; 100 Sajak Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur. Tra-Tra Publishing & Trading Sdn. Bhd., 1984, 141 hlm.; Bunga Gerimis (antologi bersama), Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 132 hlm.; Puisirama Merdeka (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1986, 141 hlm.; Kumpulan Puisi Malaysia/Malaysian Poetry 1975-1985 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaia, 1988, 167 hlm.; Puisi Baharu Melayu 1961 – 1986 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990, 941 hlm.; Suara Rasa (Voice From Within) (antologi bersama), Kuala Lumpur: Maybank, 1993, 228 hlm.; Beyond the Archipelago, Athens: Center of International Studies, Ohio University, 1995, 243 hlm.; Rupa Kata (antologi bersama), Ipoh: Yayasan Kesenian Perak, 1996, 122 hlm.; Sebuah Unggun di Tepi Danau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996, 259 hlm.
Kajian :
Tradition and Change in Contemporary Malay-Indonesian Poetry, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1977, 190 hlm.; Selection from Contemporary Malaysian Poetry (Peny.), Kuala Lumpur: Penerbitan Universiti Malaya, 1978, 118 hlm.; Pengalaman Puisi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 85 hlm.; An Anthology of Contemporary Malaysian Literature, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 413 hlm.; The Mind of The Malay Author, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, 178 hlm.; Syair Tentang Singapura Abad Kesembilan Belas, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, 127 hlm.; Sulalatus al-Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur: Yayasan Karya Agung, 1997, 338 hlm.
Esei/Kritikan :
Kritikan Sastera di Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1974, 187 hlm.; Bahasa Kesusasteraan dan Kebudayaan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1976, 338 hlm.; Kesarjanaan Melayu (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1977, 368 hlm.; Penulisan Kreatif (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 92 hlm.; Imej dan Cita-cita: Kertas Kerja Hari Sastera 1980 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 87 hlm.; Cermin Diri, Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 208 hlm.
Terjemahan :
Teori Kesusasteraan: Satu Pengenalan/Terry Eagleton, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 264 hlm.; Salju Musim Bungal Yukio Mishima, Kuala Lumpur: Yayasan Penataran Ilmu, 1990, 624 hlm.

Biografi Sastrawan Klasik (1)


Biodata/Biografi  Prof. Dr. Hamka
Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah ( HAMKA).
Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila tokoh ‘idola’ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.
Latar Belakang Ulama
Pak Hamka atau Buya Hamka adalah nama istimewa yang mempunyai nilai tersendiri di persada perkembangan Islam dan dunia kesusasteraan nusantara. Hamka dari singkatan nama Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim. Almarhum dilahirkan di Kampung Tanah Sirah ( ada riwayat lain mengatakan di Kampung Molek), Negeri Sungai Batang Maninjau, Minangkabau pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Febuari 1908. Bapanya Haji Abdul Karim Amrullah adalah ulama terkenal Minangkabau yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam ( kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.
Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945.
Pendidikan
Hamka mendapat pendidikan awal agama dari Madrasah Tawalib yang didirikan oleh bapanya. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur.
Kerjaya Hidup
Hamka telah menyertai Gerakan Muhamadiah dan menerajui kepimpinan pertubuhan itu di Padang Panjang tahun 1928. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah.
Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.
Novel-novel dan kitab-kitab
Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut:
a. Novel
Tenggelamnya Kapal Vanderwick
Dalam Lembah kehidupan
Di Bawah Lindungan Kaabah
Kenangan Hidup
Merantau Ke Deli
Ayahku
Laila Majnun
Siti Sabariah
b. Kitab Agama dan Falsafah
Tafsir Al Azhar ( 30 Juz)
Khatib Ul Ummah ( 1925)
Tarikh Abu Bakar As Sidiq
Ringkasan Tarikh Umat Islam
Islam dan Adat Minangkabau
Tasawuf Moden
Falsafah Hidup
Lembaga Hidup
Lembaga Budi
c. Majalah
Kemahuan Zaman ( 1929)
Al Mahdi ( 1933)
Pendoman Masyarakat ( 1936 – 1942)
Semangat Islam ( 1944- 1948)
Menara ( 1946-1948)
Panji Masyarakat ( 1959)

Biografi – Biodata Muhammad bin Haji Salleh
Tarikh Lahir : 26 Mac 1942 di Taiping, Perak Darul Ridzuan.
Alamat : 254, Jalan 6, Taman Sekamat, 43000 Kajang, Selangor Darul Ehsan.
Muhammad bin Haji Salleh hanya mula dikenali umum di tanah air sebagai penulis pada akhir tahun 1960-an meskipun beliau sebenarnya telah menulis lebih awal lagi. Beliau banyak menghabiskan usianya di luar negara dan mula menulis puisi yang kebanyakannya dalam bahasa Inggeris. Bila kembali ke tanah air puisi-puisi beliau mendapat perhatian para pengkritik
Beliau mula menulis semenjak di Maktab Perguruan Tanah Melayu di Brinsford Lodge, England, pada tahun 1963. Oleh sebab latar belakang persekolahannya yang hampir pada bahasa dan kesusasteraan Melayu dan Inggeris, maka beliau menulis dalam kedua-dua bahasa itu. Sajak-sajaknya dalam bahasa Inggeris banyak dipengaruhi oleh T.S. Eliot dan W.H. Auden yang diminatinya pada waktu itu.
Muhammad Haji Salleh mendapat pendidikan awal di High School Bukit Mertajam dan Maktab Melayu Kuala Kangsar. Kemudian melanjutkan pelajarannya ke Malayan Teachers College, Brinsford Lodge, England. Beliau memperoleh ijazah Sarjana Muda Sastera di Universiti Malaya (Singapura), ijazah Sarjana Sastera dari Universiti Malaya dalam tahun 1970 dan ijazah Ph.D. dari Universiti Michigan, Amerika Syarikat dalam tahun 1973. Dalam tahun 1977, beliau pernah dilantik sebagai Profesor Tamu di bawah rancangan Fulbright-Hays dan mengajar di North Carolina State University, Raleigh, Amerika Syarikat. Muhammad Haji Salleh pernah bertugas sebagai pensyarah di Jabatan Persuratan Melayu dan pernah menjadi Timbalan Dekan Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Universiti Kebangsaan Malaysia dan Pengarah Institut Bahasa, Kebudayaan Kesusasteraan Melayu. Pada tahun 1978, beliau dilantik menjadi Profesor Kesusasteraan sewaktu berusia 36 tahun. Pada tahun 1977 – 1978, Muhammad menjadi Profesor Pelawat, di North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, Amerika Syarikat; menjadi “Asian Scholar in Residence” di University Michigan. Dalam tahun 1992-1993, beliau dipilih menjadi Fullbright Visiting Reseacher, di University of California, Berkeley, dan seterusnya menyandang Kerusi Pengajian Melayu di Universiti Leiden, Netherlands, dari tahun 1993-1994.
Ketokohan Muhammad Haji Salleh dalam dunia penulisan puisi Melayu moden begitu dirasakan oleh para peminat sastera tanah air apabila karya-karyanya, terutamanya puisi, mendapat perhatian bukan sahaja oleh Panel Hadiah Karya Sastera tanah air bahkan setelah beliau memenangi “Hadiah Sastera Asean” di Jakarta. Sejak tahun 1971, beberapa buah puisinya telah memenangi Hadiah Karya Sastera dan kemudiannya dalam tahun 1977, Muhammad menerima Hadiah Sastera Asean bahagian puisi dengan kumpulan puisi beliau Perjalanan Si Tenggang II.
Bagi Muhammad, puisi adalah suatu bentuk sastera yang kental dengan muzik bahasa dan kebijaksanaan penyair dan tradisinya. Sebuah puisi atau pantun adalah susunan muzik bahasa yang mengindahkan bahasa itu serta juga pembacaan oleh pendengaran. Beliau bersetuju dengan definisi Robert Frost, seorang penyair Amerika, bahawa puisi ialah sesuatu yang setelah kita membacanya kita menjadi lebih bijaksana. Para penyair menolong menyedarkan kita kepada masalah kita bersama malah mendefinisikan masalah penting supaya kita benar-benar dapat menyelesaikannya.
Amat jelas bahawa tema puisi Muhammad pada umumnya lebih banyak memaparkan masalah-masalah bersama, masalah eksistensi individu yang berhadapan dengan kehidupan kekotaan. Bangunan-bangunan tinggi, teknologi moden, motokar, lampu neon bukan menjadi teman tetapi merupakan objek yang ditentang dan diperhitungkan melalui sesuatu moral-judgement (kemelayuan atau kemanusiaan sejagat). Kehidupan kekotaan yang bobrok dan persekitaran yang seperti ini ditentang oleh otak, akal dan pegangan. Demikian puisi-puisi beliau lebih menekankan pemikiran daripada perasaan. Sikap dan fikiran beliau tercermin kepada bentuk puisi yang padat dan kata-kata yang kurang mengandungi emosi.
Beliau secara sedar berusaha menggunakan bahasa yang tidak biasa dipakai oleh penyair lain. Kerana itu terdapat pembentukan ungkapan-ungkapan baru untuk memberikan ketepatan dan ketajaman makna dalam puisi-puisi beliau. Namun dalam ungkapan yang baru dan asli itu, kadang-kadang terasa terlalu asing pula pengucapannya, dan hal ini mungkin juga akibat pengaruh kesusasteraan dunia yang pernah menjadi kajian dan pengalaman beliau selama ini.
Muhammad Haji Salleh meminati penyair-penyair Chairil, Subagio Sastrowardojo (Indonesia) dan pada satu ketika juga meminati T.S. Eliot dan Pablo Neruda. Beliau meminati sastera dari Barat bukan sahaja kerana terdapatnya keragaman tetapi juga kerana di Barat sastera kerana terdapatnya keragaman tetapi juga kerana di Barat sastera sudah menjadi sebahagian daripada ilmu tentang manusia dengan falsafah, psikologi dan sebagainya. Yang lebih menarik minat beliau ialah sastera Barat itu mengandungi eksperimen-eksperimen yang pelbagai yang cuba mencari stail yang sempurna untuk ekspresi yang tepat. Itulah antara unsur-unsur Barat yang diperhatikannya.
Muhammad telah menerbitkan lapan buah kumpulan puisi perseorangan di samping puisi yang terbit dalam kumpulan bersama. Kumpulan puisi beliau, Sajak-sajak Pendatang bukan saja sejumlah puisi yang dicipta sewaktu beliau mengembara di luar tanah air malah ia merupakan satu kumpulan puisi yang kukuh, berbeza daripada puisi-puisi yang dicipta oleh penyair yang sebelum dan sezaman dengan beliau. Panel Hakim Karya Sastera telah memilih Buku Perjalanan Si Tenggang II sebagai kumpulan puisi Muhammad yang terbaik bagi tahun 1975. Kumpulan ini dikatakan dengan jelas memperlihatkan bukan saja stail dan peribadi penyair, bahkan konsep puisi yang secara tegas mengelak daripada ungkapan romantik dengan menggunakan kata-kata secara tepat, fungsional dan berkesan.
Sebagai penyair yang menulis dalam bahasa Melayu dan Inggeris, Muhammad mempunyai kekuatan bahasa yang dapat dan mampu menterjemahkan puisi-puisi Melayu ke dalam bahasa Inggeris. Beliau adalah salah seorang penterjemah kesusasteraan yang penting yang telah banyak menterjemah puisi Melayu ke dalam bahasa Inggeris. Malah beliau pernah menjadi Presiden Persatuan Penterjemah Malaysia dari tahun 1978 hingga tahun 1982. Dan kerana kegiatan kreatif dan ilmunya dalam kajian kesusasteraan, beliau pernah menjadi sidang editor jurnal Tenggara, anggota Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka, dan anggota Panel Anugerah Sastera Negara.
Demikianlah Muhammad Haji Salleh sebagai sasterawan yang juga ahli akademik yang dihormati telah memainkan peranan penting dalam dunia kesusasteraan Melayu. Dalam banyak pertemuan penulis yang dihadirinya dan kertas-kertas kerja yang dibentangkannya, Muhammad banyak sekali memberikan perhatian tentang teori-teori sastera dalam hubungannya dengan kesusasteraan Melayu.
Bercakap tentang puisi-puisi yang dihasilkannya, puisi-puisinya selalu dihubungkan dengan intelektualisme, idea dan pemikiran yang cukup serius. Muhammad melihat kehidupan dengan sikap intelektual seorang pencari dan pemikir. Sebagai seorang penyair yang rajin bereksperimen dan mencari bentuk-bentuk baru yang lebih kuat, Muhammad sejak akhir-akhir ini banyak menghasilkan puisi yang didasarkan daripada buku Sejarah Melayu. Puisi-puisi tersebut dapat diikuti dalam bukunya Sajak-sajak dari Sejarah Melayu yang telah diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1981.
Muhammad telah terpilih menjadi Sasterawan Negara dalam tahun 1991; dan menerima anugerah S.E.A. Write Awards di Bangkok dalam tahun 1997. Kini Muhammad adalah Pengarah, Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia.
KARYA
Puisi :
Himpunan Sajak (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, 139 hlm.; Sajak-sajak Pendatang, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1973, 62 hlm.; Buku Perjalanan Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1975, 74 hlm.; Ini Juga Duniaku, Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 1977, 83 hlm.; Times and Its people, Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd., 1978, 80 hlm.; The Travel Journals of Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979, 72 hlm.; Pilihan Puisi Baru Malaysia – Indonesia (Peny.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 314 hlm.; Puisi-puisi Nusantara (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 294 hlm.; Sajak-sajak dari Sejarah Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka 1981, 88 hlm.; Tinta Pena (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1981, 631 hlm.; Dari Seberang Diri, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1982, 70 hlm.; Antologi Puisi ASEAN (antologi bersama), Denpasar: Yayasan Sanggar Seniman Muda Bali, 1983, 85 hlm.; Lagu Kehidupan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983, 302 hlm.; Bintang Mengerdip (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 75 hlm.; 100 Sajak Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur. Tra-Tra Publishing & Trading Sdn. Bhd., 1984, 141 hlm.; Bunga Gerimis (antologi bersama), Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 132 hlm.; Puisirama Merdeka (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1986, 141 hlm.; Kumpulan Puisi Malaysia/Malaysian Poetry 1975-1985 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaia, 1988, 167 hlm.; Puisi Baharu Melayu 1961 – 1986 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990, 941 hlm.; Suara Rasa (Voice From Within) (antologi bersama), Kuala Lumpur: Maybank, 1993, 228 hlm.; Beyond the Archipelago, Athens: Center of International Studies, Ohio University, 1995, 243 hlm.; Rupa Kata (antologi bersama), Ipoh: Yayasan Kesenian Perak, 1996, 122 hlm.; Sebuah Unggun di Tepi Danau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996, 259 hlm.
Kajian :
Tradition and Change in Contemporary Malay-Indonesian Poetry, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1977, 190 hlm.; Selection from Contemporary Malaysian Poetry (Peny.), Kuala Lumpur: Penerbitan Universiti Malaya, 1978, 118 hlm.; Pengalaman Puisi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 85 hlm.; An Anthology of Contemporary Malaysian Literature, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 413 hlm.; The Mind of The Malay Author, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, 178 hlm.; Syair Tentang Singapura Abad Kesembilan Belas, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, 127 hlm.; Sulalatus al-Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur: Yayasan Karya Agung, 1997, 338 hlm.
Esei/Kritikan :
Kritikan Sastera di Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1974, 187 hlm.; Bahasa Kesusasteraan dan Kebudayaan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1976, 338 hlm.; Kesarjanaan Melayu (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1977, 368 hlm.; Penulisan Kreatif (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 92 hlm.; Imej dan Cita-cita: Kertas Kerja Hari Sastera 1980 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 87 hlm.; Cermin Diri, Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 208 hlm.
Terjemahan :
Teori Kesusasteraan: Satu Pengenalan/Terry Eagleton, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 264 hlm.; Salju Musim Bungal Yukio Mishima, Kuala Lumpur: Yayasan Penataran Ilmu, 1990, 624 hlm.

Wednesday, April 14, 2010

Betale dan Syair Mikraj

(Bahasa santun Uhang Kincay)


Kehidupan berbangsa dan bernegara banyak ditentukan oleh kualitas anggota masyarakatnya. Salah satu penanda
kualitas adalah kemampuannya dalam berbahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Kualitas berbahasa
seseorang dapat juga dinilai dari tutur kata yang diucapkannya. Bahasa yang benar tidak saja karena konstruksi tata
bahasanya benar, tetapi juga karena disampaikan dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi, kondisi, dan sasaran
pembicaranya.
Bila bahasa menentukan bangsa, berati bahasa seseorang akan menentukan kualitas “bangsa”, kualitas
budayanya.
Pemerolehan bahasa yang santun ini tidak dengan serta merta dapat dilakukan dan didapatkan oleh seseorang.
Kebiasaan dari sejak dini dan lingkungan sosial masyarakat akan banyak menentukan pola berbahasa seseorang.Dalam
konteks budaya Indonesia, salah satu sumber berbahasa dengan santun dapat diambil dari pantun. Karena sifat
kesantunannya, pantun hampir tidak pernah melukai hati orang meskipun pantun yang dimaksudkannya tersebut
dimaksudkan sebagai kritikan.
Pantun telah sangat lama dikenal sebagai bagian dari tradisi masyarakat budaya Indonesia, meskipun memang kini
tidak banyak yang menggunakannya. Pantun dapat digunakan dalam berbagai kesempatan, baik ritual maupun dalam
kehidupan keseharian kelompok masyarakat. Kalangan yang memakainya pun beragam, tua muda dan bahkan anakanak
memakainya dalam permainan tradisional atau dalam lagu-lagu permainan anak. Banyak hal dapat disampaikan
dalam pantun: nasehat, petuah, sindiran, kritikan, berbagai ajaran termasuk ajaran agama, pesan, ungkapan kasih
sayang antaranggota keluarga atau antarkekasih, harapan, etos kerja, pendidikan, dan berbagai ekspresi lainnya.
Karena itu, pantun dapat dibagi atas berbagai jenis, seperti pantun nasehat, pantun remaja, pantun muda-mudi, pantun
anak-anak, dan juga berbalas pantun, yaitu pantun yang dibawakan secara berpasangan. Pantun pada umumnya terdiri
dari 4 baris: 2 baris pertama merupakan sampiran, yaitu bait-bait yang menyampaikan arahan untuk dijawab pada 2
baris berikutnya yang merupakan isi pantun tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya dan juga dalam berbagai
jenis pantun yang dapat dijumpai di Nusantara ini, tidak semua pantun harus memakai kriteria seperti yang disebutkan di
atas.
Betale dan Syair Mikraj
Betale dan Syair Mikraj merupakan dua sastra lisan Kerinci yang menggunakan medium bahasa yang berbeda. Syair
Mikraj dituturkan dengan menggunakan bahasa Indonesia, sementara betale menggunakan bahasa Kerinci. Dengan dua
bentuk bahasa itulah, maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua sastra lisan di Provinsi Jambi menggunakan Bahasa
Melayu Jambi.
Betale dan Syair Mikraj merupakan sastra lisan yang terdapat di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Betale dan Syair
Mikraj pada awalnya dituturkan, namun dalam perkembangannya telah ada yang dituliskan. Walaupun dituliskan, naskah
betale dan syair mikraj tersebut belum bisa mewakili keseluruhan pernyataan sastra lisan tersebut. Misalnya gerak dan
irama yang dilakukan penutur.
Kabupaten Kerinci merupakan salah satu daerah yang terletak dibagian Barat Provinsi Jambi, daerah ini selain dikenal
dengan kekayaan objek wisatanya. Juga memiliki koleksi naskah kuno terbesar dibandingkankan dengan kabupaten lain
yang di Provinsi Jambi. Koleksi naskah kuno tersebut merupakan milik masyarakat yang hak pewarisannya telah diatur
dalam sistem adat mereka. Akibatnya, tidak semua naskah kuno Kerinci itu bisa diperlihatkan baik ke filolog maupun ke
masyarakat biasa. Biasanya naskah kuno Kerinci ini banyak diturunkan pada pelaksaanaan kenduri seko, yang
pelaksananaanya menyesuaikan dengan ada tidaknya penukaran gelar pemuka adat.
Berbeda halnya dengan naskah kuno(sastra tulis), pengambilan data sastra lisan Kerinci justeru lebih mudah. Karena
peneliti hanya diharuskan untuk membayar biaya pertunjukkan, tidak ada aturan yang mengharuskan pertunjukkan untuk
dilakukan pada saat kenduri seko ataupun acara adat lainnya.
Sastra lisan merupakan cerminan kreativitas mental masyarakat, kreativitas yang tetap menjaga dan mengedepankan
unsur kemurniannya. Sastra lisan Betale dan Syair Mikraj memiliki fungsi yang berbeda. Betale merupakan refleksi rasa
syukur, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya. Sementara Syair Mikraj lebih
mengedepankan bentuk kekuasaan Ilahi Rabbi di samping hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dua sastra lisan tersebut, hanya dituturkan pada bulan tertentu saja. Syair Mikraj dituturkan pada bulan Rajab, pada
saat perayaan Israk Mikraj Nabi Muhammad SAW. Syair mikraj ini terdiri dari 259 bait, 5 bait bagian pembuka, 4 bait
penutup, dan 250 bait yang berisikan kisah perjalanan Rasullullah saat menjemput shalat lima waktu.
Berikut beberapa bait Syair Mikraj :
1. Bagian pembuka syair
Dengan bismillah saya mulai
Mengarang syair mikraj nabi
http://balaibahasajambi.org/laman Menggunakan Joomla! Generated: 14 April, 2010, 13:16
Nabi Muhammad Rasul Illahi
Israk dan mikraj dimalam hari
Alhamdulillah kata kedua
Memuji Allah tuhan semesta
Syalawat dan salam pada rasulnya
Sahabat setia serta keluarga
Sesudah memuji pada illahi
Di atas kertas pena menari
Mohon kehadirat rabbulizzati
Semoga karangan Allah berkati
Mengigatkan ayat quran suci
Siapa membesarkan syariat Islami
Iman dan taqwa kokoh dihati
Begitu pula israk dan mikraj nabi
Mukaddimah tidak dipanjangkan lagi
Cukup disini sekedar bayangan
Saudara membaca harap betulkan
Khilaf dan sesat kalau kejadian
2. Kutipan bagian isi syair
Petang ahad dimalam isnin
27 rajab udara pun dingin
Datang perintah rabbul alamin
Mikraj ke langit Muhammad amin
Petang ahad dimalam hari
Datang perintah dari illahi
Menyuruh jibrail turun ke bumi
Menjeput Muhammad rasul yang ummi
Mikail Israfil keduanya serta
Membawa buraq kuda disyurga
Muhammad dituju pada tempatnya
Beliau tidur sedang nyenyaknya
Dihijir Ismail terbaring diri
Hamzah dikanan Jakfar dikiri
Ketelaga zam-zam didukungnya nabi
Serta menyampaikan perintah illahi
Dimalam itu perintah Tuhan
Tuan ke langit akan dinaikkan
Sebelum itu dada dibersihkan
Mari kemari saya kerjakan 4
Jibrail bekerja dengan segera
Membelah dada nabi yang mulia
Dari cekuk leher sampai ke bawahnya
Dibersihkan semua di dalam dada
Disuruh mikail pergi ke telaga
Mengambil zam-zam satu dua timba
Pencuci hati nabi yang mulia
Supaya hidupnya berlapang dada
Diambil lagi timba yang lain
Berisi hikmah imam dan yakin
Halim pengasih sempurna mukmin
Dibawanya dari Jannatun Nain
http://balaibahasajambi.org/laman Menggunakan Joomla! Generated: 14 April, 2010, 13:16
Ditutupkan dada dengan segera
Surutlah dada sebagai bermula
Luka tidak bekas tiada
Nabi pun duduk dengan senangnya
Kemudian jibrail bekerja lagi
Mencap antara belikat nabi
Hatamunnabi penyudahan nabi
Hingga kiamat tiada lagi
Jibril memanggilkan buraq itu
Wahai mikail lekaslah bantu
Lalai dan lengah tiada padamu
Kodrat iradat pasti berlaku
Diambilnya buraq yang telah sedia
Cukup berkekang serta pelana
Tijak-tijak emas di syurga
Jibrail memegang tali kekangnya
Buraqpun liar merupakan diri
Seolah tak ridho dikendarai
Jibrail berkata dengan cemeti
Wahai buraq Alatastami
3. Bagian penutup
Wahai saudara tolong ikhwani
Syair Mikraj habis disini
Simpan masuk dalam hati
Pedoman hidup di dunia ini
Masukkan benar ke dalam dada
Segala ajaran mana yang ada
Larang menentangnya jauhi semua
Coba amalkan sehabis tangga
Alhamdulillahirabbil Alamin
Dijadikan kami umat muttakin
Umat yang saleh tulus dan yakin
Semoga menjadi aulia solihin
Ya Allah Azzawajalla
Masukkan kami ke dalam syurga
Terjauh dari api neraka
Terhindar dari segala bencana
Syair ini dituturkan oleh kaum perempuan dengan irama yang cukup khas, syair disampaikan menjelang uraian Israk
oleh penceramah. Mbacu sa’e (membaca syair), mereka yakini sebagai media untuk mengetahui secara jelas
kisah perjalanan Nabi Muhammad, SAW pada saat menjemput shalat lima waktu. Sastra lisan ini dapat ditemukan di
Desa Sebukar dan beberapa desa yang ada di Kecamatan Sitinjau Laut Kerinci. Berbeda hal dengan Syair Mikraj, betale
dilakukan pada saat musim haji. Setiap malam menjelang keberangkatan jamaah, petale senantiasa mengunjungi rumah
calon jamaah atau di rumah warga yang sengaja mengundang calon jamaah dan petale untuk menuturkan isi yang ada
di dalam setiap bait tale yang mereka miliki. Betale memiliki berbagai bentuk, misalnya tale pengantar dan tale
pelepasan. Kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun ini tidak hanya untuk orang tua saja, akan tetapi pada saat
sekarang ini telah banyak diikuti generasi muda Kerinci.
Berikut ungkapan yang digunakan saat betale :
Ilok nia puggei ke luhak
Dame dapek puntuoh tubeuh
Ilok nia puggei ku mekah
Amal dapek duseu tubueh
Lah pueh dudeuk mungince
Munukak-munukak ugei
Lah pueh dudeuk bupike
Ku mukah ugeu maku sna atai
http://balaibahasajambi.org/laman Menggunakan Joomla! Generated: 14 April, 2010, 13:16
Sungguh jeuh pgeiku gua
Jalan rusak banyak berlumpur
Kayo di lupeh dengan doa
Supayo dapek haji yang mabrur
Sejak pagei mumakan manggauh
Uhang Hiang mumasang bendera
Terupat terpuji meminta maaf
Tumakah tuminang mintak direla
Apa guno pasang pelito
Kalau tidak dimakan apai
Apa guno nahu harto
Harto idiek jadi kantai

Sumber Nukman SS. : 14 April, 2010, 13:16

Saturday, April 3, 2010

Masyarakat Kubu Jambi

Asal Usul

Berdasarkan Kelisanan

Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.
Versi kedua mengatakan bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung. Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu, jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Ke mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu lapuk).
Para tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.
Versi ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi, Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan. Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak. Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung waris.
Alkisah, Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:
“Yang tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ….”. Artinya dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.
Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah, di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, …. dan orang yang berkampung itu adalah: “berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua, bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman dua/tidak punya pendirian.
Walaupun demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa, sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).
Versi keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu, kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan. Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan (sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon, inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam) orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5) senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara, berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi sekarang ini.
Versi kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid.

Sumber:

Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A–K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.